Artikel

Artikel2021-01-27T19:01:07+07:00

Kapasitas dan Kapabilitas Risiko Sektor Publik: Refleksi dan Potensi Pengembangan

Oleh: Tri Wahyono, Fitri Sawitri, The Way Academy

Melanjutkan diskursus pentingnya keselarasan antara kapasitas dan kapabilitas risiko untuk mewujudkan organisasi yang resilient (tangguh) sekaligus agile (lincah) yang disampaikan oleh Bapak Antonius Alijoyo pada artikelnya berjudul kapasitas dan kapabilitas mengelola risiko: manakan yang harus dibangun terlebih dahulu? artikel ini akan melakukan refleksi atas konsepsi kapasitas dan kapabilitas risiko, khususnya dalam lingkup organisasi sektor publik yang bertujuan untuk dapat menggali potensi pengembangannya ke depan. Kesimpulannya, organisasi sektor publik menghadapi kapabilitas risiko yang sebenarnya tinggi, namun belum di dukung kapasitas birokrasi yang memadai, sehingga pengelolaan risiko belum sepenuhnya optimal. 

Kapasitas dapat diibaratkan seperti kemampuan mesin dalam beroperasi, misalnya mobil berkapasitas 300 tenaga kuda, pompa air berkapasitas 100 liter per detik, dan sebagainya. Sedangkan kapabilitas lebih mengarah pada kemampuan sumber daya untuk dapat mengoperasikan mesin tersebut, khususnya kemampuan sumber daya manusia sebagai input utama menjalankan sebuah organisasi. Kapasitas organisasi yang besar, jika tidak diimbangi dengan kapabilitas yang cukup akan menghasilkan idle capacity. Sebaliknya, kapabilitas yang tinggi, tidak difasilitasi dengan kapasitas yang cukup akan menghasilkan keputus-asaan. Idealnya terdapat keselarasan diantara keduanya sehingga menjadikan organisasi lebih optimal dalam mengelola risiko.

Sayangnya kondisi di sektor publik menunjukkan adanya kapabilitas risiko yang tinggi, namun kapasitas birokrasi masih rendah. Beberapa bukti yang dapat menguatkan kapabilitas risiko yang tinggi, antara lain setiap rekrutmen calon Aparat Sipil Negara (ASN) pesertanya selalu membludak, artinya yang terpilih menjadi ASN semestinya adalah yang terbaik dari jutaan calon yang mendaftar. Konsepsi manajemen risiko bukanlah sesuatu yang sulit, karena baik di sadari atau tidak, seluruh pegawai telah menerapkan manajemen risiko sesuai bidag pekerjaannya, misalnya risiko keterlambatan, risiko kesalahan pekerjaan dan lain sebagainya. Di sisi lain, kondisi kapasitas birokrasi yang rendah ditunjukkan dengan masih banyaknya keluhan tentang layanan publik, struktur ASN yang gemuk, serta tata kelola yang belum efisien, contohnya pemerintah daerah yang sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar gaji pegawai, padahal idealnya anggaran pendukung maksimal hanya 20 persen sedangkan subatansinya 80 persen. 

Kapasitas birokrasi yang masih rendah belum menyadari adanya risiko baik di tataran strategis maupun operasional. Pemerintah masih disibukkan dengan pemenuhan kepatuhan (compliance) terhadap regulasi, sehingga instansi yang berwenang menerbitkan regulasi dan perizinan dianggap sebagai instansi yang basah karena lebih menjanjikan kesejahteraan daripada instansi lainnya. Kesenjangan antar instansi ini akhirnya membuat lingkungan birokrasi yang tidak kondusif yang akhirnya membuat sumber daya yang pada saat masuk memiliki kapabilitas yang tinggi, namun tidak dapat ter eksploitasi dengan optimal. Ditambah dengan sistem remunerasi yang belum sepadan, akhirnya membuat banyak ASN muda yang mengalami cultural shock saat pertama kali bergabung menjadi ASN.

Idealnya kapabilitas dan kapasitas risiko organisasi sektor publik dapat berjalan secara beriringan sehingga memampukannya untuk dapat berkineja optimal. Ketika kapabilitas SDM tidak difasilitasi dengan kapasitas birokrasi yang sebanding, maka yang terjadi adalah penurunan semangat kerja yang ketika dibiarkan dalam jangka panjang akan membentuk lingkungan kerja toxic yang sangat merugikan baik bagi organisasi maupun SDM sendiri. Pemikiran ini sejalan dengan kajian Anton dan Fisabillillah (2021) yang menyimpulkan bahwa penerapan manajemen risiko di sektor publik masih terkendala masalah tata kelola dan SDM. Artikel ini melengkapi bahwa variable tata kelola terwakili dengan kondisi kapasitas birokrasi, sedangkan variabel SDM terwakili dengan kondisi kapabilitas organisasi.      

Pertanyaan berikutnya, bagaimana solusi atas kapasitas birokrasi yang masih rendah tersebut? Kembali menggunakan analogi mesin, maka perlu upaya upgrading dari kapasitas lama menjadi kapasitas baru. Berbagai program dalam kerangka reformasi birokrasi sudah digulirkan pemerintah, termasuk membangun Zona Integritas, Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Namun dari semua program reformasi birokrasi tersebut, perlu menekankan pada tiga aspek penting:

  1. Aspek Perencanaan

Semua kegiatan pemerintah dimulai dengan perencanaan, dari level strategis sampai dengan operasional. Aspek risiko perlu dipertimbangkan dalam perencanaan untuk memperkuat aspek pencegahan dan antisipasi permasalahan kedepan. Terbitnya Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) merupakan salah satu upaya perbaikan perencanaan Pembangunan Nasional yang kolaboratif dan sinergis antar Kementarian/Lembaga/Pemda/Badan Usaha/Badan Lainnya. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan MRPN dalam perencanaan dan pengambilan Keputusan strategis pemerintah.

  1. Aspek Pelaksanaan

Pelaksanaan operasional pemerintah harus menekankan aspek efisiensi di semua bidang. Penghematan anggaran sangat baik untuk diterapkan, namun perampingan struktur juga tidak kalah penting untuk menciptakan efisiensi. Organisasi yang gemuk merupakan pemborosan, apalagi ditengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga kebutuhan sumber daya manusia dapat dikurangi secara signifikan.  Sayangnya, manajemen ASN belum secara tegas mengatur pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan kinerja yang rendah. Hal inilan yang menciptakan zona nyaman bagi ASN, namun di sisi lain merupakan pemborosan bagi pemerintah.

