Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA).
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Dua minggu terakhir ini penulis menyimak diskusi antar praktisi manajemen risiko yang sudah memperoleh sertifikasi kompetensi, terutama mengenai mekanisme perpanjangan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Butir bahasan mengerucut pada perbedaan pandangan tentang mekanisme ‘perpanjangan’ sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh LSP P1, LSP P2 dan LSP P3.

Di satu sisi ada kesan yang meyakini bahwa mekanisme perpanjangan LSP P1 dan LSP P2 lebih efektif (karena selalu mempersyaratkan adanya pelatihan persiapan sertifikasi) daripada LSP P3 (karena tidak mempersyaratkan adanya pelatihan persiapan) dan sebaliknya.

Sebenarnya apa esensi dari perbedaan sudut pandang tersebut? Apakah berangkat dari dasar diskusi tentang hal yang sejatinya relevan dan substansial dari suatu proses sertifikasi kompetensi yaitu KUALITAS atau hanya sekedar FORMALITAS administratif semata?

Untuk memastikan bahwa kita semua tidak terjebak dan berputar-putar mengeluarkan energi pada isu formalitas, sebaiknya dipahami terlebih dahulu secara mendalam tentang jati diri proses sertifikasi kompetensi, baik yang diselenggarkan oleh LSP P1, P2, atau P3.

Dalam hal ini, hakikat lisensi yang diberikan oleh BNSP, terutama prasyarat harus adanya pelatihan terlebih dahulu atau tidak dalam proses uji sertifikasi kompetensi adalah hak prerogratif BNSP dan bagi LSP yang bersangkutan harus konsisten dalam pelaksanaannya, semisal:

  • LSP P1 dan LSP P2 hanya boleh melakukan uji sertifikasi kompetensi bila ada pelatihan pra-uji kompetensi bagi pengambil uji sertifikasi. Bila hal ini dilanggar, maka mereka dapat dianggap tidak menjalankan proses sesuai dengan status sebagai LSP P1 dan LSP P2.
  • LSP P3 diharapkan mengadakan uji sertifikasi kompetensi tanpa harus ada pelatihan pra-uji kompetensi bagi pengambil uji sertifikasi. Boleh saja bila LSP P3 hendak menyelenggarakan pelatihan pra-uji kompetensi, tetapi tidak dijadikan persyaratan secara mutlak dan harus diinformasikan sejelas-jelasnya kepada calon pengambil uji sertifikasi kompetensi bersangkutan. Bila LSP P3 memberikan kesan dan atau mengarahkan bahwa pra-pelatihan tersebut adalah persyaratan maka LSP P3 tersebut dapat dianggap tidak menjalankan proses sesuai dengan status sebagai LSP P3.

Selain hal di atas, ada hal esensial lain yang perlu dipahami oleh publik yaitu adanya akreditasi ISO 17024 bagi lembaga penyedia sertifikasi kompetensi yang diselenggarakan oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional). Walaupun BNSP tidak mempersyaratkan keharusan akreditasi ISO 17024 oleh KAN sebelum pemberian lisensi kepada LSP (baik LSP P1, P2, dan P3), keberadaan standar internasional ini sangat penting bagi LSP yang ingin memastikan proses pelaksanaan uji sertifikasi kompetensi mereka sesuai dengan standar proses internasional.

 

A. STANDAR INTERNASIONAL ISO 17024 – Lembaga Sertifikasi Person (LSP)

Bila kita – sebagai praktisi manajemen risiko – berkiblat pada kualitas dan kesetaraan proses sertifikasi kompetensi dengan dunia internasional, sebaiknya merujuk pada Standar ISO 17024 yang menjadi induk rujukan baik bagi BNSP sendiri dalam menyelenggarakan peran dan tugas mereka, maupun bagi LSP yang memperoleh lisensi dari BNSP.

