Berita2

Berita22021-01-25T08:49:23+07:00

STANDAR MANAJEMEN RISIKO SEKTOR PUBLIK – TONGGAK BERSEJARAH: RAPAT KOORDINASI JAJAK PENDAPAT BADAN STANDARISASI NASIONAL

Penulis : Winsky
Sekretariat GRC

Dalam rangka menyediakan pedoman untuk pengelolaan risiko yang di hadapi organisasi sektor publik, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah meluncurkan RSNI ISO 31000:2018, Manajemen Risiko – Panduan Implementasi di sektor publik yang mengadopsi secara identik “ISO 31000:2018 – Risk management – Guidelines” yang substansinya telah diperkaya agar dapat diterapkan di organisasi sektor publik di Indonesia. (more…)

By |October 30th, 2019|Categories: Berita|Comments Off on STANDAR MANAJEMEN RISIKO SEKTOR PUBLIK – TONGGAK BERSEJARAH: RAPAT KOORDINASI JAJAK PENDAPAT BADAN STANDARISASI NASIONAL

Kerja Sama IRMAPA & CRMS Indonesia di Bidang Pengembangan Kompetensi Anggota IRMAPA

Penulis: Sekretariat IRMAPA

Pada hari ini, Rabu 18 September 2019 bertempat di Breso Green Pramuka Square, IRMAPA (Indonesia Risk Management Professional Association) dan CRMS Indonesia (Center for Risk Management and Sustainability) telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pengembangan Kompetensi Anggota IRMAPA. (more…)

By |September 19th, 2019|Categories: Berita|Comments Off on Kerja Sama IRMAPA & CRMS Indonesia di Bidang Pengembangan Kompetensi Anggota IRMAPA

Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko Masuk Perkebunan: Pendampingan IPB Terhadap Group PTPN Dalam Pelatihan Persiapan Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko Berbasis SNI ISO 31000

Penulis: Charles R. Vorst, MM., BCCS, CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP.
Sekretaris Jenderal IRMAPA.

 

Hadirnya era digitalisasi dan Industry 4.0 semakin memperlihatkan dampaknya pada peningkatan kompleksitas persaingan di berbagai sektor industri di Indonesia. Pertama-tama gerai-gerai ritel yang tertekan penjualannya dengan serbuan e-commerce, lalu agen perjalanan yang semakin sulit berkembang dengan kemudahan e-ticketing, kemudian jasa transportasi taksi yang harus melawan gempuran transportasi daring, serta kini perbankan yang harus semakin waspada melihat perkembangan fintech yang semakin menjamur. Fenomena ini tidak akan berhenti dan akan terus terjadi ke depan. Kita yang hidup di masa transisi, di mana transaksi dari dunia nyata berpindah ke dunia maya, dengan alat transaksi uang kartal/giral yang bisa dipegang wujudnya berubah menjadi uang digital yang nilainya hanya tertera pada layar gawai, diprediksi sejak lama akan menjadi saksi keruntuhan banyak perusahaan yang “malas” atau lamban mengadopsi perubahan.

Menyadari bahwa hanya masalah waktu fenomena yang sama akan memberi dampak pada sektor agrikultur, group PT Perkebunan Nasional (PTPN) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang fokus pada bidang usaha agribisnis melakukan sebuah inisiatif strategis untuk membangun kesiapan internal dalam mengelola risiko yang telah menanti di depan. Didampingi oleh tim dari Fakultas Ekonomi & Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam pelatihan persiapan asesmen kompetensi, PTPN III sebagai holding melaksanakan program sertifikasi profesi manajemen risiko berbasis SNI ISO 31000 bagi seluruh entitas perusahaan dalam group PTPN. Diikuti oleh sekitar 35 peserta dari 14 PTPN seluruh Indonesia yang terdiri atas anggota Dewan Komisaris, anggota Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko, serta para pimpinan Unit Manajemen Risiko dan beberapa unit kerja lainnya, pelatihan berlangsung pada tanggal 13-14 Agustus 2019 sebelum dilanjutkan dengan asesmen kompetensi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Mitra Kalyana Sejahtera pada tanggal 15 Agustus 2019. Adapun sertifikasi profesi manajemen risiko yang dipilih oleh group PTPN merupakan skema sertifikasi profesi berlisensi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) yakni Qualified Chief Risk Officer, atau disingkat QCRO.