  1. Aspek Pengukuran Hasil 

Pengukuran hasil dapat dibagi setidaknya dalam tiga kategori, hasil yang langsung bisa dirasakan (immediate outcome), hasil berupa perbaikan jangka menengah (medium term outcome), dan perbaikan berkelanjutan (long term outcome). Kecenderungan pengukuran hanya pada immediate outcome seringkali menyesatkan, karena pemerintah sudah berpuas diri kinerjanya tercapai, padahal sifatnya hanya sementara. Reformasi pengukuran kinerja mutlak untuk dilaksanakan agar kinerja pemerintah dapat terukur sekaligus berdampak bagi masyarakat.

Peningkatan kapasitas birokrasi melalui tiga area di atas (perencanaan, pelaksanaan, dan pengukuran hasil) menjadi kunci keberhasilan organisasi sektor publik menuju organisasi yang tangguh dan lincah dalam menghadapi ketidakpatian, yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Referensi:

Alijoyo, A, 2025, “Kapasitas dan Kapabilitas Mengelola Risiko: Manakah yang harus dibangun terlebih dahulu?”, Diakses 29 Januari 2025, https://crmsindonesia.org/publications/kapasitas-dan-kapabilitas-mengelola-risiko-manakah-yang-harus-dibangun-terlebih-dahulu

Alijoyo and Fisabilillah, 2021. “Risk Management Implementation in Public Sector Organizations: A Case Study of Indonesia”. Organizational Cultures: An International Journal 22 (1): 1-23. doi:10.18848/2327-8013/CGP/v22i01/1-23.

Tempo, 2023, “Banyak Peminat Menjadi PNS Tapi Ribuan CPNS Mundur, Ini Penyebabnya”, diakses 28 Januari 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/banyak-peminat-menjadi-pns-tapi-ribuan-cpns-mundur-ini-penyebabnya-158037.

By |

Penerapan Manajemen Risiko yang Terintegrasi

Oleh: Cipto Hartono, S.E.As., M.M., AAIK, ANZIIF, CIP, AIIS, APAI, QCRO, QRGP, CERG, CCGO, CCCO, CGRCOP

Menghadapi kondisi lingkungan bisnis yang semakin tidak menentu, penuh ketidakpastian, dan kompleksitas, manajemen risiko menjadi salah satu alat yang diharapkan dapat berperan efektif untuk mengatasinya. Penerapan manajemen risiko bukan sekadar pemenuhan kewajiban peraturan yang ditentukan oleh regulator, namun sudah menjadi kebutuhan organisasi untuk mengelola ketidakpastian yang dihadapi.

Dalam praktiknya, terkadang organisasi masih mengalami kesulitan dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif. Salah satu kendala yang dihadapi adalah tidak terintegrasinya kegiatan manajemen risiko dengan proses bisnis yang dijalankan. Pelaksanaan manajemen risiko masih dianggap sebagai pekerjaan tambahan yang terpisah dari pekerjaan inti unit kerja. Pemilik proses bisnis terkadang melihat manajemen risiko hanya sebagai pekerjaan administratif berupa pengisian kertas kerja risk register seperti identifikasi risiko, analisis dampak, pencatatan kendali yang ada, dan pelaporan sesuai batas waktu, tanpa menyadari bahwa manajemen risiko sebenarnya lebih dari sekadar proses administratif pencatatan dan pelaporan.

Akibatnya, masih ditemukan kejadian yang tidak diinginkan dalam menjalankan proses bisnis, seperti keluhan (complaint) dari pelanggan, keterlambatan proses, layanan yang kurang baik, kehilangan bisnis, tuntutan hukum, kecelakaan kerja, hingga berita viral negatif.

Lalu, bagaimana cara agar manajemen risiko bisa menjadi alat yang efektif bagi organisasi dalam mengelola ketidakpastian? Mengacu pada SNI ISO 31000 sebagai panduan praktik terbaik pengelolaan risiko, salah satu prinsip penting dalam mendukung efektivitas penerapan manajemen risiko adalah prinsip terintegrasi. Prinsip ini mengingatkan kita untuk melekatkan manajemen risiko agar menjadi bagian integral dalam semua aktivitas organisasi. Yang dimaksud dengan aktivitas organisasi tidak hanya high-level activity yang dilaksanakan oleh pimpinan perusahaan, tetapi juga aktivitas turunan yang dilaksanakan oleh manajemen menengah, lini, hingga staf pelaksana dalam keseharian proses bisnis. Seluruh aktivitas tersebut perlu dikawal dengan manajemen risiko yang sesuai dengan tahapan aktivitas dan sasarannya.

Integrasi Manajemen Risiko di Level Korporasi

Penerapan manajemen risiko yang terintegrasi pada level ini menjadi kunci sukses pertama yang mendorong efektivitas penerapan manajemen risiko di seluruh perusahaan. Perusahaan perlu membuat langkah nyata dalam mengintegrasikan manajemen risiko di level korporasi, dimulai dengan membuat kebijakan tertulis terkait manajemen risiko.

Kebijakan manajemen risiko perusahaan idealnya tidak hanya berupa dokumen formal yang menyatakan bahwa pimpinan perusahaan berkomitmen menjalankan manajemen risiko dan ditandatangani oleh Direksi serta Dewan Komisaris. Namun, kebijakan ini harus menjadi panduan utama yang menunjukkan arah pengelolaan risiko secara menyeluruh. Kebijakan ini perlu dibuat secara komprehensif, menyebutkan sasaran yang ingin dicapai perusahaan, keterkaitan manajemen risiko dalam mencapai sasaran, fokus dan jenis risiko yang perlu dikelola, kejelasan struktur tata kelola, rencana kerja, rencana pelatihan, rencana pengembangan manajemen risiko, hingga ukuran kinerja yang disepakati.

