Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Sustainable Aviation Fuel (SAF) memiliki potensi besar untuk membantu industri penerbangan komersial mencapai target dekarbonisasi. Namun, sayangnya, kecepatan adopsinya masih jauh dari harapan untuk mencapai target 2030. Ini menjadi perhatian utama setelah Boston Consulting Group (BCG) mensurvei lebih dari 500 eksekutif di seluruh ekosistem penerbangan global.

Pertumbuhan Pesat, Tapi Masih Kurang

Dalam tiga tahun terakhir, produksi SAF melonjak 1.150%. Namun, ini terjadi dari basis yang sangat kecil — pada 2024, SAF baru menyumbang 0,3% dari total produksi bahan bakar jet dunia. Bahkan, proyek pembangunan fasilitas baru mengalami penurunan 50%–70% antara 2022–2023 akibat ketidakpastian ekonomi dan tingginya biaya energi.

Ada dua jenis SAF utama:

  • Bio-SAF, yang berbahan dasar minyak alami dan biomassa, sudah mulai mendominasi pasar karena lebih matang dan lebih murah. 
  • e-SAF, yang menggunakan proses kimia canggih, dianggap lebih menjanjikan jangka panjang, tapi masih mahal dan dalam tahap pengembangan awal. 

Sayangnya, produksi keduanya diperkirakan akan gagal memenuhi target “well-below 2°C” dari International Energy Agency (IEA) untuk 2030.

Meskipun 80% perusahaan yakin bisa memenuhi target SAF mereka pada 2030, hanya 14% yang merasa siap menghadapi tantangan di sepanjang jalan. Hambatan utamanya? Biaya produksi SAF yang tinggi, ketidakpastian regulasi, lemahnya permintaan jangka panjang, dan kurangnya kesepakatan pembelian (off-take agreement) yang kuat.

Sebagian besar pelaku industri masih memilih posisi “wait and see“, berharap ada kepastian pasar sebelum berani berinvestasi besar. Ketergantungan pada nota kesepahaman (MoU) yang tidak mengikat juga memperparah lambatnya investasi.

Untuk mendorong adopsi SAF, BCG menyarankan langkah-langkah berikut:

  • Kolaborasi lebih erat antar seluruh ekosistem penerbangan, mulai dari produsen pesawat hingga operator bandara, untuk menciptakan siklus positif antara pasokan dan permintaan. 
  • Agregasi permintaan dan penetapan standar perdagangan SAF untuk memperjelas pasar. 
  • Penerapan harga karbon, agar biaya emisi dari bahan bakar fosil tercermin dalam harga, sehingga SAF menjadi pilihan lebih ekonomis.

Selain itu, perkembangan regulasi di Eropa dan Amerika Serikat mulai memperlihatkan arah yang lebih jelas, memberikan harapan bahwa momentum menuju penerbangan berkelanjutan bisa kembali dipercepat.

Meskipun tantangan besar masih menghadang, industri penerbangan punya peluang emas untuk mempercepat transformasinya. Dengan kerja sama erat, inovasi, dan keberanian mengambil langkah konkret, langit masa depan bisa jauh lebih bersih.

Artikel ini telah diterbitkan oleh BCG, dengan judul Sustainable Aviation Fuels Need a Faster Takeoff. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.