Saat ini, masih banyak komunitas profesi baik bidang manajemen risiko maupun profesi lainnya yang belum terinformasi lengkap apa itu ISO 17024 terutama manfaat dan nilai tambah bagi individu pengambil sertifikasi dan juga bagi organisasi yang mengirimkan karyawan mereka.

Terkait dengan standar ISO 17024, di bawah ini adalah tiga butir pemahaman awam yang sering terjadi, serta observasi atau pandangan penulis terhadap masing-masing pemahaman tersebut:

  1. Pemahaman Pertama: ISO 17024 bukan merupakan persyaratan terbentuknya LSP, sehingga tidak perlu dipertimbangkan bagi LSP tersebut untuk meraih akreditasi sistem manajemen ISO 17024.
    • Observasi pertama: Saat ini memang BNSP tidak atau belum mempersyaratkan bahwa suatu LSP harus terakreditasi ISO 17024 terlebih dahulu sebelum diberikan lisensi operasional dari BNSP. Oleh karena itu, bagi LSP yang memang meyakini cukup hanya dengan lisensi BNSP saja dalam melakukan penyelenggaraan program sertifikasi, pemahaman di atas sangat wajar dan patut dihormati.
    • Observasi kedua: Manfaat akreditasi ISO 17024 dari KAN (Komite Akreditasi Nasional) hanya relevan bagi LSP yang memang berinisiatif menyediakan pemastian adanya proses standar yang konsisten dan tertelusuri – sederajat dengan penyelenggaraan LSP internasional di luar Indonesia yang juga terakreditasi ISO 17024. Bagi pengambil uji sertifikasi kompetensi, mereka dapat memperoleh nilai tambah dengan adanya dimensi internasional dalam proses uji sertifikasi kompetensi yang dijalankan.
  1. Pemahaman Kedua: Suatu LSP yang memiliki akreditasi KAN untuk sistem manajemen lainnya, misal ISO 9001, kadang dianggap atau terposisikan bahwa LSP tersebut seakan-akan juga sudah memperoleh akreditasi KAN untuk ISO 17024.
    • Observasi: Anggapan ini sangat keliru. Kadang orang awam hanya melihat logo KAN saja di suatu LSP, tetapi tidak cukup dalam memastikan apakah logo KAN tersebut memang untuk sistem manajemen ISO 17024 atau sistem manajemen lainnya yang bersifat proses bisnis generik, misal ISO 9001 sistem manajemen mutu.
  1. Pemahaman Ketiga: Suatu LSP yang mempunyai akreditasi ISO 17024 akan lebih mahal biaya uji sertifikasi kompetensinya dan akan lebih rumit dalam proses perpanjangan sertifikasi kompetensi mereka.
    • Observasi: Pandangan ini sangat tidak tepat dan tidak relevan. Struktur biaya uji sertifikasi LSP tidak terkait dengan apakah mereka memiliki akreditasi ISO 17024 atau tidak. Bahkan, mereka memiliki rujukan standar internasional yang memungkinkan bekerja dengan proses yang lebih efisien dan efektif, serta tertelusuri secara mendalam baik oleh pihak BNSP sebagai pemberi lisensi LSP, maupun oleh KAN sebagai pemberi akreditasi ISO 17024.

 

B. PERPANJANGAN SERTIFIKASI KOMPETENSI

Sebagai pemasti kualitas dan kekinian kompetensi, perpanjangan sertifikasi kompetensi harus dilakukan oleh pemegang sertifikasi kompetensi tersebut. Perpanjangan sertifikasi merupakan hal mendasar dari ISO 17024 dan menjadi salah satu persyaratan utama akreditasi dan akreditasi ulang.

Pelaksanaan administratif dari esensi di atas dapat berbeda antara LSP P1, P2, P3 yang memperoleh lisensi dari BNSP. Tetapi hal tersebut akan tidak relevan bila yang menjadi basis dasar rujukan adalah akreditasi ISO 17024, karena apapun tipe LSP baik P1, P2, maupun P3 semuanya harus menyelenggarakan proses pemeliharaan kompetensi dan pemastian asesmen ulang bilamana perlu.