Untuk mendukung kejelasan akuntabilitas para pihak dalam menjalankan manajemen risiko, perlu dibuat struktur tata kelola risiko yang menggambarkan interaksi para pihak. Salah satu konsep yang mendukung integrasi para pihak dalam manajemen risiko adalah three-line model (sebelumnya dikenal sebagai three lines of defense). Konsep ini secara efektif menggambarkan peran ketiga lini sehingga risiko dapat dikelola sejak awal oleh lini pertama, yaitu pemilik risiko yang merupakan pemilik proses bisnis. Lini kedua adalah unit manajemen risiko yang mempersiapkan rancangan dan metode pengelolaan risiko, serta bertindak sebagai koordinator yang membantu lini pertama mengelola risikonya. Lini ketiga adalah internal audit yang berfungsi sebagai assurance independen untuk memastikan pelaksanaan manajemen risiko sesuai aturan yang telah ditentukan.

Integrasi pada level ini juga perlu terlihat dalam aktivitas rutin yang dilaksanakan oleh pimpinan perusahaan, seperti proses perencanaan strategis (strategic planning) dengan mempertimbangkan faktor risiko, penganggaran berbasis risiko (risk-based budgeting), pengambilan keputusan berdasarkan analisis risiko, hingga pembahasan manajemen risiko dalam setiap rapat dan diskusi.

Integrasi Manajemen Risiko di Level Manajemen Menengah dan Lini

Manajemen menengah dan lini memegang peranan penting dalam efektivitas penerapan manajemen risiko. Kehadiran tim manajemen ini dalam interaksi sehari-hari proses bisnis memberikan pengaruh besar kepada para karyawan sebagai pelaksana.

Penerapan manajemen risiko akan menjadi efektif jika aturan pelaksanaannya mendorong unit pelaksana untuk mengelola risiko dalam aktivitas proses bisnisnya. Salah satu cara mengintegrasikan manajemen risiko di tahapan ini adalah dengan memasukkan proses kontrol/kendali risiko ke dalam standard operating procedure (SOP) pada tiap fungsi dan unit kerja. Oleh karena itu dalam pembuatan SOP perlu melibatkan proses identifikasi risiko pada setiap level sasaran unit kerja guna mempersiapkan kontrol yang tepat.

SOP yang telah ada juga perlu mempertimbangkan perubahan lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Sebagai contoh, penggunaan sistem teknologi menggantikan fungsi manual perlu dikawal dengan pembaruan SOP untuk mengantisipasi perubahan eksposur risiko dari proses manual ke proses berbasis teknologi. Dalam hal ini proses identifikasi risiko, analysis dan perlakuan risiko yang bersifat dinamis menjadi penting untuk memastikan semua risiko baru telah diantisipasi dan kendali dalam SOP unit kerja diperbarui.

Integrasi Manajemen Risiko pada Aktivitas Kerja

Pelaksanaan aktivitas kerja bersifat sangat spesifik sesuai bidang pekerjaan dan sasaran kinerja operasional yang hendak dicapai. Hal ini berkaitan langsung dengan jenis risiko yang juga bersifat spesifik dan operasional. Penerapan manajemen risiko perlu melekat pada aktivitas kerja tersebut.

Perusahaan yang telah mendokumentasikan proses kerja sehari-hari dalam dokumen seperti petunjuk teknis (juknis) perlu memastikan bahwa kontrol atas risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya tetap efektif dan efisien. Pemantauan hasil kinerja juga dapat dilakukan dengan memastikan berjalannya mekanisme maker-checker sebagai bagian dari four eyes principle.

Key Risk Indicator sebagai Dashboard Early Warning System

Untuk memastikan penerapan manajemen risiko terintegrasi berjalan secara efektif pada setiap tahapan proses bisnis, perlu dikembangkan indikator atau parameter yang memberikan alert/alarm sebagai early warning system. Dengan adanya Key Risk Indicator (KRI), diharapkan langkah antisipatif dapat diambil agar risiko utama yang tidak diinginkan dapat dicegah, dihindari, atau diminimalkan sedini mungkin.

Indikator terhadap risiko utama ini juga perlu dikembangkan untuk setiap level risiko di setiap tahapan dan tingkatan proses bisnis. Perusahaan perlu menyiapkan KRI yang bersifat leading indicator maupun lagging indicator. Keduanya berfungsi untuk membantu organisasi mengamati potensi kejadian risiko utama dengan data historis yang relevan. Perbedaan utama antara kedua jenis KRI ini adalah pada jenis indikator yang digunakan, di mana leading indicator berfokus pada data yang dapat memprediksi potensi kejadian dalam bentuk ukuran aktivitas kegiatan, sementara lagging indicator berfokus pada data atas kejadian yang telah terjadi untuk memprediksi kejadian serupa atau kejadian lain mengarah ke risiko utama. Biasanya, indikator yang bersifat lagging cenderung lebih mudah ditemukan karena sudah terjadi.

Sebagai contoh, perusahaan memiliki risiko utama berupa kehilangan nasabah yang dapat berdampak negatif pada pendapatan perusahaan. Salah satu indikatornya adalah keluhan (complaint) dari nasabah. Keluhan yang terjadi dan dicatat dalam satu periode waktu tertentu dapat menjadi indikator yang bersifat lagging dan penting untuk mengawal tingkat kualitas layanan. Namun, kejadian keluhan nasabah tersebut sudah terjadi dan mungkin saja secara langsung menimbulkan risiko utama. Oleh karena itu, perusahaan juga perlu mempersiapkan indikator yang bersifat leading. Dalam kasus ini, ukuran kinerja terkait layanan dapat digunakan, antara lain jumlah presentase ketepatan waktu layanan yang dituangkan dalam bentuk Service Level Agreement (SLA), atau jumlah banyaknya kunjungan ke tempat nasabah sebagai bentuk engagement hubungan kerjasama.

Dengan berfokus pada indikator risiko utama dan mengintegrasikannya dalam proses bisnis sebagai dashboard yang memberikan early warning system, diharapkan perusahaan dapat secara proaktif mengantisipasi potensi penyimpangan dari ukuran yang diharapkan. Selanjutnya dengan integrasi menyeluruh manajemen risiko pada setiap tahapan aktivitas organisasi, penerapan manajemen risiko diharapkan menjadi lebih menyatu dalam proses bisnis, tidak lagi dianggap sebagai kegiatan terpisah (silo). Pada akhirnya, manajemen risiko dapat membantu organisasi mengelola risiko, baik upside risk maupun downside risk, untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

 

Penulis

Cipto Hartono SE As, M.M

Ketua Bidang Keanggotaan Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA)

By |

3 Langkah Mengelola Risiko Teknologi di Era AI

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Teknologi kecerdasan buatan (AI) sedang mengalami pertumbuhan pesat dan membawa peluang besar untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan inovasi. Namun, kemajuan ini juga menghadirkan risiko, seperti kompleksitas teknologi, ancaman keamanan siber, dan kelangkaan talenta. Berikut adalah tiga langkah untuk mengelola risiko teknologi di era AI.