Pelatihan persiapan ini berisikan sesi-sesi paparan, diskusi tanya-jawab, serta tugas-tugas latihan yang harus diikuti seluruhnya oleh semua peserta, difasilitasi oleh tim fasilitator IPB yang terdiri atas Prof. D. S. Priyarsono, PhD., QRGP dan Dr. Budi Purwanto, QCRO, serta penulis sendiri. Meski desain pelatihan pada dasarnya ditujukan untuk mempersiapkan para peserta pelatihan sebagai asesi yang akan mengikuti asesmen kompetensi dan berdiskusi dalam sesi wawancara dengan para asesor berlisensi yang bertugas untuk menggali tingkat kompetensi dan pemahaman asesi terhadap materi yang diujikan, diskusi selama kelas pelatihan berlangsung ikut mencakup berbagai isu risiko dan permasalahan nyata yang dihadapi oleh masing-masing individu PTPN sebagai entitas BUMN maupun dalam konteks PTPN sebagai kelompok perusahaan agribisnis di Indonesia. Hal ini tentunya merupakan indikator positif dari para peserta yang tidak hanya mencerminkan keseriusan dalam hal mempersiapkan diri menghadapi sesi asesmen kompetensi melainkan lebih jauh lagi, keseriusan untuk membangun kapasitas internal pengelolaan risiko yang tangguh di lingkungan group PTPN.

Beberapa catatan yang dapat penulis sarikan dari berbagai diskusi dalam kelas yang mungkin dapat bermanfaat bagi para profesional bidang manajemen risiko secara umum antara lain:

  1. Keberhasilan penerapan manajemen risiko, terutama efektivitas praktik pengelolaan risiko hasil-keluarannya (outcome), membutuhkan peran serta dari seluruh pihak internal yang dilibatkan dalam manajemen risiko, termasuk para pimpinan;
  2. Guna memastikan para pihak internal tersebut paham peran serta seperti apa yang harus dijalankan maka rangkaian fungsi, tugas pokok, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing pihak internal ini perlu didefinisikan dengan jelas dan dipahami oleh masing-masing individu;
  3. Selain pendefinisian di atas, upaya awareness dan peningkatan kompetensi memegang peranan penting. Awareness ditujukan untuk membangun persepsi yang benar dari masing-masing individu tentang seperti apa penerapan manajemen risiko dan membangun dukungan terhadap penerapan manajemen risiko berdasarkan pemahaman akan keterkaitan dan relevansi pengelolaan risiko yang efektif dengan dirinya sebagai insan organisasi. Sedangkan pembangunan atau peningkatan kompetensi di bidang manajemen risiko ditujukan agar masing-masing individu memiliki keterampilan untuk menjalankan perannya masing-masing dalam proses manajemen risiko. Sehubungan dengan hal ini, program sertifikasi profesi manajemen risiko mampu mengakomodasi kedua upaya di atas sekaligus, dengan efek positif tambahan mengingat adanya potensi rasa malu yang timbul pada diri masing-masing individu ketika sebagai pemegang sertifikasi profesi manajemen risiko lalai dalam melakukan pengelolaan risiko di lingkungan organisasi;
  4. Secara khusus dalam hal membangun budaya risiko, keterlibatan para pimpinan, baik manajemen lini, terlebih manajemen puncak, yang berinisiatif mengambil langkah terdepan dalam mengikuti program sertifikasi profesi manajemen risiko memberikan sebuah contoh keteladanan yang tidak dapat terbantahkan bagi individu lainnya di lingkungan organisasi mengenai keseriusan organisasi untuk menerapkan manajemen risiko secara benar dan efektif. Contoh keteladanan ini sangat dianjurkan untuk membangun fondasi budaya risiko yang solid dalam bentuk semangat keseriusan di seluruh lingkungan organisasi untuk menerapkan manajemen risiko, apalagi pada konteks sektor non-jasa keuangan di mana belum ada regulasi yang mewajibkan insan organisasi untuk mengambil sertifikasi profesi manajemen risiko;
  5. Tidak ada organisasi yang terlalu tangguh untuk tidak memulai penerapan manajemen risiko, dan tidak ada organisasi yang terlalu lemah untuk memulai penerapan manajemen risiko. Yang menjadi pembeda antara organisasi yang berhasil dan yang tidak dalam praktik pengelolaan risikonya adalah keseriusan organisasi dalam langkah awalnya menjalankan manajemen risiko dan bagaimana mempertahankan keseriusan tersebut hingga membuahkan hasil yang nyata bagi organisasi. Segeralah mulai, dan jadikan manajemen risiko sebagai bagian dari perangkat manajemen untuk mencapai sasaran organisasi.

