PILIHAN SERTIFIKASI KOMPETENSI BIDANG MANAJEMEN RISIKO DI INDONESIA

Sebagai ketua asosiasi manajemen risiko (MR), IRMAPA (Indonesia Risk Management Professionals Association), kami seringkali memperoleh pertanyaan dari berbagai pihak terutama para praktisi MR tentang persamaan dan perbedaan beberapa lembaga sertifikasi profesi (LSP) bidang MR di Indonesia.

Semua LSP memiliki lisensi dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sehingga memiliki legalitas yang sama. Oleh karena itu sering timbul pertanyaan, apa yang berbeda? Kenapa harus berbeda? Serta apa yang harus dipahami serta dipertimbangkan oleh seorang praktisi atau profesional bidang MR dalam menentukan pilihan?

Tulisan ini dibuat dalam tiga bagian kecil bahasan. Pertama adalah tentang relevansi sertifikasi kompetensi bidang MR. Kedua tentang perbedaan dua standar kompetensi kerja yang dikenal. Ketiga mengenai perbedaaan tipe LSP yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan mandiri yang dapat membantu organisasi dan/atau individu pengambil sertifikasi dalam melakukan pilihan LSP dan uji sertifikasi yang akan diikuti.

1.RELEVANSI SERTIFIKASI KOMPETENSI BIDANG MR

Dimulai dengan adanya kebutuhan sumber daya insani (SDI) yang kompeten bidang MR di industri perbankan sekitar sepuluh tahun yang lalu, kebutuhan praktisi dan profesional bidang MR terus bertambah, baik kuantitas maupun kualitas. Selanjutnya tidak hanya untuk sektor industri perbankan saja, tetapi juga jasa keuangan lainnya, terutama asuransi dan pembiayaan. Dalam hal ini, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sudah mengeluarkan beberapa POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) yang mengharuskan industri jasa keuangan (IJK) memastikan adanya SDI yang memiliki kompetensi bidang MR, mulai dari jajaran pelaksana sampai pada direksi dan dewan komisaris. Secara konkrit, hal tersebut harus dibuktikan dengan adanya sertifikat hasil uji kompetensi bidang MR yang dikeluarkan oleh LSP berlisensi dari BNSP untuk bidang MR bagi individu yang dinyatakan kompeten dalam bidang tersebut.

Timbul pertanyaan, apa makna kata ‘berlisensi’ dari BNSP?

Sesungguhnya yang memiliki akuntabilitas untuk pemastikan proses seseorang memiliki kompetensi profesi bidang tertentu adalah tetap di tangan BNSP, yang mengadopsi proses sertifikasi personel berbasis ISO 17024 (catatan: ISO 17024 adalah sistem manajemen internasional untuk pemastian proses uji kompetensi personel dilakukan secara independen, berkualitas, terstandarisasi, dan tertelusur).

Dalam pelaksanaannya, BNSP memiliki hak untuk memberikan lisensi proses tersebut kepada berbagai LSP yang sesuai dengan lingkup bidang kompetensi yang dibutuhkan oleh industri. Untuk menjaga konsistensi kualitas para LSP, BNSP melakukan proses ‘surveillance’ dari waktu ke waktu. BNSP dapat mencabut lisensi mereka bila ditemukan fakta yang berbeda antara apa yang dijanjikan LSP untuk dilaksanakan dengan apa yang secara aktual dilaksanakan LSP tersebut. Bila ditemukan adanya perbedaan, maka BNSP dapat melakukan proses peneguran sampai pada penangguhan, bahkan pencabutan lisensi (bilamana dianggap perlu).

Oleh karena itu, LSP bidang MR yang sudah memiliki lisensi dari BNSP memiliki derajat keabsahan yang sama sebagai perpanjangtanganan BNSP dalam melakukan proses sertifikasi profesi bidang MR. Pertanyaan lain kemudian timbul, apa ada perbedaan antara satu LSP dengan LSP lainnya di samping keabsahan mereka sebagai pemegang lisensi dari BNSP.

Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi dasar pembeda, yaitu rujukan Standar Kompetensi Kerja (SKK) yang digunakan – apakah SKK-NI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) atau SKK-Khusus (Standar Kompetensi Kerja Khusus) dan tipe LSP itu sendiri – apakah LSP tipe 1, tipe 2, atau tipe 3.


2.PERBEDAAN SKK-NI DENGAN SKK-KHUSUS:

  1. Dasar dan proses pembuatan SKK.

SKK-NI dibuat atas kesepakatan bersama antara asosiasi industri pengguna, pakar di bidangnya, dan kementerian atau sektor yang terkait dengan SKK-NI, serta Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), melalui beberapa tahapan yang dipersyaratkan oleh BNSP.