  1. Perkuat Tata Kelola Teknologi

Tata kelola yang baik sangat penting untuk memastikan bahwa investasi teknologi sejalan dengan prioritas bisnis. Kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk bisnis, fungsi risiko, dan vendor, membantu menyelaraskan kebutuhan teknologi dengan kontrol keamanan data, kepatuhan, dan strategi organisasi. Selain itu, perusahaan dapat mengotomatisasi tata kelola untuk memantau kinerja teknologi dan melakukan pengujian secara terus-menerus.

  1. Kuasai Teknologi yang Digunakan

Tim teknologi harus selalu mengikuti perkembangan terkini untuk mendorong inovasi. Hal ini melibatkan penguatan fungsi data, menjadikan data sebagai aset strategis, dan meningkatkan keterampilan karyawan secara berkelanjutan. Dengan memahami teknologi, perusahaan dapat menghadapi tantangan kompleksitas dan menyatukan berbagai komponen teknologi yang tersebar.

  1. Mulai Perjalanan AI Anda

AI kini menjadi bagian penting dari perusahaan. Untuk memanfaatkan AI secara optimal, organisasi perlu meningkatkan literasi AI, mempelajari manfaat serta risikonya, dan mengimplementasikan pengamanan yang jelas untuk penggunaan AI secara etis. Salah satu langkah awal adalah melakukan inventarisasi AI untuk menghindari penggunaan AI tanpa pengawasan (“shadow AI”) dan memastikan model AI berbasis informasi yang dapat dipercaya.

Menghindari Risiko Teknologi yang Menghambat Peluang

Perusahaan tidak bisa mengabaikan potensi besar AI, tetapi juga harus berhati-hati terhadap investasi teknologi yang salah atau penggunaan AI yang tidak etis. Dengan pendekatan yang tepat, seperti tata kelola yang kuat, penguasaan teknologi, dan literasi AI, perusahaan dapat menghadapi risiko teknologi sambil tetap memanfaatkan peluangnya.

Untuk sukses di era AI, perusahaan perlu memahami data sebagai aset utama. Perusahaan perlu melibatkan bisnis dalam penggunaan AI dan memastikan teknologi yang diadopsi dapat diandalkan. Dengan langkah ini, risiko teknologi dapat diminimalkan tanpa mengorbankan inovasi.

Artikel ini telah diterbitkan oleh KPMG, dengan judul Three Steps To Improve The Management Of Technology Risk In The Context Of AI. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Kapasitas dan Kapabilitas Mengelola Risiko: Manakah yang harus dibangun terlebih dahulu? (Risk Capacity and Risk Capability: which one needs to build first?)

Oleh: Dr. Antonius Alijoyo

Menjelang awal tahun 2025, ada diskusi menarik tentang ‘Risk Capacity’ (Kapasitas Risiko) dan ‘Risk Capability’ (Kapabilitas Risiko). Salah satu pendiskusi mengemukakan pendapat bahwa ‘Risk Capability’ merupakan serapan penggabungan antara ‘Risk Capacity’ dan ‘Ability’ yang kemudian terpadu menjadi satu yaitu ‘Risk Capability’. Berdasarkan pandangan ini, suatu organisasi perlu membangun kapasitas risiko mereka terlebih dahulu, baru kemudian dapat membangunnya menjadi kapabilitas dalam pengelolaan risiko organisasi.

 

Di sisi lain ada pendiskusi yang mangatakan bahwa harus ada ‘Risk Capability’ dahulu, baru bisa menjadi ‘Risk Capacity’ yang nantinya dipakai sebagai dasar dalam penentuan Selera Risiko (Risk Appetite), Toleransi Risiko (Risk Tolerance), dan atau Limit Risiko (Risk Limit) dan lain sebagainya yang terkait dengan penentuan batasan parameter dan metrik acuan pengelolaan risiko di suatu organisasi. Berdasarkan pandangan ini, organisasi perlu membangun kapabilitas dalam mengelola risiko terlebih dahulu, baru kemudian dapat membangun kapasitas mereka dalam hal tersebut.

 

Diskusi menjadi menarik, karena ada hal esensial bagi praktisi manajemen risiko dalam menyikapinya, mana yang harus lebih dahulu dibangun? Kapasitas atau kapabilitas? 

 

Berdasarkan pertanyaan di atas, artikel disusun bukan untuk mendukung salah satu pemahaman, yaitu ‘apakah Kapasitas Risiko yang perlu didahulukan baru membangun Kapabilitas Risiko atau sebaliknya.’ Artikel akan lebih menekankan sudut pandang untuk bagaimana melihat dan memaknai kedua hal tersebut dalam membangun ketangguhan dan efektivitas pengelolaan manajemen risiko di suatu organisasi. Keduanya saling berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain terlepas dari mana yang harus didahulukan dalam penerapannya.

 

Makna Kapasitas Risiko dan Kapabilitas Risiko

Kapasitas Risiko adalah kemampuan organisasi untuk menanggung konsekuensi suatu kejadian risiko. Dalam hal ini, Kapasitas Risiko menunjukkan tingkat besaran dampak kejadian risiko atau tingkat risiko maksimum yang dapat ditangani oleh organisasi, yang umum dinyatakan dalam dimensi stabilitas keuangan, atau bisa juga dinyatakan dalam dimensi yang terkait dengan tujuan utama lain dari organisasi, berdasarkan faktor obyektif misal pendapatan organisasi, jumlah aset, jumlah kewajiban dan hutang, jumlah dan cakupan asuransi, serta kadang dinyatakan dalam dimensi horizon waktu.