Mengakhiri artikel ini, IRMAPA memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada group PTPN yang berikhtiar secara serius untuk lebih siap menghadapi tantangan bisnis di depan, dan kepada FEM-IPB yang maju selangkah lagi dalam memberikan kontribusi positif bagi sektor agribisnis di Indonesia. Dalam semangat memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-74, besar harapan IRMAPA bahwa semoga inisiatif kedua institusi kebanggaan negeri ini dapat menjadi inspirasi bagi para pelaku sektor industri lainnya di Indonesia.

 

-Foto bersama peserta pelatihan dengan tim fasilitator dan penyelenggara.-

-Tim fasilitator & penyelenggara.-

 

-o0o-

By |August 20th, 2019|Categories: Berita|Comments Off on Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko Masuk Perkebunan: Pendampingan IPB Terhadap Group PTPN Dalam Pelatihan Persiapan Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko Berbasis SNI ISO 31000

Mewujudkan Sustainability & Memimalisasi Pelanggaran – Konteks Perusahaan BUMD

Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professionals Association (IRMAPA).
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Beranjak dari kesempatan sebagai panelis dalam diskusi di ‘Leaders Talk 2.0’ mengenai ‘Sustainability & Minimimalisir Pelanggaran” – dengan tuan rumah BUMD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta – yaitu PT Jakarta Propertindo (JAKPRO) pada tanggal 31 Juli 2019, penulis tergerak untuk berbagi catatan di bawah ini.

Ada tiga sub-topik diangkat dalam ‘Leaders Talk 2.0’ yaitu:

  1. Integrated GRC – Keberlanjutan dan Peningkatan Kinerja dengan Memperkuat Lini Pertahanan Bisnis.
  2. Manajemen Risiko bagi Sektor Publik – Standar dan Implementasinya.
  3. Kejahatan Korporasi – dalam Perspektif GRC’.

A. Sub-Topik “Integrated GRC – Keberlanjutan dan Peningkatan Kinerja dengan Memperkuat Lini Pertahanan Bisnis”

Sub-topik dipaparkan oleh panelis Mas Achmad Daniri – Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Indonesia yang menekankan bahwa organisasi akan sustain bila mau menerapkan GRC terintegrasi (Governance, Risk Management, and Compliance) – dalam pengertian kemauan dan kemampuan organisasi untuk bersikap dan bertindak sesuai praktik-praktik GRC yang baik, di atas sekadar kepatuhan.

Mengapa perlu GRC terintegrasi? Jawaban diberikan dari sudut pandang bahwa berbagai divisi dalam suatu organisasi tidak dapat lagi berjalan sendiri-sendiri atau silo-silo, karena:

  1. Banyak dan beragamnya pemangku kepentingan,
  2. Percepatan antisipasi risiko yang terjadi,
  3. Harapan dan tuntutan pemangku kepentingan yang berkembang sedemikian rupa sehingga organisasi perlu melakukan praktik-praktik GRC untuk lebih baik dari sekedar kepatuhan semata.

Apa manfaat dari penerapan GRC terintegrasi? Menurut panelis, praktik GRC terintegrasi akan membangun kepercayaan pemangku kepentingan baik bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan organisasi, maupun yang tidak langsung.

Kepercayaan tersebut akan melahirkan banyak manfaat baik bagi organisasi bersangkutan, misalnya nilai saham yang membaik sampai dengan menciptakan manfaat secara makro di tingkat negara, di antaranya:

  • Tidak terjadi kebocoran dalam perekonomian;
  • Ekonomi dengan aliran dana yang bersih;
  • Ekonomi yang efisien, dengan pertumbuhan yang berkualitas;
  • Pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan pemerataan.

