Tindak pidana korporasi dan cara penanganannya (Perma no 13/2016)
Tinjauan singkat dari perspektif manajemen risiko

Pada akhir Desember 2016 Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma)nomor 13 tahun 2016 mengenai tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Dalam pertimbangannya MA menyebutkan bahwa Perma 13/2016 diperlukan karena (a) terdapat pelbagai tindak pidana korporasi (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat, (b) korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (corporate criminal liability) dan (c) banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas. Untuk mengatasi hal ini maka Perma 13/2016 diterbitkan.

Sedikit tentang tindak pidana korporasi

Beberapa permasalahan dalam tindak pidana korporasi, terutama dalam menetapkan tanggung jawab pidana korporasi tersebut adalah karena:

  • Tindak pidana pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh manusia, karena diperlukan adanya niat jahat (mens rea) dan perbuatan yang dilakukan atas dasar niat jahat tersebut (actus reus) dan mengakibatkan orang lain menderita/celaka, entah itu karena sengaja (dolus) ataupun karena kelalaian (culpa). Oleh karena itu tindak pidana merupakan tanggung jawab pribadi;
  • Korporasi hanyalah suatu entitas fiktif, sehingga tidak mungkin mempunyai niat jahat, karena segala sesuatu yang terjadi adalah akibat tindakan karyawan atau pengurusnya, sehingga bagaimana mungkin korporasi harus dibebani tanggung jawab pidana tersebut?;
  • Selain itu koporasi juga tidak dapat dipenjarakan, sehingga hukuman yang paling efektif adalah denda. Akan tetapi dengan adanya denda ini pada dasarnya yang dirugikan adalah pemegang saham, sedangkan dia sebetulnya tidak bersalah dalam hal ini, mengapa dia harus menanggungnya?. Selain itu denda yang akan menimbulkan kerugian juga akan mempunyai dampak reputasi terhadap perusahaan.
  • Denda atau ganti rugi juga dapat dilakukan melalui hukum perdata, dimana digunakan aturan mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh Perseroan (KUHPer 1365) atau bila PMH dilakukan oleh bawahan atau pihak lain yang bertindak untuk Perseroan maka asas respondiat superior dan vicarious liability (KUHPer 1367) dapat digunakan. Dengan demikian mencoba menggunakan asas-asas hukum perdata kedalam kasus pidana

Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas no.40 tahun 2007 (UUPT) menetapkan bahwa perseroan atau korporasi merupakan subyek hukum, dan merupakan entitas fiktif dengan hak untuk melakukan kegiatan perekonomian. Walaupun perseroan mempunyai hak dan kewajiban seolah-olah seperti manusia, tetapi secara fisik dia “tidak ada”. Perseroan memerlukan manusia nyata untuk melakukan perbuatan-perbuatannya dan ini diatur dalam organ perseroan siapa yang berhak untuk melakukan perbuatan “untuk dan atas nama” perseroan. Dalam konstruksi hukum Indonesia berdasarkan UUPT, organ tersebut adalah Direksi, maka Direksi merupakan “alter ego” perseroan..

Dengan demikian maka tindakan Direksi yang “untuk dan atas nama Perseroan” menjadi identik dengan tindakan Perseroan. Hal ini berarti bila terdapat tindakan Direksi dalam kapasitasnya yang melanggar hukum pidana, maka selain Direksi sebagai individu yang bertanggung jawab secara pidana, juga Perseroan sebagai badan hukum dibebani tanggung jawab pidana atas tindakan tadi, misalkan dalam kasus lingkungan hidup, kasus penyelundupan narkoba, kasus perlindungan konsumen, dll.

Walaupun biasanya tindakan-tindakan pidana ini tidak dilakukan langsung oleh Direksi, melainkan oleh bawahan/pegawai, maka dalam hal ini azas respondiat superior, atau vicarious liability dapat diadopsi, sehingga Direksi juga dapat dipidana karena tindakan tersebut. Kalau tidak maka yang menderita hanya bawahan saja, sebagai pelaku tindak pidana dan Perseroan akan tetap aman beroperasi dan dapat “digunakan” sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. Maka demi menjamin ketertiban masyarakat luas yang lebih adil Perseroan harus memikul tanggung jawab pidana perseroan (corporate criminal liability).Dengan demikian Direksi dan Perseroan yang bertanggung jawab ataas tindak pidana tersebut.

