Penulis: Nadilla Ardiyanty & Tiara Rasita Devi

Editor: Aprilia Kumala & Sekretariat IRMAPA

Webinar internasional RISKHub diselenggarakan oleh IRMAPA bersama Enterprise Risk Management Academy (ERMA), FMR BUMN, PT PLN (Persero), dan Marsh. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 27 September 2021 lalu dengan MC Didiy Mangunredjo ini berhasil dilaksanakan berkat dukungan LSP MKS dan CRMS.

Mengangkat tema Accelerating ESG: Benefits to Creating the Competitive Advantage atau “Percepatan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola Perusahaan: Manfaat untuk Menciptakan Keunggulan Kompetitif”, Webinar Internasional RISKHub ini diawali dengan sambutan dari Dr. Antonius Alijoyo selaku Ketua Dewan Pengawas dan Kode Etik IRMAPA dan Ketua ERMA, Douglas Ure selaku CEO Marsh, serta Dr. Doni Muhardiansyah selaku Ketua Umum FMR BUMN. Adapun sesi narasumber pada webinar ini dimoderatori oleh R. Rachmadi Gustrian, S.T., M.M. ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, PAU selaku Deputi Senior PT Pelabuhan Indonesia (Persero) sebagai Wakil Direktur Penerapan Tata Kelola Perusahaan.

Sinthya Roesly: PLN Berkomitmen Capai Net Zero Emission

Materi pertama dibawakan oleh Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT PLN (Persero), Sinthya Roesly.

Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan jalannya implementasi percepatan lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan yang dilakukan oleh PT PLN (Persero). Disebutkan, PLN telah memiliki kebijakan tertulis dalam hal perlindungan lingkungan dan sosial, seperti diatur dalam Surat Keputusan Direksi No. 0153 Tahun 2019. Sementara itu, dalam hal perlindungan iklim, PLN merupakan salah satu dari enam perusahaan teratas di seluruh Asia yang berkomitmen pada tujuan Net Zero Emission. Dalam perjalanan menuju Net Zero, PLN perlu menyeimbangkan banyak pertukaran dengan bantuan dari pemangku kepentingan (misalnya implikasi biaya jangka pendek vs. jangka panjang, trilemma energi, kontribusi PDB, dll.).

Transformasi PLN yang tengah berlangsung, yaitu Green, mencakup tiga program utama: implementasi Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP), Green Booster, dan Large Scale Renewable Energy. Dalam implementasi RJPP, setidaknya ada 5 GW (Giga Watt) pembangkit listrik berbasis energi terbarukan akan dibangun. Adapun dalam Green Booster, PLN akan mengimplementasikan co-firing bahan bakar biomassa pada 52 PLTU, di mana sejauh ini sudah tercapai pada 19 PLTU.

Sejalan dengan transformasinya, PLN mengeluarkan dokumen “Pernyataan Kehendak PLN atas Kerangka Kerja Pembiayaan Berkelanjutan” sebagai salah satu strategi perusahaan untuk mewujudkan Green Financing. Adapun Green Financing ini kini telah mengalami peningkatan transaksi yang cukup signifikan sepanjang tahun.

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan (Sustainability Development Goals/SDGs) di Indonesia, Sinthya menyebutkan perlunya pengembangan skema pendanaan dengan menambahkan nilai SDGs. Sementara itu, untuk mendukung pengembangan skema pendanaan, Peraturan Direksi PT PLN (Persero) tentang Kerangka Kerja Pembiayaan Berkelanjutan-lah yang menjadi pertimbangan utama. PLN sendiri mendapat dukungan dari ADB dengan bantuan dari Castlerock Consulting dalam penyusunan dokumen Pernyataan Maksud PLN-ADB.

PLN akan senantiasa memperkuat strategi dan implementasi lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan dengan mekanisme manajemen yang komprehensif dan menetapkan peta Net Zero Emission melalui rencana aksi jangka pendek, jangka menengah, sekaligus jangka panjang yang terperinci, serta menyelesaikan dan menjalankan strategi perusahaan dan keuangan.