Kapabilitas Risiko adalah kemampuan organisasi dalam melakukan mitigasi risiko baik dalam penanganan sisi dampak (Risk Impact) maupun sisi tingkat kemungkinan-kejadiannya (Risk Likelihood) yang teridentifikasi sewaktu asesmen risiko, ke tingkat yang dapat diterima. Kapabilitas Risiko organisasi tercermin pada kemampuan mereka dalam mengidentifikasi, mengartikulasikan, mengases, dan melakukan agregasi risiko, serta dalam melakukan pemonitoran, berkomunikasi, dan mengendalikan situasi. Contoh pengendalian situasi untuk penanganan risiko sisi bawah (downside risk) adalah pengambilan keputusan untuk bertindak: apakah akan menerima risiko, dan/atau mengurangi paparan negatif risiko dan/atau mencegah risiko, dan/atau mentransfer risiko. Contoh pengendalian situasi untuk penanganan risiko sisi atas (upside risk) adalah pengendalian risiko untuk mempercepat dan/atau memperbesar paparan positif risiko yang ada.

 

Keselarasan Kapasitas Risiko dan Kapabilitas Risiko

Organisasi perlu memiliki keduanya sehingga dapat membangun Ketangguhan Risiko (Risk Resilience) yang terdiri dari dua elemen yaitu “Preparedness” yang berarti kesiapsiagaan sehingga bila terjatuh akan bangkit lagi (dan bahkan bisa menjadi lebih kuat ) serta lincah dalam beradaptasi (cepat menyesuaikan) dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang diperlukan. Kondisi selalu siap-siaga dan lincah bertindak akan sangat tergantung pada kapasitas dan kapabilitas risiko organisasi dalam menghadapi baik dampak maupun tingkat kemungkinan-kejadian peristiwa risiko yang dihadapi oleh mereka. Karena keselarasan kapasitas risiko dan kapabilitas risiko akan menentukan tingkat ketangguhan risiko organisasi, perlu adanya usaha menyelaraskan kedua hal tersebut secara dinamis dari waktu ke waktu sejalan dengan tantangan pelaksanaan Manajemen Risiko.

Di bawah ini adalah matriks gambar ilustrasi berisikan empat kuadran keselarasan yang membutuhkan tindakan berbeda satu sama lain secara kontekstual bila organisasi bersangkutan berada dalam situasi menghadapi ketidak selarasan yang terjadi.

 

Gambar: Keselarasan Kapasitas Risiko dan Kapabilitas Risiko

 

Keterangan Gambar:

Kuadran I : Kapasitas Risiko Tinggi, Kapabilitas Risiko Rendah

Adanya kesenjangan antara rendahnya pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang ada (low risk capability) dibandingkan dengan tingginya ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang berkelebihan (high risk capacity).

Contoh: Organisasi memiliki peralatan atau mesin super canggih tetapi staf yang tersedia tidak terlatih dalam menggunakannya secara efisien dan efektif sehingga berbagai fitur dan kegunaan mesin tersebut sia-sia belaka dan bahkan menimbulkan biaya perawatan tinggi yang tidak sesuai dengan produktivitas yang dihasilkannya.

 

Kuadran 2: Kapasitas Risiko Tinggi dan selaras dengan Kapabilitas Risiko yang juga tinggi.

Terjadi keselarasan antara tingginya sumber daya dan infrastruktur yang tersedia (high risk capacity) dengan tingginya tingkat pengetahuan dan keterampilan serta keahlian yang ada (high risk capability) sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Keselarasan yang ada akan membangun ketangguhan risiko karena kegiatan organisasi dapat terjaga walau banyak dinamika pencetus kejadian dan paparan risiko baik risiko sisi bawah (negatif) maupun risiko sisi atas (positif). 

Contoh:  Organisasi memiliki kapasitas tinggi dalam bentuk kemampuan perusahaan untuk dapat meluncurkan produk baru secara lebih cepat dari pesaing dan industri sejenis, mulai dari pengembangan ide, pembuatan dan waktu peluncuran produk baru, yang dikombinasikan dengan kapabilitas tinggi organisasi dalam menganalisis dinamika dan aspek sosiologis pasar. Keselarasan dari kombinasi keduanya, akan membuat organisasi dapat melakukan peluncuran produk baru tepat waktu serta dapat diterima dengan baik oleh pasar, sehingga memberikan hasil optimal bagi organisasi.

 

Kuadran 3: Kapasitas Risiko Rendah, Kapabilitas Risiko Tinggi

Adanya kesenjangan antara rendahnya infrastruktur, sumber daya, dan peralatan yang ada (low risk capacity) dibandingkan dengan tingginya tingkat keterampilan, pengetahuan serta keahlian (high risk capability). 

Contoh: Sebuah restoran memiliki juru masak yang terampil dan ahli tetapi peralatan memasak yang tersedia masih berkualitas rendah dan buruk. Restoran tersebut memang masih mampu menyediakan hidangan berkualitas tinggi dalam saat-saat tertentu karena juru masak bekerja dengan keras dan memang berketerampilan tinggi, tetapi dia akan kesulitan menjaga konsistensi dan daya tahan bila harus terus menerus memasak makanan berkualitas tinggi tanpa dukungan memadai dari sumber daya dan infrastruktur yang ada.

 

Kuadran 4: Kapasitas Risiko rendah, Kapabilitas Risiko juga rendah

Terjadi bila sumber daya dan infrastruktur yang tersedia masih rendah (low risk capacity) dan pada saat yang sama tingkat pengetahuan serta keterampilan dan keahlian yang ada juga masih rendah (low risk capability). Dalam kondisi ini, organisasi akan sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan pengelolaan risiko mereka dalam pencapaian tujuan organisasi.

Contoh: Sekolah di pedesaan tertinggal yang selain tidak memiliki kecukupan materi pembelajaran dan infrastruktur memadai, juga pada saat yang sama tidak dapat menyediakan guru berkualitas. Kondisi akan membuat sekolah tersebut sulit untuk dapat menyediakan edukasi berkualitas tinggi bagi anak yang tinggal di pedesaan bersangkutan.

 

Dari bahasan dan contoh matrik di atas, dapat dipahami bahwa seorang profesional manajemen risiko perlu terlebih dahulu mengetahui kondisi sekarang yang sedang dihadapi oleh organisasi, lebih tepatnya di kuadran manakah? Dari kondisi saat ini , baru ditentukan langkah lebih lanjut untuk ditingkatkan ke arah kuadran dua. Dan bila organisasi sudah di kuadran dua, maka langkah lebih lanjut adalah meningkatkan postur keduanya secara selaras, sehingga tingkat ketangguhan risiko organisasi dapat naik ke tingkat lebih tangguh lagi baik dalam kemampuan mengkapitalisasi kesempatan yang ada atau pengelolaan risiko sisi atas (upside risk) dan menghadapi ancaman atau pengelolaan risiko sisi bawah (downside risk) yang mungkin menghadang.