 

Tanggung jawab pidana korporasi dan Perma 13/2016

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa tanggung jawab hukum pada saat terjadi tindak pidana perseroan dipikul oleh:

  1. Pribadi anggota Direksi dan fihak-fihak yang terlibat dengan pelaksanaan tindak pidana perseroan tersebut;
  2. Pribadi anggota Direksi dan Perseroannya sebagai subyek hukum;
  3. Hanya pada perseroan saja apabila dilakukan tuntutan secara perdata.

Contoh pelaksanaan untuk butir (a) di atas adalah pada kasus suap yang dilakukan oleh Dirut PT Agung Podomoro Land kepada salah seorang anggota DPRD DKI. Pada vonis bulan September 2016, dia divonis hukuman pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 200 juta. Untuk contoh kasus butir (b) adalah kasus Indosat Mega Media (IM2) yang diputuskan MA pada Januari 2014, dimana Dirut IM2 dipidana penjara dan denda, sedangkan korporasinya juga dipidana denda sebesar Rp 1,3 trilyun. Untuk contoh kasus (c) adalah kasus PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) yang diputuskan oleh MA pada Novembeer 2016, dimana MPL harus membayar denda sebesar Rp 16,2 trilyun.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan Dewan Komisaris dan Pemegang Saham? Untuk hal ini ditangani dengan menggunakan ketentuan yang berlaku dal UUPT bilamana terdapat kelalaian bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, atau Pemegang Saham bila mereka melakukan kesalahan.

Perma 13/2016 menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi, dan dinilai kesalahannya  apabila:

  1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
  2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
  3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Siapa saja yang menjadi penanggungjawab bila terjadi tindak pidana korporasi? Perma 13/2016 menyatakan bahwa yang dapat dijatuhi pidana adalah Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus (pasal 23), akan tetapi tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Pidana yang dijatuhkan dapat berupa pidana poko dan pidana tambahan. Pidana pokok terhadap korporasi adalah denda, sedangkan pidana tambahan dapat berupa ganti rugi atau restitusi terhadap pihak yang dirugikan oleh tindak pidana tersebut. Semua pidana ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Perspektif manajemen risiko korporasi

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hal yang berkaitan dengan focus penanganan manajemen risiko korporasi sebagai berikut:

  • Tindak pidana korporasi dapat terjadi di tingkat operasional ataupun tingkat strategis. Di tingkat operasional berarti akibat perbuatan karyawan ataupun agen yang ditugaskan oleh koporasi untuk melakukan suatu tugas.perbuatan, dimana dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran yang berdampak pada tindak pidana korporasi;
  • Tindak pidana korporassi di tingkat strategis berarti akibat tindakan Direksi atau Manajemen Senior yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku;
  • Peristiwa terjadinya tindak pidana korporasi ini merupakan interaksi kegiatan perusahaan dengan kepatuhan terhadap regulasi atau undang-undang terkait dengan kegiatan korporasi;
  • Pada setiap terjadi tindak pidana korporasi, maka penanggung jawab utama adalah Direksi, walaupun putusan pidana dapat dijatuhkan pada korporasi atau Direksi, atau Direksi dan Korporasi. Ini karena Direksi adalah alter ego dari korporasi.

Dengan menggunakan panduan SNI ISO 31000:2011, suatu standar manajemen risiko internasional yang sudah diadopsi menjadi standar manajemen risiko nasional Indonesia, dapat diperoleh 2 hal utama yang perlu kita perhatikan, yaitu:

  • Tata kelola manajemen risiko perusahaan (risk governance) karena semua akibat dari perbuatan tindakan pidana korporasi akan bermuara kepada Direksi;
  • Pemahaman mengenai paparan risiko hukum yang dihadapi oleh korporasi.