SKK-Khusus dibuat oleh asosiasi yang terkait dengan industri yang akan mempergunakannya dan berlaku untuk memenuhi kebutuhan lingkungan asosiasi dan/atau oleh industri yang sudah memutuskan akan memakai SKK-Khusus ini.

  1. Siapa yang boleh menggunakan SKK untuk uji sertifikasi kompetensi?

SKK-NI dapat dipakai oleh siapa saja yaitu semua industri, lembaga Diklat Vokasi Universitas, dan bahkan dapat dipakai oleh asosiasi lain yang berminat untuk mengadopsi baik seluruh maupun sebagian dari SKK-NI tersebut.

SKK-Khusus hanya boleh dipakai oleh lembaga tertentu saja yang sudah memperoleh ijin dari pemilik atau pemrakarsa SKK tersebut.

3.PERBEDAAN TIPE LSP:

Ada tiga tipe LSP, yaitu:

  1. LSP tipe 1 atau sering disebut dengan nama LSP P1

LSP P1 dibentuk oleh lembaga pendidikan dan pelatihan (Lemdiklat) yang melatih pesertanya untuk kebutuhan industri. LSP P1 dapat menerbitkan sertifikat kompetensi sesuai dengan skema yang telah divalidasi oleh BNSP.  LSP P1 merupakan bagian terpadu dari LPK (lembaga pelatihan kerja) yang memiliki lisensi sebagai LPK independen dari Kemenaker. Oleh karena itu, pelatihan menjadi bagian tidak terpisah dari proses ujian sertifikasi yang dilaksanakan oleh LSP P1 ini. LSP P1 dapat menggunakan SKK-NI maupun SKK-Khusus tergantung dari pilihan mereka.

  1. LSP tipe 2 atau sering disebut dengan nama LSP P2

LSP P2 mirip dengan LSP P1, tetapi dijalankan oleh suatu departemen pemerintah tertentu yang membutuhkan SKK Khusus dari departemen itu sendiri untuk dijadikan landasan edukasi dan sertifikasi internal mereka. LSP P2 dibentuk oleh dinas unit pelaksana teknis (UPT) untuk memastikan jaringan UPT yang melakukan program sertifikasi kompetensi dapat diterbitkan oleh UPT yang membentuknya dengan UPT-UPT yang lain cukup sebagai tempat uji kompetensi (TUK). LSP P2 dapat menggunakan SKK-NI maupun SKK-Khusus tergantung dari pilihan mereka.

  1. LSP tipe 3 atau sering disebut dengan nama LSP P3

LSP P3 adalah LSP umum yang dapat dibentuk oleh asosiasi industri atau asosiasi profesi. Ujian sertifikasinya tidak harus terpadu dengan pelatihan khusus dari suatu LPK independen ataupun UPT tertentu. Siapapun yang memenuhi syarat dapat mengikuti ujian sertifikasi mereka secara langsung, dan oleh karena itu, LSP P3 umumnya menggunakan SKK-NI.

Mana yang lebih baik atau sesuai, apakah SKK-Khusus atau SKKNI?

Tidak menjadi masalah bagi praktisi dan profesi MR untuk memilih LSP yang berbasis SKK-Khusus ataupun SKK-NI. Yang terpenting untuk dipahami adalah rincian elemen kompetensi dari SKK tersebut dan pemahaman tentang unit dan elemen kompetensi apa yang akan diuji? Sangat riskan dan sangat naif bila kita mengatakan SKK-Khusus lebih baik dari SKK-NI atau sebaliknya. Ada SKK yang menitikberatkan pada kompetensi MR untuk kebutuhan industri tertentu saja secara spesifik dan ada SKK yang mendasarkan diri pada suatu standar khusus yang dapat dipakai lintas industri.

Semua itu adalah pilihan dan oleh karena itu terminologi yang lebih tepat adalah bukan mencari mana yang lebih baik, tetapi mencari mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan organisasi dan/atau individu yang akan mengambil sertifikasi.

Mana yang lebih baik atau sesuai, apakah LSP P1, LSP 2, atau LSP P3?

Karena tidak ada LSP tipe tertentu yang dianggap lebih baik dari tipe yang lainnya, maka pertanyaan akan lebih tepat bila LSP tipe mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan organisasi dan/atau individu yang akan mengambil sertifikasi.

Dengan pertimbangan bahwa LSP P2 sangat spesifik untuk kebutuhan internal suatu departemen pemerintahan tertentu saja, tulisan akan mengupas lebih jauh hanya perbandingan LSP P1 dan LSP P3.