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat, Salam.

By |

AI dan Pasar Teknologi, Tantangan Baru untuk Investor

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Munculnya kecerdasan buatan (AI) membawa peluang besar sekaligus tantangan baru bagi para pengelola aset di sektor teknologi. Dengan pasar yang mulai stabil setelah gejolak pandemi, aktivitas merger dan IPO (Initial Public Offering) menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Namun, kompleksitas AI menuntut investor untuk lebih jeli dalam menilai potensi perusahaan teknologi.

Kebangkitan Merger dan IPO

Selama pandemi, valuasi perusahaan teknologi melonjak akibat permintaan digitalisasi yang meningkat drastis. Namun, setelah itu, valuasi mengalami koreksi tajam. Kini, aktivitas pasar mulai pulih:

  • IPO meningkat: Pada paruh pertama 2024, jumlah IPO naik 83% dibandingkan tahun sebelumnya.
  • Merger menarik perhatian: Dengan valuasi yang lebih masuk akal, perusahaan ekuitas swasta memanfaatkan peluang merger yang menguntungkan.

John Seidensticker dari Grant Thornton menyebutkan bahwa kondisi pasar ini didukung oleh pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve dan peningkatan kinerja IPO terbaru.

AI: Potensi Besar, Risiko Besar

AI menjadi pusat perhatian dalam sektor teknologi. Teknologi ini menawarkan:

  • Efisiensi lebih tinggi: Banyak bisnis memanfaatkan AI untuk mengotomatiskan proses.
  • Pertumbuhan pasar: Perusahaan perangkat lunak dan perangkat keras AI menunjukkan tren positif.

Namun, tidak semua perusahaan akan sukses. Todd Patrick, pakar dari Grant Thornton, mengingatkan bahwa hanya perusahaan besar atau inovator pertama yang cenderung meraih keuntungan signifikan. Perusahaan kecil bisa mengalami kesulitan karena tingginya biaya pengembangan teknologi dan persaingan yang ketat.

Tren di Sub-Sektor Teknologi

Setiap bagian dari industri teknologi menghadapi dinamika yang berbeda:

  1. Semikonduktor: Permintaan tinggi didorong oleh AI dan perangkat pintar, dengan insentif produksi domestik seperti CHIPS Act.
  2. Perangkat Lunak: Investor kini lebih memilih perusahaan dengan pertumbuhan stabil dan pelanggan setia.
  3. Layanan IT: Meski valuasinya stabil, perusahaan yang unggul di cloud computing dan keamanan siber menjadi pilihan utama.
  4. Perangkat Keras: Persaingan harga membuat margin keuntungan tertekan, sehingga inovasi di niche tertentu menjadi kunci.

Dengan banyaknya variabel seperti ketidakpastian politik dan perubahan kebijakan ekonomi, pengelola aset disarankan untuk:

  • Menguji model valuasi melalui skenario berbeda.
  • Mendiversifikasi portofolio untuk mengurangi risiko.
  • Menggunakan data dan analitik guna membuat keputusan yang lebih terinformasi.

Meskipun pasar teknologi tampak menjanjikan, memisahkan potensi nyata dari sekadar hype adalah tantangan utama. Investor yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini akan berada di posisi terbaik untuk memanfaatkan peluang.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Grant Thornton, dengan judul AI Makes Tech Valuations Complicated For Asset Managers. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Solusi Asuransi dan Manajemen Risiko untuk Hadapi Perubahan Iklim

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Perjuangan melawan perubahan iklim penuh dengan tantangan. Namun, melalui pendekatan inovatif dalam asuransi dan manajemen risiko, kita dapat mempercepat transisi menuju keberlanjutan. Artikel ini membahas peran penting sektor asuransi dalam mendukung inovasi, memperkuat pasar karbon, dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.

  1. Mendorong Inovasi dengan Asuransi
    Investasi dalam teknologi ramah lingkungan sering kali terkendala oleh risiko kegagalan atau penundaan. Di sinilah asuransi memainkan peran penting. Produk seperti asuransi parametris dan jaminan kinerja memberikan perlindungan kepada investor terhadap risiko seperti cuaca ekstrem atau performa teknologi yang tidak sesuai harapan.

Sebagai contoh, asuransi parametris dapat melindungi pendapatan dari proyek energi terbarukan seperti ladang surya jika intensitas sinar matahari lebih rendah dari perkiraan. Dengan demikian, sektor asuransi membantu membuka peluang investasi baru di bidang teknologi berkelanjutan.

  1. Memperkuat Kepercayaan di Pasar Karbon
    Pasar karbon menghadapi tantangan operasionalisasi dan kepercayaan. Perjanjian Pasal 6 dari Kesepakatan Paris 2015 menetapkan standar baru untuk kredit karbon yang lebih transparan dan dapat dipercaya.

Asuransi juga dapat meningkatkan kepercayaan di pasar ini. Misalnya, pembeli kredit karbon dapat mengasuransikan diri terhadap risiko jika kredit karbon yang mereka beli tidak memenuhi standar atau gagal memberikan dampak lingkungan yang dijanjikan.

  1. Meningkatkan Ketahanan melalui Adaptasi
    Adaptasi terhadap perubahan iklim memerlukan langkah-langkah perlindungan di tingkat aset dan sistem. Misalnya, membangun tanggul untuk melindungi gudang dari banjir atau menyesuaikan jadwal kerja untuk mengurangi risiko gelombang panas.

Sektor asuransi membantu organisasi merancang strategi adaptasi melalui penilaian risiko dan menyediakan dana sementara untuk membangun ketahanan jangka panjang. Contohnya adalah program “build back better” seperti FloodRe di Inggris, yang memastikan klaim asuransi digunakan untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana di masa depan.

  1. Kolaborasi untuk Mengatasi Hambatan
    COP29 menyoroti pentingnya kolaborasi multi stakeholder, termasuk sektor swasta dan manajemen risiko, untuk mengatasi perubahan iklim. Peran manajer risiko sangat penting dalam mengidentifikasi peluang investasi yang selaras dengan keberlanjutan dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data.