Untuk melaksanakan kedua hal tersebut di atasdiperlukan pemahaman yang baik terhadap proses bisnis koporasi secara rinci, karena berdasrkan pemahaan terhadap proses bisnis ini maka akuntabilitas pengelolaan risiko akan ditentukan dan juga pemahaman seberapa tinggi paparan risiko pidana artinya kemungkinan terjadinya tindak pidana dan juga perkiraan dampaknya bila terjadi dapat diperkirakan.

Tata kelola manajemen risiko

Tata kelola manajemen risiko ini sesuai anjuran SNI ISO 31000 haruslah diintegrasikan dengan struktur organisasi korporasi dan proses bisnisnya. Berdasarkan pengintegrasian ini maka ditentukan penanggung jawab pengelolaan risiko pada setiap tingkatan organisasi. Para penanggung jawab pengeloaan risiko untuk tiap unit kerja ini juga haruslah dibekali dengan pemahaman manajemen risiko yang memadai.

Apabila sudah mendapatkan pemahaman yang memadai mengenai manajemen risiko, maka mereka harus mencoba untuk memperkirakan potensi kemungkinan terjadinya risiko dalam proses bisnis yang menjadi unit kerjanya dan dampaknya pada pencapaian sasaran perusahaan. Termasuk di dalamnya potensi terjadinya risiko pelanggaran tindak pidana, ataupun potensi perbuatan melanggar hukum dalam proses bisnis tersebut.

Direksi harus memastikan bahwa pelaksanaan tanggung jawab pengenlolaan risiko ini berjalan secara memadai dan efektif, dengan melakukan review secara berkala. Pemantauan ini sangat penting terutama dalam menangani risiko operasional, dimana paparannya sangat luas karena mencakup banyak pihak di seluruh proses bisnis. Dengan demikian Direksi akan menyusun tata kelola manajemen risiko dan melakukan pengawasannya. Tugas Dewan Komisaris hanyalah melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa tata kelola ini berjalan dengan baik dan efektif dalam mencegah terjadinya risiko korporasi, termasuk tindak pidana korporasi.

Paparan risiko hukum yang dihadapi

Untuk dapat memahami hal ini, maka korporasi haruslah melakukan inventarisasi peraturan perundangan apa saja yang harus dipatuhi dalam melakukan kegiatannya. Mulai dari peraturan tingkat undang-undang hingga peraturan tingkat Menteri atau Dirjen terkait. Apabila inventarisasi ini telah selesai dilakukan,maka dilakukan analisis, dimana proses bisnis terkait harus memenuhi peraturan perundangan tersebut. Contohnya untuk proses produksi manufaktur, maka peraturan perundangan terkait adalah UU Lingkungan Hidup, Peraturan Menaker tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja, UU Perlindungan Konsumen, SNI terkait dengan hasil produksi tersebut, dll. Untuk bagian Marketing, UU tentang Periklanan, UU Perlindngan Konsumen, Aturan Kontrak Bisnis, UU mengenai HAKI, dll.

Pparan risiko hukum ini haruslah dipahami oleh para penanggung jawab risiko di seluruh tingkatan dan unit kerja, karena paparan risiko hukum yang ditangani berbeda-beda untuk masing-masing penanggung jawab. Untuk pelaksanaannya diperlukan staf perusahaan yang faham proses bisnis dan juga faham hukum terkait, guna memberikan pencerahan bagi para penanggung jawab risiko tersebut. Proses ini juga harus dilakukan untuk penanganan risiko-risiko strategis korporasi.

Melalui proses di atas diharapkan baik peluang maupun potensi ancaman risiko hukum korporasi dapat diantisipasi dengan baik atau bahkan direduksi hingga minimal.

Penutup

Melalui penerapan manajemen risiko yang baik dan efektif, maka kemungkinan terjadinya pelanggaran pidana korporasi akan dapat dicegah atau bahkan direduksi hingga minimal. Untuk itu penyelenggaraan tata kelola manajemen risiko yang baik dan pemahaman paparan risiko hokum yang dihadapi akan sangat berperan.

Jakarta, 6 Januari 2017

Leo J. Susilo

Ketua Dewan Penasehat IRMAPA
Principal CRMS Indonesia