Penulis: Munawar Kasan – Pengurus Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan Pemerhati Manajemen Risiko

Coronavirus disease (Covid-19) mengguncang dunia. Kejadian besar yang dipicu penyakit menular ini di luar prediksi banyak kalangan. Bahkan kalangan praktisi dan ahli bidang manajemen risiko. Para chief risk officer (CRO) dan manajer risiko banyak yang melewatkan risiko pandemi ini menjadi risiko yang perlu diwaspadai pada tahun ini.

Dalam The Global Risks Report 2020, risiko pandemik tidak masuk dalam 10 besar risiko yang bakal terjadi tahun 2020 ini. Hanya masuk dalam urutan ke-10 sebagai risiko yang memiliki dampak besar di dunia. Risiko terkait faktor lingkungan (seperti cuaca ekstrem atau bencana alam) dan faktor geopolitik dan teknologi (seperti senjata pemusnah massa atau pencurian data) mendominasi prediksi risiko pada tahun 2020. Kondisi yang relatif sama juga terjadi kalangan praktisi korporasi di Indonesia. Hasil tiga kali survei Center for Risk Management & Sustainability tahun 2017-2019, perusahaan di Indonesia belum menganggap risiko penyakit menular sebagai fokus perusahaan. Hingga awal 2020, banyak yang tidak menduga bahwa Covid-19 ini akan berdampak semasif ini. Awalnya diperkirakan hanya sektor tertentu yang terdampak, seperti sektor penunjang pariwisata. Kini seluruh sektor terdampak, bahkan menyentuh cara beribadah dan berkehidupan sosial.

 

Manajemen Kelangsungan Bisnis Covid-19 yang telah menjadi pandemik global, bukan lagi sebagai risiko. Covid-19 menjadi problem perusahaan. Bagi perusahaan dengan level maturitas manajemen risiko rendah atau belum punya manajemen kelangsungan bisnis (business continuity management/BCM) , pada umumnya kurang terstruktur dalam merespon Covid-19.Menurut Moeljono dkk (2020), gangguan Covid-19 memiliki karakteristik unik, tidak terjadi mendadak dalam waktu singkat (sudden incident) , tetapi bertahap (creeping incident). Kondisi ini masih memberi waktu perusahaan untuk membuat rencana keberlangsungan bisnis (business continuity plan/BCP). Perusahaan yang memiliki BCM tentu sudah melakukan business impact analysis. Sudah memiliki proses bisnis kritikal yang harus tetap dijalankan perusahaan di tengah bencana. Perusahaan dituntut tetap mampu memberikan layanan standar minimum kepada pemangku kepentingannya di tengah work from home atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

 

Mitigasi Risiko Lanjutan Mempertahankan operasional proses bisnis kritikal saat ini sedang berjalan. Dalam kurun waktu lebih dari satu bulan ini, perusahaan sudah dapat beradaptasi dengan WFH. Bagi yang sudah menerapkan manajemen risiko, pada umumnya telah melakukan identifikasi jenis risiko, metode pengukuran/evaluasi beserta pengendalian dan mitigasinya. Dampak Covid-19 bisa diklasifikasikan ke dalam jenis risiko relevan, misalnya pada risiko strategi, risiko operasional, risiko kredit, bahkan hingga risiko kepatuhan. Apa pun standar manajemen risiko yang digunakan, fokus utama perusahaan adalah meminimalisasi deviasi sasaran. Bahkan sebagian perusahaan realistis menurunkan pada level lebih rendah, yakni bagaimana perusahaan bisa bertahan. Hal ini akan berimplikasi pada perubahan strategi dan/atau program perusahaan.Untuk mengendalikan dampak Covid-19 secara efektif, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan perusahaan. Pertama, melakukan analisis dampak langsung dan mitigasi dampak dari merebaknya Covid-19. Termasuk dampak kebijakan WFH, social distancing, dan PSBB. Fase ini seharusnya sudah dilakukan oleh perusahaan. Kedua, melakukan identifikasi potensi risiko lanjutan dalam jangka panjang sekaligus membuat rencana mitigasinya secara holistik. Ini perlu dilakukan untuk memastikan ketahanan perusahaan ke depan. Perusahaan akan siap dari berbagai kemungkinan dampak yang belum terjadi. Mitigasinya bisa teknis atau bahkan strategis (khususnya untuk antisipasi jangka panjang).Banyak perusahaan yang sudah terdampak, misalnya pada supply chain, anjloknya permintaan, macetnya tagihan, atau sebagian sudah melakukan pemutusan hubungan kerja. Ada potensi dampak lain yang belum dirasakan sekarang, tetapi bisa terjadi tatkala wabah ini terus berlanjut hingga kurun waktu tertentu. Tak hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga ekosistemnya. Pada perusahaan tertentu, stress test perlu dilakukan dengan berbagai skenario. Ketiga, BCM adalah keharusan. Bagi yang belum punya BCM, masih ada waktu untuk membuatnya. Dari hasil identifikasi potensi risiko lanjutan, bisa dimungkinkan akan teridentifikasi risiko yang membutuhkan emergency response plan (ERP) dan BCP. Melalui BCM, perusahaan akan memiliki resilience lebih baik, khususnya untuk merespons kejadian yang bersifat black swan. Keempat , menghadirkan kepemimpinan dan komunikasi yang efektif. Dalam situasi krisis, peran pemimpin sangat krusial. Perannya tak hanya sekadar memberikan arahan atau memandu, tetapi lebih dari itu, yakni menguatkan moral tim. Sementara itu, komunikasi menjadi bagian inheren dari setiap proses manajemen risiko (ISO 31000:2018). Tiap tahapan membutuhkan komunikasi efektif, baik secara vertikal maupun horizontal dalam perusahaan. Komunikasi ke stakeholders eksternal memegang peran penting, khususnya untuk memberi gambaran tentang kondisi dan ketahanan perusahaan, termasuk dalam pengendalian risiko reputasi.

 

Membangun Budaya Risiko Terlepas dari debat apakah Covid-19 adalah black swan atau bukan, cara pandang dan mengelola risiko perlu diperbarui. Tak mudah untuk keluar dari kungkungan saat proses identifikasi risiko. Perusahaan sering kali fokus pada risiko apa yang paling mungkin terjadi (likelihood tinggi). Akibatnya, potensi black swan terabaikan. Organisasi tidak cukup hanya memiliki standar, struktur, dan personel manajemen risiko. Membangun budaya risiko (risk culture) jauh lebih penting. Melalui budaya risiko, organisasi akan selalu siap menghadapi risiko karena proses pengambilan keputusan organisasi telah menimbang unsur risiko dan melekatkan manajemen risiko dalam operasi organisasi (RMA, 2013). Paradigma manajemen risiko yang melekat dalam proses organisasi menjadikan organisasi memiliki daya tahan terhadap setiap risk event dan mengurangi dampaknya. Organisasi akan lebih tanggap pada bencana, termasuk yang bersifat black swan. Lebih dari itu, budaya risiko tak hanya untuk mereduksi dampak negatif, tetapi bisa digunakan untuk mengelola peluang untuk mencapai keunggulan kompetitif (Hillson, 1997).

 

 

Artikel ini dimuat di koran Sindo, 11 Mei 2020.

https://nasional.sindonews.com/read/23873/18/covid-19-dan-pembelajaran-manajemen-risiko-1589159141