Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Teknologi blockchain bukan hanya tentang mata uang kripto. Bagi para manajer risiko, teknologi ini menawarkan pendekatan baru untuk mengelola risiko di tengah tantangan dunia digital yang semakin kompleks.

Dalam laporan terbaru PRMIA berjudul “Fragmented to Connected: Achieving Cohesion by Unifying Risk Management”, terungkap bahwa hambatan utama dalam menghadapi risiko baru adalah keterbatasan sumber daya (35%), kurangnya kesadaran (28%), perubahan teknologi yang cepat (24%), dan ketidakpastian regulasi (13%).

Namun, Web 3.0 sebagai generasi baru internet yang berbasis blockchain dapat menjadi solusi untuk mengatasi keempat tantangan tersebut.

Memahami Arsitektur Blockchain

Teknologi terbaik dibangun secara bertingkat, dan blockchain tidak terkecuali. Seperti halnya internet yang terdiri dari kabel fisik, server ISP, modem, dan browser, blockchain juga memiliki beberapa lapisan:

  • Layer 1 (Konsensus): Fondasi dari setiap blockchain. Di sinilah transaksi divalidasi melalui algoritma seperti Proof-of-Work (Bitcoin) atau Proof-of-Stake (Ethereum). 
  • Layer 2 (Skalabilitas): Solusi untuk mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan kecepatan, misalnya dengan teknologi rollups, state channels, atau Lightning Network
  • Layer 3 (Aplikasi): Di sinilah aplikasi berbasis blockchain (DApps) berada, seperti platform keuangan terdesentralisasi (DeFi), dompet digital, dan pertukaran aset. 

Lapisan-lapisan ini memungkinkan sistem blockchain beroperasi dengan efisien, aman, dan terukur.

Yang membedakan blockchain dari internet tradisional adalah desentralisasi—tidak ada satu pihak pun yang mengontrol jaringan. Selain itu, kemampuan untuk terhubung dengan blockchain lain menjadi faktor penting dalam ekosistem Web 3.0. Proyek seperti Polkadot, Cosmos, dan MarcoPolo Protocol sedang mengembangkan desain modular agar blockchain dapat saling terhubung.

Kolaborasi AI Terdesentralisasi dalam Manajemen Risiko

Web 3.0 juga membuka jalan bagi pengembangan kecerdasan buatan (AI) secara terdesentralisasi. Dengan pendekatan seperti federated learning, differential privacy, dan homomorphic encryption, tim risiko bisa melatih model AI tanpa harus membocorkan data sensitif. Ini memungkinkan kolaborasi yang lebih luas, bahkan melibatkan regulator secara langsung dalam pengembangan model risiko di blockchain.

Contohnya, jika sebuah tim manajemen risiko memutuskan untuk menghapus variabel risiko tertentu karena dianggap tidak relevan, regulator dapat mengajukan argumen berdasarkan data dari organisasi lain yang menunjukkan bahwa variabel tersebut justru penting. Semua diskusi dan data tersimpan aman di blockchain untuk referensi ke depan.

Dengan memanfaatkan teknologi Web 3.0, manajemen risiko bisa lebih proaktif dalam menghadapi tantangan. Struktur modular dari blockchain mempermudah pemeliharaan dan pengujian model risiko, sementara lapisan-lapisan teknologinya meningkatkan keamanan dan efisiensi.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul What does Blockchain Mean for Risk Managers?