B. Sub-Topik “Manajemen Risiko bagi Sektor Publik – Standar dan Implementasinya”.

Sub-topik dipaparkan oleh penulis Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG selaku Ketua Komite Teknis 03-10 Tata Kelola (Governansi), Manajemen Risiko, dan Kepatuhan Badan Standarisasi Nasional (BSN), yang memberikan butir paparan sebagai berikut:

  1. Berdasarkan pertimbangan bahwa organisasi sektor publik memiliki konteks dan karakteristik tersendiri, BSN sedang mempersiapkan SNI (Standar Nasional Indonesia) Manajemen Risiko Sektor Publik berbasis SNI ISO 31000:2018. Diharapkan SNI Manajemen Risiko Sektor Publik berbasis SNI ISO 31000:2018 tersebut sudah akan diluncurkan di akhir tahun 2019.
  2. Dalam konteks tuan rumah penyelenggara diskusi panel, penulis menekankan bahwa seringkali penerapan manajemen risiko disalahartikan oleh banyak BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) untuk mengelola hanya risiko negatif (risiko sisi bawah) atau digunakan hanya dalam menghadapi ancaman. Padahal, ada risiko positif (risiko sisi atas) yang sering terlupakan atau tidak ditangani secara memadai sehingga organisasi tidak cukup membangun kapasitas dan kapabilitas yang relevan. 
  3. Risiko sisi bawah adalah risiko dapat terjadinya hal-hal buruk (bad things that could happen) dalam pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, sedangkan risiko sisi atas adalah risiko dimana hal-hal baik tidak dapat diwujudkan (good things that do not happens) atau gagal memanfaatkan peluang.
  4. Sudah saatnya pemerintah daerah dan BUMD menerapkan manajemen risiko terstandarisasi sedemikian rupa sehinga mereka dapat siap mengelola baik risiko sisi bawah yang timbul dari berbagai ketidakpastian dan ancaman, dan sekaligus juga siap mengelola risiko sisi atas yang datang seiring dengan adanya kesempatan.
  5. Penerapan standar manajemen risiko berbasis SNI ISO 31000:2018 akan membantu organisasi lebih siap menghadapi berbagai tantangan ketidakpastian karena mereka akan mampu melakukan proses manajemen risiko dengan prinsip bahwa manajemen risiko adalah untuk menciptakan dan melindungi nilai organisasi, terintegrasi dan seiring dengan pembangunan budaya dan kompetensi sumber daya insaninya. Organisasi juga akan memiliki posisi yang lebih baik dalam memenuhi akuntabilitas mereka sebagai organisasi sektor publik karena adanya tatakelola risiko dan struktur yang kondusif dalam proses pengambilan keputusan organisasi terlebih di tingkat strategik dan dan juga eksekusi di tingkat operasional organisasi sehari-hari.

C. Sub Topik “Kejahatan Korporasi – Dalam Perspektif GRC”

Sub-topik dipaparkan oleh panelis Dr. Ratna Januarita – anggota Komite Nasional Kebijakan Governance Indonesia, yang memberikan pandangan komprehensif mengenai kejahatan korporasi. Panelis membagi paparan dalam tiga bagian singkat, yaitu:

  • Tindak pidana korporasi menurut PERMA 13/2016 – Latar Belakang dan Tujuan;
  • Kondisi suatu korporasi dianggap bersalah;
  • Apa yang sebaiknya perusahaan lakukan.

Latar belakang dan tujuan PERMA 13/2016 adalah:

  • Sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurus;
  • Mengisi kekosongan hukum, khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurus;
  • Mendorong efektivitias dan optimalisasi penanganan perkara pidana.

Terkait dengan latar belakang dan tujuan, PERMA 13/2016 mengatur tata cara untuk menentukan:

  • Subjek hukum yang dapat diperlakukan sebagai “korporasi”;
  • TIndakan korporasi yang termasuk tindak pidana korporasi;
  • Objek hukum tindak pidana korporasi;
  • Tata cara untuk pengadilan dalam memutuskan perkara tindak pidana korporasi;
  • Waktu terjadinya tindak pidana korporasi.

Selanjutnya PERMA 13/2016 memberikan pemahaman bahwa korporasi dianggap bersalah jika:

  1. Korporasi memperoleh keuntungan/manfaat;
  2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;
  3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan penegahan, tidak mencegah dampak yang lebih besar dan tidak memastikan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Terkait dengan hal di atas, panelis memberikan saran apa yang sebaiknya korporasi lakukan dalam konteks tindak pidana korporasi berdasarkan PERMA 13/2016:

  1. Perlu dibangun ‘legal & risk awareness’ dalam konteks ‘GRC approach’ dalam perusahaan, melalui beragam metode, media, dan kelompok target;
  2. Perlu ada pemahaman dan pemetaan yang baik tentang hubungan hukum (perikatan) yang muncul, baik karena UU ataupun perjanjian, sehingga akan menjadi pangkalan data dalam memetakan aspek risiko dan khususnya ‘legal risk’;
  3. Melengkapi peraturan internal secara tertulis;
  4. Otorisasi dan disposisi yang transparan dan akuntabel.

