Penulis: Winsky

Artikel ini merupakan rangkuman dari paparan Dr. Antonius Alijoyo dalam webminar PT. Pertamina EP. Beliau merupakan ketua (chairman) dari Center For Risk Management and Sustainability (CRMS) Indonesia, ketua umum Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan berbagai institusi profesi lainnya.

Dalam paparannya, beliau menyampaikan dampak dari pandemi COVID-19 terhadap industri minyak dan gas (migas) di dunia dan di Indonesia. Persebaran pandemi COVID-19 di luar China semakin meluas dan mempengaruhi keadaan ekonomi dunia, terutama pada pasar global komoditi – seperti emas, batu bara dan migas. Di China, permintaan komoditi minyak tahun ini tumbuh sebanyak 170.000 b/d (barrel per day) – hal ini sangat buruk mengingat permintaan komoditi ini hanya mencapai 20% dari target yang dicanangkan.

Hal ini tentu juga mengancam perdagangan komoditi migas di Indonesia, terutama bagi PT. Pertamina EP yang merupakan salah satu perusahaan komoditi migas terbesar di Indonesia. Saat ini, persebaran pandemi COVID-19 telah menjadi masalah, bahkan beberapa organisasi telah mengalami krisis akibat pandemi tersebut.

Berdasarkan The Rumsfeld Matrix tentang Risk Management and Organization Resilience (Gambar 1), pandemi COVID-19 berada di area ‘Unknown Unknown’ atau dapat disebut dengan The Black Swan Area. Hal ini menunjukkan bahwa kita belum pernah mengalami pandemi seperti ini, kita juga tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir, dan bagaimana cara mengakhiri pandemi ini.

Mengetahui situasi ini, organisasi diharapkan untuk segera menerapkan manajemen risiko dan Business Continuity Management (BCM). Baik manajemen risiko dan BCM merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung keberlangsungan organisasi. Manajemen risiko membantu organisasi mempersiapkan diri dari segala sesuatu yang telah diketahui, sedangkan BCM dapat membantu organisasi mempersiapkan diri dari segala sesuatu yang belum diketahui.

Gambar 1. The Rumsfeld Matrix tentang Risk Management and Organization Resilience

 

Lebih lanjut, Dr. Antonius Alijoyo menekankan bahwa organisasi boleh berharap yang terbaik, tetapi bersiap bila yang terburuk terjadi. Karena menurut artikel dari Forbes Magazine: “After COVID-19, the oil industri will not return to normal”.

Berdasarkan kemungkinan tersebut, organisasi perlu melihat 5R dalam horison mereka, yaitu:

  • Resolve: Organisasi harus segera mengatasi tantangan dari COVID-19 yang  berdampak pada tenaga kerja, konsumen, teknologi dan partner bisnis.
  • Resilience: Organisasi harus mengelola keuangannya dengan baik, karena dalam situasi seperti ini pengelolaan keuangan yang baik berbanding lurus dengan ketahanan organisasi yang baik juga.
  • Return: Organisasi harus memiliki rencana untuk dapat beradaptasi dengan situasi ketika pandemi COVID-19 ini telah selesai dan seluruh aktivitas bisnis kembali berjalan normal
  • Reimagination: Organisasi harus membayangkan situasi baru atau dapat disebut ‘a new normal’.
  • Reform: Jika organisasi harus membentuk sebuah aktivitas bisnis baru, maka pikirkan bentuk seperti apa yang akan dibuat oleh organisasi.

 

Pada saat organisasi menghadapi kondisi yang disebut ‘a new normal’, ada beberapa langkah yang dapat organisasi lakukan. Langkah tersebut dapat dilihat  dari seberapa besar dan seberapa lama dampak COVID-19 yang mempengaruhi perekonomian dan model bisnis suatu organisasi. Secara umum, menurut report dari McKinsey – organisasi anda dapat memilih salah satu di antara empat langkah persiapan berikut:

  • Mengubah model bisnis
  • Mempertahankan aktivitas bisnis dan kegiatan operasional
  • Membentuk bisnis baru
  • Merestruktur perusahaan

 

Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat. Salam.