Menghadapi perubahan iklim memerlukan solusi inovatif dari berbagai sektor, termasuk asuransi dan manajemen risiko. Dengan menghilangkan hambatan investasi, memperkuat pasar karbon, dan mendorong ketahanan, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Marsh, dengan judul The Climate Fight Is Fraught with Obstacles. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Pembayaran Hijau: Cara Bank dan Pelanggan Mendukung Keberlanjutan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dalam era ekonomi global baru, keberlanjutan tidak lagi hanya tentang mengelola risiko tetapi juga menciptakan peluang komersial. Sektor perbankan, yang sering menjadi indikator pergeseran pasar, mulai bergerak dari kepatuhan terhadap keberlanjutan menuju inovasi yang berfokus pada penciptaan nilai. Namun, fokus inovasi ini sering terkonsentrasi pada produk utama seperti pinjaman hijau, hipotek, atau manajemen kekayaan. Satu aspek yang masih kurang dieksplorasi adalah pembayaran—alat strategis yang dapat menjadi penggerak transisi keberlanjutan.

Mengapa Pembayaran Penting dalam Keberlanjutan?

Sekilas, hubungan antara pembayaran dan keberlanjutan mungkin tampak lemah. Namun, pada intinya, pembayaran mencerminkan perilaku konsumen sehari-hari, termasuk keputusan yang memengaruhi emisi karbon. Dari pelacakan jejak karbon hingga insentif untuk pilihan ramah lingkungan, pembayaran memiliki potensi besar untuk mengedukasi, memotivasi, dan memberdayakan pelanggan.

Beberapa bank dan fintech sudah menunjukkan kemajuan, seperti:

  1. Edukasi dan Transparansi: Memberikan pelanggan informasi tentang dampak karbon dari transaksi mereka.
  2. Insentif Ramah Lingkungan: Menawarkan cashback atau hadiah untuk tindakan positif terhadap iklim.
  3. Pilihan Berkelanjutan: Memudahkan pelanggan untuk memilih produk dan layanan yang mendukung ESG (Environmental, Social, and Governance).

Potensi Keuntungan bagi Bank dan Pelanggan

Mengintegrasikan keberlanjutan dalam pembayaran dapat meningkatkan loyalitas pelanggan, membuka aliran pendapatan baru, dan memberikan wawasan berharga dari data pembayaran untuk pengembangan produk. Di sisi pelanggan, solusi ini mempermudah mereka membuat keputusan berkelanjutan tanpa beban.

Langkah-Langkah Strategis untuk Bank

Agar pembayaran berkelanjutan dapat diterapkan secara efektif, bank perlu:

  1. Meningkatkan Kapabilitas Internal: Investasi dalam teknologi seperti open banking untuk desain pengalaman pengguna yang mulus.
  2. Bermitra dengan Pemain Ekosistem: Kolaborasi dengan fintech dan greentech untuk menciptakan solusi inovatif.
  3. Menerapkan Strategi Go-to-Market: Menguji pasar dengan pendekatan lokal yang mempertimbangkan sensitivitas pelanggan terhadap isu hijau.

Di tengah pergeseran menuju keberlanjutan, pembayaran bukan hanya alat transaksi tetapi juga jembatan menuju masa depan yang lebih hijau. Dengan memanfaatkan pembayaran sebagai penggerak keberlanjutan, bank dapat memberikan nilai tambah bagi pelanggan sekaligus memperkuat posisi kompetitif mereka.

Apakah Anda siap menyongsong revolusi pembayaran hijau?

Artikel ini telah diterbitkan oleh Kearney, dengan judul As Banks Dial Up Their Sustainability Offerings, The Strategic Value Of Payments Should Not Be Overlooked. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Tren Keamanan Siber yang Harus Diperhatikan pada 2025

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Keamanan siber terus menjadi perhatian utama bagi para profesional keamanan dan pemimpin organisasi. Teknologi berkembang pesat, begitu pula dengan kerentanannya. Meskipun tidak ada yang bisa memprediksi masa depan, ada beberapa tren yang diperkirakan akan mempengaruhi lanskap keamanan siber pada 2025:

Ransomware yang Semakin Canggih

Ransomware menjadi ancaman utama dengan lebih dari 150 jenis ransomware yang ada. Untuk melawan ini, organisasi perlu memperbarui alat mereka dengan teknologi AI untuk mendeteksi ancaman lebih canggih. Pelatihan karyawan, terutama dalam mendeteksi phishing, juga penting.

Keamanan Cloud yang Lebih Kuat

Seiring banyak organisasi beralih ke cloud, mereka harus memperkuat keamanan dengan menerapkan kerangka keamanan seperti Zero Trust dan Cloud Security Posture Management (CSPM). Kebijakan penggunaan cloud dan pelatihan karyawan sangat diperlukan.

AI dalam Keamanan Siber

AI digunakan baik oleh penyerang maupun pembela untuk menciptakan alat peretasan lebih canggih dan mendeteksi ancaman lebih cepat. Organisasi harus memanfaatkan alat keamanan berbasis AI untuk meningkatkan deteksi ancaman dan kepatuhan.

Perang Siber dalam Pemilu

Dengan semakin seringnya pemilu global, serangan siber diharapkan meningkat, dengan tujuan mengubah hasil pemilu atau menyebarkan disinformasi. Organisasi dan pemerintah perlu mempersiapkan sistem untuk melawan ancaman ini.

Retensi dan Peningkatan Profesional Keamanan Siber

Setengah dari profesional keamanan siber merasa burnout. Organisasi perlu mendukung tim keamanan mereka dengan memberikan penghargaan, istirahat, dan beban kerja yang seimbang untuk mencegah kelelahan.

Melihat ke depan, organisasi harus lebih proaktif dan berinvestasi dalam langkah-langkah keamanan untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks ini.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Isaca, dengan judul Cybersecurity Trends to Watch in 2025. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Manajemen Risiko Digital Makin Matang

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Menurut survei Audit Board, 65 persen organisasi melaporkan telah mencapai tahap lanjutan dalam pengelolaan risiko digital. Mereka aktif mitigasi dan terus memantau risiko digital. Angka ini naik signifikan dari 26 persen pada tahun 2023.