Graemme Riddell: ESG Mungkin Menggantikan CSR

Materi kedua dibawakan oleh Graemme Riddell, Kepala Konsultasi Iklim dan Keberlanjutan di Asia Marsh. Topik yang ia soroti pada kesempatan ini adalah Joining the Dots Between ESG and ERM.

Dalam penjelasannya, beliau menjelaskan bahwa ESG adalah evaluasi kesadaran kolektif perusahaan untuk faktor sosial dan lingkungan. Menurutnya, ESG memiliki kemungkinan untuk menggantikan CSR (Corporate Social Responsibility) karena memberi dampak yang lebih berkelanjutan dan pengaruh yang lebih besar daripada CSR.

Terkait risiko iklim perusahaan, Riddell menyebutkan adanya tiga vektor utama risiko bagi perusahaan: physical risks, transition risks, dan liability risks.

Physical risks (risiko fisik) timbul dari kerusakan properti, tanah, dan infrastruktur akibat peristiwa bencana terkait cuaca atau tren iklim, seperti gelombang panas, angin topan, kekeringan, banjir, dan naiknya air laut. Transition risks (risiko transisi), sementara itu, timbul dari perubahan kebijakan terkait iklim, teknologi, hingga sentimen pasar. Terakhir, liability risks (risiko tanggung-gugat) timbul dari orang-orang atau bisnis yang mencari kompensasi atas kerugian yang mereka derita akibat risiko fisik atau risiko transisi atas perubahan iklim.

Demi keberlanjutan perusahaan, umumnya para pemangku kepentingan akan meningkatkan fokus mereka pada isu-isu ESG. Pemilik bisnis dapat menjadikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai patokan kebutuhan para pemangku kepentingan terkait isu tersebut:

  • investor (“Dapatkah Anda menunjukkan bahwa ESG perusahaan Anda sesuai dengan mandat investasi saya?”),
  • regulator (“Apakah pengaturan tata kelola Anda sesuai dengan skala dan kompleksitas bisnis Anda?”),
  • konsumen (“Dapatkah Anda menunjukkan bahwa bisnis Anda sesuai dengan nilai-nilai yang saya anut?”), dan
  • karyawan (“Apakah ESG calon perusahaan saya selaras dengan nilai-nilai yang saya anut?”).

Sementara itu, tuntutan integrasi strategi ESG kini berjalan semakin cepat dan dapat mengubah bentuk manajemen risiko di semua sektor. Langkah yang tepat untuk untuk menanganinya adalah dengan menetapkan target kinerja, melalui beberapa tahapan berikut: identifikasi risiko, analisis dan penilaian, pemberian respons dan kontrol, serta pemantauan dan peninjauan.

Bagaimana dengan pengukuran kinerja ESG? Menurut Riddell, tingkat kematangan ESG ditinjau dari informasi penting ESG dan para pemangku kepentingan yang terlibat. Adapun langkah-langkah yang dapat diambil untuk menentukan target ESG adalah survei, pengadaan workshop, hingga perencanaan, termasuk identifikasi risiko.

Keterbukaan informasi risiko finansial terkait perihal iklim, sementara itu, menjadi hal yang dibutuhkan perusahaan. Untuk itulah TCFD (Task Force on Climate-Related Financial Disclosures) didirikan oleh Mark Carney dan Michael Bloomberg. TCFD memiliki 4 elemen inti, di antaranya adalah Governance, Strategy, Risk Management, dan Metrics and Targets.

Webinar internasional RISKHub 2021 ini diakhiri dengan sesi tanya-jawab antara partisipan dan pembicara.

Sesi tanya-jawab antara partisipan dan pembicara (Sinthya Roesly).

Sesi tanya-jawab antara partisipan dan pembicara (Graeme Riddell).

-o0o-