Dengan selesainya paparan panelis Dr. Ratna Januarita, selesai juga paparan keseluruhan diskusi panel ‘Mewujudkan Sustainability & Mimimalisasi Pelanggaran’ di atas. Mudah-mudan artikel catatan ini bermanfaat sebagai ajang berbagi pengalaman dan pandangan antar komunitas praktisi manajemen risiko di Indonesia.

By |August 2nd, 2019|Categories: Berita|Comments Off on Mewujudkan Sustainability & Memimalisasi Pelanggaran – Konteks Perusahaan BUMD

Diskusi Panel IRMAPA: Building Resilient Company in Digital Era through Integrated GRC

Penulis: Charles R. Vorst, MM., BCCS, CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP – Sekretaris Jenderal IRMAPA.
Bulan lalu, tepatnya tanggal 18 Juni 2019, IRMAPA kembali menyelenggarakan acara diskusi panel bagi para anggotanya dengan tema “Building Resilient Company in Digital Era through Integrated GRC”. Diskusi panel ini dilaksanakan di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, dengan tuan rumah PT Pefindo Biro Kredit (PBK). Acara dimulai dengan opening dari Ketua IRMAPA, Dr. Antonius Alijoyo, yang mengangkat pentingnya bagi praktisi manajemen risiko dalam memahami credit scoring sebagai bagian dalam upaya pengelolaan risiko kredit yang dihadapi organisasi, maupun bagi setiap individu dalam menjaga creditworthiness-nya. Pada kesempatan kali ini, penulis berkesempatan mengambil peran sebagai moderator pada sesi paparan para pembicara Bapak Yohanes Arts Abimanyu, SE.Ak, MSM, CA. CERG, dan Bapak Mohamad Mukhlis, ST, MT, CERG beserta tim, yang keduanya berasal dari internal PBK..
Pada sesi pertama, Abimanyu, Direktur Utama PBK yang akrab dipanggil Pak Abi oleh jajaran manajemen PBK, membawakan paparan dengan topik “Managing Credit Risk in Digital Era”. Dalam paparannya, pertama-tama Abimanyu memberikan sosialisasi mengenai PBK beserta layanan apa saja yang diberikan kepada para pelanggannya. Sebagai biro kredit terdepan yang menyediakan informasi perkreditan yang andal dan terpercaya, PBK melayani industri perbankan yang menjalankan fungsi intermediaries dalam penyaluran kredit kepada masyarakat, termasuk di dalamnya institusi finansial lain yang memberikan jasa perkreditan serta organisasi pada industri lainnya yang melakukan penjualan secara kredit, termasuk di dalamnya masyarakat luas yang melakukan pemantauan terhadap credit score dirinya. Pada kesempatan tersebut, Abimanyu juga menjelaskan mengenai risiko kredit, analsis risiko kredit, termasuk di dalamnya traditional credit scoring model maupun kombinasi antara traditional & alternative model yang diadopsi oleh IDScore, aplikasi penyedia data perkreditan milik PBK, yang memberikan nilai lebih pada informasi perkreditan yang disediakan PBK sebagai basis risk-based credit decision making para pelanggan PBK dalam upaya mencapai pertumbuhan kredit di era digital dengan eksposur risiko kredit yang tetap terukur. Selain itu, paparan pada sesi I ini juga menjelaskan pentingnya credit scoring yang andal baik bagi institusi finansial maupun bagi masyarakat umum dalam membangun dan menjaga reputasi kredit yang baik, serta peran apa yang perlu dijalankan oleh para praktisi manajemen risiko kredit dalam menjaga pengelolaan risiko kredit organisasi agar tetap efektif.
Melanjutkan sesi di atas, Mukhlis, Direktur PBK, yang bersama penulis juga aktif sebagai anggota Komite Teknis 03-10 Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan (GRC) untuk mewakili Indonesia dalam sidang-siang ISO/TC 262 dan ISO/TC 309 untuk standar-standar di bidang GRC, selanjutnya membawakan paparan dengan topik “Developing a Strong GRC to Increase Company Resilience”. Dalam paparannya, Mukhlis menjelaskan keberadaan komitmen pimpinan puncak yang memainkan peranan penting ketika organisasi hendak membangun sistem dan praktik GRC terintegrasi. Pada sesi ini, Mukhlis berbagi informasi tentang bagaimana PBK berupaya untuk mengintegrasikan tata kelola, manajemen risiko, sistem manajemen kepatuhan, sistem manajemen mutu, sistem manajemen keamanan informasi, termasuk di dalamnya tata kelola data dan TI (data governance dan IT