Proses pemeliharaan kompetensi umumnya dijalankan dengan PSB (Program Sertifikasi Berkelanjutan) yang biasanya terdiri atas pelatihan, seminar, tulisan, maupun keterlibatan si pemegang sertifikasi dalam pekerjaan mereka. BNSP sendiri memberikan umur sertifikat kompetensi yang diperoleh dan perlu diperpanjang secara periodik, baik itu LSP P1, P2, maupun P3. Dalam hal ini, nomenklatur dan pengurusan administrasi bisa saja tidak sama antara satu tipe LSP dengan LSP lainnya.

Terkait dengan hal di atas, ada yang mengatakan bahwa lulusan LSP P1, P1 dan P3 memiliki proses yang berbeda karena salah satunya disebut harus menjalani proses uji ulang sedangkan yang satu lagi tidak memerlukan uji ulang.

Sayangnya, kedua pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena tergantung apakah LSP tersebut memiliki akreditasi 17024 atau tidak. Bila mereka memiliki akreditasi 17024, maka LSP tersebut apapun tipenya tetap harus menjalankan proses perpanjangan sertifikasi yang komprehensif dan dapat dipertanggung-jawabkan secara menyeluruh serta tertelusuri secara konsisten dan independen.

Bagi LSP yang tidak memiliki akreditasi ISO 17024 memang cukup menjalankan proses yang diarahkan oleh BNSP. Hanya saja perlu dipahami bahwa BNSP juga mengikuti standar ISO 17024 – walau mereka sendiri dianggap tidak memerlukan akreditasi dari KAN karena merujuk pada undang-undang pendirian dan pelaksanaan tersendiri. Oleh karena itu, LSP apapun yang memperoleh lisensi dari BNSP sepatutnya menunjukkan proses pemastian perpanjangan sertifikasi mereka yang kurang-lebih sama berakar pada ISO 17024.

 

C. KESIMPULAN

Sebagai pemegang sertifikasi profesi yang dijalankan oleh LSP P1, P2, P3 sebaiknya bertanya langsung secara resmi kepada BNSP bila ada hal-hal yang masih ambigu. Jangan bersandar pada informasi satu arah yang kadang tidak memberikan perspektif lengkap bagi para pemegang sertifikasi profesi.

Selain itu, karena perkembangan sertifikasi kompetensi semakin lama semakin mengarah pada standarisasi internasional, sangat wajar bila calon peserta uji sertifikasi kompetensi juga mengarahkan diri pada standarisasi internasional sehingga membuka peluang yang lebih besar lagi pada karir dan tingkatan kompetensi mereka sendiri.

Oleh karena itu, ada baiknya semua LSP mengambil akreditasi ISO 17024 baik itu LSP P1, P2, ataupun P3 sehingga terjadi konformitas tingkat kualitas proses uji sertifikasi sesuai dengan ISO 17024, yang pada akhirnya akan memberikan manfaat dan jalan yang lebih lapang bagi para profesional Indonesia ke tataran internasional.

 

Semoga tulisan di atas bermanfaat. Sebagai pelengkap rujukan, pembaca dapat membuka tautan di bawah ini:

https://irmapa.org/sni-iso-310002018-manajemen-risiko-satu-satunya-standar-nasional-manajemen-risiko-indonesia-berbasis-uu-no-202014/

https://irmapa.org/manfaat-akreditasi-sni-isoiec-17024-pada-sertifikasi-profesi-manajemen-risiko-di-indonesia/

https://irmapa.org/mengenal-sertifikasi-manajemen-risiko-di-indonesia/

https://irmapa.org/sertifikasi-kompetensi-personil-di-indonesia-perkembangan-saat-ini/