Survei juga menemukan bahwa 59 persen organisasi merasa metrik risiko digital mereka sangat efektif, terutama dalam pengambilan keputusan. Kolaborasi antar-departemen yang kuat juga membuat metrik risiko dan manajemen risiko pihak ketiga lebih efektif. Dengan kata lain, kematangan risiko digital meningkatkan efisiensi di berbagai bidang.

Sekitar 52 persen organisasi telah mengintegrasikan manajemen risiko digital ke dalam kerangka Enterprise Risk Management (ERM). Kelompok ini melaporkan metrik yang lebih baik, pemantauan pihak ketiga yang lebih maju, dan kolaborasi antar-departemen yang lebih kuat.

“Integrasi ini memastikan keselarasan di seluruh perusahaan, menghasilkan strategi risiko yang lebih menyeluruh. Kolaborasi antar-departemen sangat penting untuk mengatasi sekat-sekat internal dan menciptakan pendekatan terpadu dalam mengelola risiko digital,” ungkap laporan tersebut.

Banyak organisasi memanfaatkan solusi berbasis cloud dan AI untuk meningkatkan kemampuan manajemen risiko mereka. AI digunakan untuk mendeteksi ancaman, mengotomatisasi respons, dan meningkatkan produktivitas tim. Lebih dari separuh organisasi besar menggunakan AI untuk memperkuat strategi risiko digital mereka.

Namun, penggunaan AI juga memiliki tantangan. Sebanyak 78 persen organisasi mengidentifikasi AI sebagai risiko teknologi baru yang perlu dipantau. Kerangka kerja untuk penggunaan AI yang bertanggung jawab menjadi hal penting.

Artikel ini telah diterbitkan oleh IRM, dengan judul Digital Risk Management Maturity Increases. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Bagaimana AI Mengubah Manajemen Aset dan Risiko Keuangan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa perubahan besar dalam cara industri keuangan mengelola aset dan risiko. AI membantu meningkatkan efisiensi sekaligus mengubah pendekatan tradisional dalam mengelola portofolio dan risiko.

Portofolio Mandiri oleh AI

AI membuka jalan untuk “portofolio self-driving,” yaitu portofolio yang dikelola sepenuhnya oleh AI tanpa campur tangan manusia. AI mampu mengidentifikasi peluang investasi, membangun portofolio optimal, dan menjalankan transaksi. Namun, tantangan seperti komunikasi antar sistem AI masih perlu diselesaikan.

Sejak 2017, kemajuan teknologi memungkinkan AI bekerja lebih sinergis, sehingga potensi pengelolaan aset oleh AI menjadi lebih besar dibandingkan cara tradisional.

AI vs. Manajer Aset

AI semakin mahir dalam membangun portofolio dan mengelola investasi, bahkan melampaui kemampuan manusia di beberapa aspek. Selain itu, AI juga memungkinkan personalisasi strategi investasi, di mana setiap orang dapat memiliki AI yang mengelola keuangan sesuai kebutuhan pribadi mereka.

Mampukah AI Menggantikan Manajer Aset?

Teknologi kecerdasan buatan (AI) sedang mengubah banyak aspek dalam industri keuangan, termasuk peran manajer aset. Kemampuan AI yang terus berkembang memicu pertanyaan besar: apakah manusia akan sepenuhnya tergantikan?

Keunggulan AI: Cepat dan Akurat

AI memiliki keunggulan dalam memproses data dalam jumlah besar dengan cepat dan akurat. Dengan algoritma yang terus disempurnakan, AI mampu:

  • Mengidentifikasi peluang investasi.
  • Membangun portofolio optimal.
  • Mengeksekusi perdagangan tanpa bias emosional.

Cliff Asness, pendiri AQR Capital Management, bahkan menyebut bahwa AI telah menjadi “terlalu bagus” dalam tugas ini, sehingga banyak yang khawatir peran manajer aset manusia akan memudar.

Tantangan AI dalam Menggantikan Manusia

Namun, AI masih memiliki keterbatasan:

  1. AI tidak sempurna dan masih bisa melakukan kesalahan besar.
  2. Tidak seperti manusia, AI belum mampu memahami konteks atau intuisi di luar data yang ada.
  3. AI tetap memerlukan pengawasan manusia untuk memantau keputusan yang diambil.
  4. AI sulit memahami atau menjelaskan anomali pasar secara mendetail.

Peran Manusia yang Tidak Tergantikan

Meskipun AI unggul dalam efisiensi, manajer aset manusia memiliki keunggulan dalam hal:

  • Membangun hubungan personal dengan klien.
  • Memahami dinamika pasar yang kompleks dan sulit diukur oleh algoritma.
  • Membawa pendekatan kreatif dalam menghadapi tantangan yang tidak terduga.

Di masa depan, AI kemungkinan besar akan menjadi alat pendukung yang sangat penting bagi manajer aset, bukan sepenuhnya menggantikan mereka. Dengan memanfaatkan AI, manajer aset dapat fokus pada strategi yang lebih kompleks dan mendalam.

AI tidak serta-merta menghilangkan peran manajer aset, tetapi akan mengubah cara mereka bekerja. Kolaborasi antara manusia dan teknologi akan menjadi kunci untuk memaksimalkan potensi AI tanpa kehilangan sentuhan manusia yang sangat diperlukan dalam industri keuangan.

Jadi, mampukah AI menggantikan manajer aset? Jawabannya: mungkin tidak sepenuhnya. Namun, AI pasti akan menjadi bagian tak terpisahkan dari masa depan manajemen aset.

Namun, dengan peningkatan teknologi, masalah ini diprediksi akan teratasi.

Dalam lima tahun, AI diperkirakan akan menjadi pemimpin dalam pengambilan keputusan keuangan. Dalam 20 tahun, peran manusia mungkin akan jauh berkurang di sektor ini.

AI membawa risiko dan peluang besar. Bagi profesional keuangan, penting untuk terus mengasah keterampilan agar tetap relevan. Pada akhirnya, AI tidak hanya akan mengubah pasar keuangan, tetapi juga mendefinisikan ulang cara kita memahaminya.

 

Artikel ini telah diterbitkan oleh GARP pada 13 Desember 2024, dengan judul How AI Could Transform Asset Management and Financial Risk. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

 

By |
Go to Top