Penulis: Sekretariat IRMAPA.

Pada Rabu, 9 November 2022, kolaborasi UK Petra dan IRMAPA menggelar acara bertajuk Macroeconomics Insight Toward 2023: Embracing Business Risk and Challenges. Acara ini diadakan agar para peserta dapat berdiskusi mengenai update kondisi ekonomi setelah kenaikan harga BBM, menyoroti proyeksi makroekonomi hingga akhir tahun 2022 dan 2023, serta membahas bentuk-bentuk praktik manajemen risiko yang mendukung strategi adaptasi perusahaan. Acara dibuka oleh sambutan dari Troy Steve Kipuw, ERMCP, CRGP, QRGP selaku Ketua Program IRMAPA dan Regina Jokom, S.E., M.Sc., Kepala Continuing Education Center (CEC) UK Petra.

Agenda berikutnya berisi pemaparan materi oleh dua narasumber, yaitu Devie Deviesa, Ph.D. Ak., dosen SMB UK Petra, dan Subramaniam Anbanathan, MBA, SSI., selaku peneliti dan konsultan. Sesi pemaparan dipandu oleh Maria Praptiningsih, S.E., M.Sc.FE, Ketua Program Business Management Economic Analyst.

Devie Deviesa: Indonesia Tidak Resesi

Penggambaran resesi dapat dilihat dari pertumbuhan GDP. Jika dilihat dari sejarahnya, Indonesia telah mengalami tigak kali resesi sepanjang 1961-2020 (pada tahun 1963, 1998, dan 2020), sedangkan dunia secara keseluruhan mengalami dua kali resesi pda rentang waktu yang sama (pada tahun 1998 dan 2020).

Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi dunia sedang menunjukkan tren penurunan. Prediksi IMF mengenai inflasi global mengalami kenaikan dari 4,7% pada 2021 ke 8,8% pada 2022 (akibat krisis energi dan pangan), tetapi turun kembali ke 6,5% pada 2023 dan 4,1% pada 2024. Tren pelambatan inilah yang dirasakan seperti resesi.

Pada penggambaran aktivitas organisasi, terdapat faktor remote environment yang bergantung pada negara dan industry environment yang bergantung pada organisasi atau perusahaan itu sendiri. Yang menjadi aspek yang memengaruhi remote environment adalah perilaku politik, ketidakseimbangan bumi, era digital, dan investor yang diruptif. Dari keseluruhan keadaan tersebut, dunia tengah mengalami Opportunity plus VUCA.

Di balik ancaman berupa krisis pangan, krisis energi, inflasi, dan lain-lain, Indonesia diprediksi akan mengalami tingkat ekonomi yang stuck pada angka 5%. Aliran investasi diperkirakan makin membesar, sedangkan konsumsi privat (keperluan rumah tangga) juga akan meningkat dengan tidak signifikan.

Anggota G20 yang mewakili lebih dari 80% GDP dunia, 75% perdangangan internasional, dan 60% populasi dunia telah membuat kesepakatan pada tiga hal penting: transformasi digital, global health architecture, dan transisi energi yang berkelanjutan.

Subramaniam Anbanathan: Pengelolaan Risiko Penting dalam Pencapaian Tujuan

Memperkirakan kinerja bisnis di masa depan dapat dilakukan dengan mengamati kinerja bisnis saat ini. Pemantauan dilakukan dalam lingkungan makro, lingkungan mikro, dan lingkungan organisasi. Dengan inisiatif strategis, pengelolaan risiko dapat diinisiasi dan dilanjutkan. Pengelolaan risiko ini dimulai dari sumber daya dan kapabilitas serta kapasitas organisasi yang diolah dengan pola pikir (mind set) dan kerangka kerja (framework) terintegrasi. Seiring berjalannya waktu, kinerja bisnis di masa depan diharapkan dapat meningkat.

Setidaknya, terdapat enam aspek utama pengelolaan risiko. Mereka adalah penilaian risiko (risk assessment), pengendalian internal (internal control), selera risiko (risk appetite), Key Risk Indicator (KRI), pelaporan risiko (risk reporting), dan budaya risiko serta tujuan organisasi. Keseluruhan elemen tersebut memiliki efek kausal yang saling berhubungan.

Dalam penetapan konteks pengelolaan risiko, terdapat pergeseran paradigma yang meliputi tiga komponen. Pertama, strategi risiko, yaitu mencakup penetapan kebijakan dan budaya, peta proses dan program utama, KPI risiko, selera dan toleransi risiko, serta kompetensi dan pembelajaran. Kedua, arsitektur risiko, yaitu mencakup penetapan peran dan tanggung jawab, kerangka komunikasi dan konsultasi, kerangka pemantauan dan pemeriksaan, kerangka lini model asuran, kerangka penilaian dan perlakuan risiko, serta kerangka pelaporan. Ketiga, protokol risiko, yaitu mencakup pedoman, prosedur, kesisteman, teknik dan metodologi, serta dokumentasi dan pelaporan.

Sistematika penilaian risiko secara terstruktur dan terpadu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu peristiwa risiko, tingkat risiko inheren, tingkat risiko saat ini (current), dan tingkat risiko tersisa (residual). Risiko, baik penyebab dan dampaknya, memang menimbulkan ketidakpastian. Namun, elaborasi ketiganya mampu berdampak pada bisnis untuk bergerak ke arah tujuannya saat dikelola dengan tepat.

Setelah pemaparan materi selesai dilakukan oleh kedua pembicara di atas, webinar ini diakhiri dengan sesi tanya jawab.

-o0o-