governance), manajemen proyek, serta manajemen kelangsungan bisnis (business continuity management), yang keseluruhannya mengadopsi standar praktik terbaik yang kerap menjadi referensi berbagai organisasi di dunia seperti, standar-standar ISO dan lainnya. Selain itu, Mukhlis juga menjelaskan manfaat apa yang hendak diraih PBK dengan mengintegrasikan GRC dengan sistem manajemen yang diterapkan oleh PBK, serta roadmap yang digunakan PBK dalam mewujudkan praktik GRC terintegrasi, dan strategi yang diterapkan untuk mendukung upaya integrasi, yakni dengan membagi upaya pengintegrasian di luar dan di dalam atau melalui sistem informasi berbasis TI. Pada sesi II tersebut, Risk Manager PBK, Nazer, yang bertugas untuk mengintegrasikan GRC di luar perangkat TI, dan IT Manager PBK, Helios, yang bertugas untuk mengintegrasikan GRC melalui sistem informasi berbasis TI, juga berkesempatan memberikan paparan masing-masing yang menjelaskan upaya pengintegrasian GRC PBK secara lebih rinci dan teknis.
Adapun beberapa catatan yang penulis sarikan dari kedua sesi di atas antara lain:
1. Bagi praktisi manajemen risiko kredit, sangat penting untuk dapat memantau informasi credit score para debitur yang menjadi pelanggan organisasi dalam rangka untuk menjaga eksposur kredit organisasi tetap dapat terkelola sesuai selera risikonya;
2. Selain itu, praktisi manajemen risiko kredit, atau para pihak yang terlibat dalam pengelolaan risiko kredit organisasi, perlu memahami komponen apa saja yang dapat mempengaruhi suatu credit score debitur sehingga dengan demikian dapat menerapkan pengendalian risiko kredit yang relevan dan efektif, selain dari mengandalkan hasil analisis kredit yang dilakukan pada awal transaksi;
3. Terlebih di era digital, pendekatan tradisional dalam credit scoring mungkin saja tidak lagi mencukupi dalam menilai creditwothiness satu pihak sehingga penggunaan combined model dengan menyertakan komponen-komponen alternatif tambahan dalam traditional credit scoring model menjadi sebuah pilihan yang paling masuk akal. Sehubungan dengan hal ini, komponen-komponen alternatif tambahan perlu dipilih secara seksama dan ditinjau secara berkala guna upaya pengembangan berkelanjutan agar credit scoring model dapat semakin andal;
4. Bagi organisasi maupun masyarakat umum yang memanfaatkan jasa perkreditan dari sebuah institusi, sangat penting untuk membangun dan menjaga good credit reputation agar akses terhadap sumber pendanaan eksternal dapat terpelihara;
5. Dalam kaitan penerapan praktik GRC yang terintegrasi dengan sistem manajemen di lingkungan organisasi, sangat penting bagi para praktisi tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan untuk bersama-sama mendapatkan komitmen dan dukungan dari pimpinan puncak organisasi, serta menjaganya selama upaya penerapan berlangsung dengan cara mengelola ekspektasi dari para pimpinan terhadap manfaat GRC terintegrasi bagi organisasi melalui ketersediaan roadmap penerapan yang dengan jelas memaparkan tahapan penerapan (milestones), berikut dengan keluaran dan kebutuhan sumber daya di tiap tahapan.
Sebagai informasi tambahan, acara diskusi panel di atas juga diliput oleh beberapa media cetak dan online. Beberapa tautan yang dapat dikunjungi untuk melihat liputan acara diskusi panel antara lain https://investor.id/finance/credit-scoring-solusi-jaga-risiko-kredit-di-era-digital, dan https://foto.bisnis.com/view/20190618/935063/diskusi-manajemen-risiko-di-era-digital#.XQn43SGC3b8.whatsapp. Selain itu, kedua pembicara beserta beberapa tokoh praktisi GRC di Indonesia berkesempatan untuk diwawancarai oleh IRMAPA. Video rekaman wawancara ini dapat segera diakses pada website IRMAPA dalam waktu dekat.
Mengakhiri artikel ini, penulis juga hendak menginformasikan bahwa pada bulan Oktober 2019 mendatang, IRMAPA akan bekerja sama lebih lanjut dengan PBK untuk menyediakan pelatihan dengan topik credit scoring bagi para profesional bidang manajemen risiko. Semoga pelatihan ini nantinya juga bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya khususnya oleh para Anggota IRMAPA.