Karena LSP P1 mengharuskan adanya keterpaduan antara standar, edukasi atau pelatihan, dan uji sertifikasi, maka pelatihan menjadi keharusan mutlak bagi siapapun yang akan mengambil sertifikasi. Di sisi lain, karena LSP P3 tidak mengharuskan secara mutlak adanya keterpaduan di atas, maka pelatihan seharusnya menjadi pilihan saja bagi calon pengambil sertifikasi (catatan: walaupun dalam praktik ada beberapa LSP P3 yang kadang menyarankan adanya pelatihan pendahuluan sebelum ujian sertifikasi).

Berangkat dari keterangan di atas, apa yang perlu dipertimbangkan dalam memilih tipe LSP (antara LSP P1 dengan LSP P3) dan uji sertifikasi yang ditawarkan? Di bawah ini ada 3 pertanyaan mandiri yang dapat membantu calon pengambil sertifikasi dalam menentukan pilihan mereka:

A. Standar MR apa yang dipakai?

  • Apakah relevan dengan kebutuhan organisasi dan/atau kebutuhan individu pengambil ujian sertifikasi baik untuk kebutuhan mereka saat ini maupun kebutuhan mereka di masa mendatang?
  • Apakah dasar rujukan memiliki cakupan bersifat nasional saja atau lebih luas di tingkat regional dan internasional?
  • Sejauh apa standar ini diakui dan diterima oleh komunitas MR dan industri yang terkait sebagai pengguna dan sejauh mana keberlanjutan standar tersebut?

B. Standar kompetensi kerja apa yang digunakan?

  • Sejauh apa SKK yang dipakai mencerminkan kualitas dan tingkat kedalaman elemen kompetensi yang diadopsi? Hal ini sangat fundamental karena kualitas elemen kompetensi akan sangat berpengaruh pada kualitas skema kompetensi yang ditawarkan oleh LSP.
  • Sejauh apa elemen kompetensi dalam SKK sejalan dan seiring dengan standar MR yang dijadikan rujukan?
  • Sejauh apa SKK yang dipakai direkognisi oleh asosiasi profesi bidang MR yang relevan?

C. Skema kompetensi yang ditawarkan?

  • Skema kompetensi apa saja yang ditawarkan dan sejauh apa skema yang tersedia tersebut sesuai dengan kebutuhan organisasi dan/atau individu pengambil ujian sertifikasi.
  • Apakah setiap skema yang ditawarkan telah divalidasi oleh BNSP dan absah menjadi cakupan lisensi yang telah dimiliki oleh LSP tersebut atau masih dalam proses validasi BNSP?
  • Apakah kaitan antar satu skema ke skema lainnya jelas dan sejalan dengan kebutuhan jenjang pengembangan kompetensi SDI organisasi dan/atau individu pengambil ujian sertifikasi tersebut?

D. Metode pelatihan apa yang dipakai?

  • Apakah sesuai dengan pendekatan ‘adult learning’ dan berbasis ‘competency development’? Misal apakah tingkat rasio komposisi studi kasus dan teori berimbang?, atau apakah ada penggunaan simulasi yang dapat mengasah kompetensi dengan lebih tajam?, dan lain sebagainya.
  • Apakah efektifitas pelatihan terukur, sehingga dapat menjadi masukan bagi pengembangan SDI organisasi?
  • Apakah didukung oleh tim instruktur yang memiliki reputasi tinggi baik dari segi teoritis penguasaan standar yang dipakai maupun dalam penguasaan praktis penggunaan standar tersebut?

E. Metode dan materi uji sertifikasi yang dipakai?

  • Apakah asesor yang digunakan berlisensi asesor dari BNSP serta menguasai standar yang digunakan baik dari segi penguasaan teoritis maupun praktis?
  • Apakah materi uji sertifikasi dirawat dan dikembangkan terus-menerus sejalan dengan kebutuhan profesi dalam cakupan standar yang digunakan?
  • Sejauh apa reputasi organisasi pelaksana dalam mengadakan proses uji kompetensi, misal penjadwalan ujian sertifikasi, persiapan tempat uji kompetensi, tingkat pelayanan selama proses ujian sertifikasi, maupun dalam proses penerbitan sertifikat, dan lain sebagainya.

Demikian tulisan ini dibuat dan mudah-mudahan bermanfaat bagi organisasi dan/atau individu dalam membantu proses penentuan jalur sertifikasi kompetensi bidang MR apa yang akan dipilih.

oleh:
Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua IRMAPA