Felisia Oktovia Manurung, Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Pemenang Ketiga Lomba Menulis Artikel Manajemen Risiko 2020

Fenomena gap year (tahun jeda) sering terdengar di kalangan murid SMA yang akan menjadi mahasiswa. Dikutip dari ruangguru.com, gap year adalah suatu kondisi ketika seseorang memutuskan untuk tidak berkuliah di tahun pertama setelah lulus dari sekolah. Umumnya, seorang anak memilih untuk gap year karena gengsi ingin berkuliah di PTN bahkan tekanan orang tua serta lingkungan yang memiliki pemahaman bahwa berkuliah di PTN adalah hal yang membanggakan. Lebih jauh, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua anak memiliki pemikiran bahwa gap year dilakukan semata karena gagal untuk berkuliah di PTN setelah lulus SMA.

 

Latar Belakang

Jika diamati, fenomena gagal berkuliah di PTN ini juga mengakibatkan beberapa anak memutuskan untuk menunda kuliah dan mencoba berjuang kembali di tahun selanjutnya agar bisa berkuliah di tempat yang mereka impikan. Fenomena ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bahkan hal ini acap dipandang negatif oleh masyarakat Indonesia sebagaimana yang dirasakan penulis. Tak sampai di situ saja, karena pandangan tersebut, sang anak juga ikut terprovokasi serta tertekan apabila harapannya, orang tuanya, ekspetasi lingkungan terhadap dirinya tidak tercapai. Tekanan dari masyarakat dan teman sekitar juga menambah tekanan sang anak apabila hal yang diimpikannya tak terwujud. Hal ini dapat dikatakan jika latar tempat berlangsungnya pendidikan sang anak terdahulu, khususnya pada tiga lingkungan utama pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat (Umar Tirtaraharja et. al., 1990: 39-40)  memengaruhi pola pikir anak bahwa menuntut ilmu harus di tempat bergengsi. Contohnya adalah anak ditekankan bahwa ia harus berkuliah di PTN karena orang tua berpikir anaknya akan sukses bila berkuliah di PTN. Padahal itu adalah pemahaman yang salah.

Gap year bukan suatu pilihan yang buruk apabila ingin bangkit dari kegagalan. Masa gap year adalah masa ketika seseorang bisa mengoreksi kesalahan yang telah ia lakukan sebelumnya atau dapat dikatakan masa untuk mengevaluasi diri ke arah yang lebih baik menurut seseorang itu sendiri. Hanya saja, edukasi masyarakat Indonesia tentang gap year masih rendah bila dibandingkan masyarakat negara lain. Akibat pemahaman yang salah tersebut,  akhirnya anak pun mau tak mau menerima konsekuensi akibat pemahaman tersebut, yaitu diberi cap miring oleh masyarakat. Namun, bagi beberapa orang, gap year itu tak membuatnya goyah untuk tetap mengikuti ujian masuk universitas lagi di tahun selanjutnya. Meski begitu, tetaplah saja ada yang goyah karena, sebagaimana manusia biasanya, manusia butuh pengakuan, motivasi agar dapat menjalani suatu tantangan yang besar dihadapannya kelak.

 

Risiko dan Peluang

Sebenarnya banyak risiko yang ditanggung jika menunda untuk berkuliah. Namun, di samping itu, banyak hal positif yang didapat jika ingin menunda waktu untuk melanjutkan studi. Universitas sekelas Harvard University bahkan memberikan pilihan untuk menunda kuliah setahun bagi calon mahasiswanya karena dampak positif yang dihasilkan setelah menunda kuliah atau gap year begitu besar, terutama untuk mengasah skill, motivasi, dan kecerdasan. Hal tersebut juga dapat membuat calon mahasiswanya nanti siap dengan dunia perkuliahan dengan skill yang didapat. Namun, kembali lagi, dampak positif gap year bergantung dengan aktivitas yang dilakukan nantinya.

Dikutip dari Zenius.net, para perguruan tinggi top merekomendasikan gap year karena beberapa penelitian menunjukkan pengambilan gap year memiliki dampak positif yang signifikan terhadap prestasi akademis siswa di perguruan tinggi (Birch dan Miller 2007; Crawford dan Cribb 2012). Di Inggris dan di Amerika Serikat, anak yang telah mengambil gap year lebih mungkin untuk lulus dengan nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada yang langsung melanjutkan ke perguruan tinggi (Crawford and Cribb 2012; Clagett 2013). Aktivitas seperti bekerja, menjadi sukarelawan, dan belajar untuk mengejar kampus yang diimpikan dapat dilakukan selama gap year dalam rangka mengembangkan potensi dan kemantapan berpikir serta kemampuan finansial pada calon mahasiswa nantinya.

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan juga bahwa kegiatan gap year tak bisa dipandang sebelah mata apalagi dianggap remeh. Dikutip dari wirahadie.com, Emma Watson, sosok pemeran karakter Hermione Granger dalam serial film Harry Potter, ternyata pernah memutuskan untuk gap year dan melakukan kegiatan menambah ilmu pengetahuannya. Aktris muda ini menghabiskan satu tahun untuk memperkaya ilmu pengetahuan dengan membaca berbagai buku, khususnya bertema feminisme. Hasilnya, ia terpilih menjadi salah satu ambasador dari PBB, Hebat, bukan?

 

Penutup

Gap year dapat menjadi sebuah kesempatan untuk menjadikan diri lebih baik, mengembangkan kemampuan dengan berbagai kegiatan positif. Hasil kerja keras seseorang yang mengikuti gap year akan terbayar setimpal jika bersungguh-sungguh dalam menjalani masa gap year. Bisa diambil kesimpulan juga bahwa gap year tidaklah menunda kesuksesan seseorang, lebih tepatnya gap year adalah salah satu jalan untuk menuju kesuksesan seseorang dan tidak menjamin seseorang sukses karena melewati masa gap year, itu kembali lagi kepada diri masing-masing bagaimana menyikapi peluang dan kesempatan yang ada di sekitarnya baik saat masa gap year atau pasca gap year. Risiko gap year pastilah ada, tapi alangkah baiknya bukan bila kita bisa menyikapi dan mengambil hal-hal yang positif dari masa itu, bukan?