 1-Direktur Utama PBK dalam diskusi tentang pengelolaan risiko kredit di era digital.-

23

-Beberapa kliping berita Diskusi Panel IRMAPA dan PBK pada media cetak.-

4

-Sesi foto bersama Diskusi Panel IRMAPA, 18 Juni 2019.-

By |July 22nd, 2019|Categories: Berita|Comments Off on Diskusi Panel IRMAPA: Building Resilient Company in Digital Era through Integrated GRC

SNI ISO 31000:2018 MANAJEMEN RISIKO: Satu-Satunya Standar Nasional Manajemen Risiko Indonesia – Berbasis UU NO: 20/2014

Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG.
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA)
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Jakarta 06 Juni 2019

Pada tanggal 12 April 2019, penulis berkesempatan hadir dalam undangan diskusi ‘Rapat Konsolidasi dalam rangka Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia’.

Rapat dihadiri oleh perwakilan kementerian dengan narasumber yang diundang adalah perwakilan Badan Standarisasi Nasional (BSN) Bapak Hendro Kusumo selaku Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal dan Ekonomi Kreatif. Penulis sendiri, Dr. Antonius Alijoyo, hadir dalam kapasitas sebagai Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Dari bahasan materi paparan dan diskusi antar peserta rapat, ada satu topik bahasan yang menarik untuk berbagi dengan komunitas manajemen risiko di Indonesia secara luas, yaitu apa dasar hukum atau payung hukum penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) secara umum, dan SNI ISO 31000:2018 Manajemen Risiko – Pedoman secara khusus.

Mengutip salah satu halaman dari presentasi mengenai payung hukum tentang standarisasi yang berisikan banyak rujukan, penulis mengutip rujukan utama yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (UU No. 20/2014), dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2018 (PP No. 34/2018) tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional.

Dalam pasal 13 ayat 2 UU No.20/2014, dan PP No. 34/2018, tertulis dengan jelas kalimat di bawah ini:

“Dalam hal terdapat standar internasional, SNI dirumuskan selaras dengan standar internasional melalui: Adopsi standar internasional dengan mempertimbangkan kepentingan nasional untuk menghadapi perdagangan global; atau Memodifikasi standar internasional disesuaikan dengan perbedaan iklim, lingkungan, geologi, geografis, kemampuan teknologi, dan kondisi spesifik lain”.

Merujuk pada pasal 13 ayat 2 UU No. 20/2014 dan PP No: 34/2018 di atas, sudah seharusnya SNI ISO 31000:2018 menjadi rujukan utama bagi organisasi di Indonesia, mulai dari sektor publik, sektor privat, komersial maupun non-komersial. Singkat kata, dua elemen di bawah ini menjadi kata kunci:

ISO 31000:2018 = Rujukan Standar Internasional;
SNI ISO 31000:2018 = Rujukan Standar Nasional Indonesia – hasil adopsi identik ISO 31000:2018 dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Bagi yang tertarik untuk mempelajari SNI ISO 31000:2018 secara mendalam, mereka dapat melihat di situs resmi BSN yaitu www.bsn.go.id, atau di situs resmi penyedia pelatihan SNI ISO 31000:2018 www.crmsindonesia.org .

Mudah-mudah tulisan ini bermanfaat
———————————————————-

By |June 9th, 2019|Categories: Berita|Comments Off on SNI ISO 31000:2018 MANAJEMEN RISIKO: Satu-Satunya Standar Nasional Manajemen Risiko Indonesia – Berbasis UU NO: 20/2014
Go to Top