Selama ini, keamanan siber sering dipahami sebatas bertahan: mencegah serangan, menutup celah keamanan, dan mengatasi ancaman. Tapi, dengan berkembangnya risiko siber yang makin cepat dan rumit, perusahaan perlu mengubah pendekatan mereka. Bukan hanya bertahan, tapi juga membangun ketangguhan siber, kemampuan untuk tetap beroperasi meski terjadi pelanggaran.
Biaya Serangan Siber yang Semakin Tinggi
Kerugian akibat serangan siber kini sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Laporan Cost of a Data Breach 2023 dari IBM menunjukkan bahwa biaya rata-rata pelanggaran data global mencapai $4,45 juta, naik 15% dalam tiga tahun terakhir. Serangan ransomware juga melonjak 74% pada 2023, dengan total pembayaran tebusan melebihi $1 miliar.
Melihat angka ini, jelas bahwa perusahaan tak bisa lagi hanya mengandalkan pertahanan pasif.
Kenapa Pertahanan Tradisional Tidak Lagi Cukup?
Ada beberapa alasan mengapa pendekatan lama sudah tidak memadai:
- Serangan Semakin Canggih: Penjahat siber terus mengembangkan teknik baru, termasuk memanfaatkan celah zero-day dan serangan berbasis AI. Contohnya, insiden MOVEit pada 2023 menyerang lebih dari 2.000 organisasi dan mengacaukan rantai pasokan.
- Kesalahan Manusia: Meski teknologi sudah makin maju, 74% pelanggaran data tetap melibatkan kesalahan manusia, seperti phishing atau salah konfigurasi.
- Pemulihan yang Lambat: Proses pemulihan pasca-serangan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Serangan terhadap Colonial Pipeline tahun 2021, misalnya, menyebabkan kelangkaan bahan bakar selama berminggu-minggu dan kerugian jutaan dolar.
Membangun Kerangka Ketangguhan Siber
Ketangguhan siber adalah kemampuan untuk mengantisipasi, bertahan, pulih, dan beradaptasi terhadap insiden siber. Fokusnya bukan sekadar mencegah serangan, tapi memastikan operasional tetap berjalan. Inilah elemen kuncinya:
- Intelijen Ancaman yang Proaktif
Perusahaan perlu memanfaatkan analisis berbasis AI untuk mendeteksi ancaman lebih cepat, mengurangi waktu deteksi dari rata-rata 280 hari menjadi di bawah 200 hari.
- Zero Trust Architecture (ZTA)
Model Zero Trust menganggap bahwa tidak ada pihak — baik internal maupun eksternal — yang bisa langsung dipercaya. Google sudah membuktikan keberhasilannya dengan menerapkan model BeyondCorp untuk memperkecil risiko ancaman dari dalam.
- Rencana Tanggap Insiden dan Kelangsungan Bisnis
Kini, perusahaan wajib memiliki rencana cepat untuk menanggapi insiden. Bahkan, aturan Cybersecurity Disclosure dari SEC di tahun 2023 mewajibkan perusahaan publik melaporkan insiden besar dalam waktu empat hari kerja.
- Budaya Keamanan dan Pelatihan Karyawan
Karena manusia tetap menjadi celah terbesar, edukasi terus-menerus penting. Program pelatihan berbentuk game terbukti mampu mengurangi kasus phishing hingga 40%.
- Asuransi Siber sebagai Jaring Pengaman
Meski tak bisa mencegah serangan, asuransi siber membantu mengurangi dampak finansial. Diperkirakan, nilai pasar asuransi siber global akan mencapai $28 miliar pada 2026.
Berpindah dari sekadar bertahan menuju membangun ketangguhan siber bukan lagi pilihan—tapi sebuah keharusan. Ancaman yang semakin kompleks menuntut perusahaan untuk berinvestasi pada strategi keamanan yang adaptif.
Dengan intelijen ancaman proaktif, Zero Trust, rencana tanggap insiden yang kuat, serta budaya keamanan yang kokoh, perusahaan bisa menjaga keberlangsungan operasional, mempertahankan kepercayaan stakeholder, dan tetap kompetitif di era digital yang penuh tantangan.
Artikel ini telah diterbitkan oleh ERMA, dengan judul From Defense to Resilience: Rethinking Cybersecurity Postures. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.