Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professionals Association (IRMAPA).
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Kebutuhan membangun budaya sadar risiko di suatu organisasi perusahaan adalah hal kritikal dan fundamental. Tanpa budaya sadar risiko yang kondusif, perusahaan akan sulit memperoleh manfaat optimal dari penerapan manajemen risiko, yaitu membantu direksi dan dewan komisaris dalam menciptakan dan melindungi nilai organisasi mereka.

Tugas membangun, memperkuat, dan menyebarkan budaya sadar risiko adalah akuntabilitas direksi dan dewan komisaris, dan oleh karena itu mereka perlu memahami sudah sejauh apa tingkatan dan praktik budaya sadar risiko yang ada saat ini sebelum melangkah lebih lanjut.

Bagaimana caranya?

Di bawah ini adalah sepuluh pertanyaan mandiri yang dapat digunakan oleh direksi dan atau dewan komisaris  untuk  memahami sejauh apa budaya sadar risiko  perusahaan mereka saat ini, apakah sudah terwujud sepenuhnya, atau masih sebagian, atau bahkan belum terwujud sama sekali:

  1. Apakah pesan tegas dan seirama dari direksi dan dewan komisaris mengenai relevansi dan pentingnya penerapan manajemen risiko sudah terkomunikasikan ke seluruh karyawan di segala tingkatan? Sejauh apa direksi dan dewan komisaris menerapkan kepemimpinan yang konsisten, jelas (mudah dipahami) dan dapat diteladani mengenai apa yang diharapkan oleh mereka terhadap seluruh insan di organisasi?
  2. Bagaimana struktur akuntabilitas pengelolaan risiko ditetapkan dan dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan? Sejauh apa konsistensi penerapan struktur akuntabilitas tersebut dipraktikkan dan diukur efektivitasnya dari waktu ke waktu?
  3. Apa saja risiko yang dapat timbul dari budaya sadar risiko saat ini?; dan budaya sadar risiko seperti apa yang dibutuhkan oleh organisasi dalam upaya pencapaian sasaran dan tujuan mereka? Apakah karyawan dapat berbicara secara terbuka tanpa khawatir akan dihukum atau diabaikan?
  4. Bagaimana direksi dan dewan komisaris memastikan nilai-nilai luhur organisasi (values) menjadi dasar pertimbangan utama dalam mengelola risiko, terutama dalam memecahkan suatu dilema permasalahan risiko? Apakah direksi dan dewan komisaris mendiskusikan hal ini secara teratur dan menjadikannya akar dari pengambilan keputusan yang dibuat oleh direksi dan atau dewan komisaris?
  5. Bagaimana struktur organisasi saat ini, apakah sistem dan proses penghargaan yang ada sudah mendukung atau masih menghambat pengembangan budaya sadar risiko yang diinginkan oleh organisasi bersangkutan?
  6. Bagaimana direksi dan dewan komisaris secara aktif mencari informasi mengenai kejadian/peristiwa risiko baik dari internal organisasi mereka sendiri atau dari pihak eksternal – dan memastikan adanya pembelajaran dari peristiwa tersebut? Apakah direksi dan dewan komisaris memiliki kebesaran dan kerendahan hati untuk melihat diri mereka dari kaca mata pemangku kepentingan dan tidak bertahan pada asumsi bahwa mereka selalu benar?
  7. Bagaimana direksi dan atau dewan komisaris memberikan respon terhadap ‘whistleblowers’ dan lainnya, terutama yang memberikan masukan atau isu atau kekhawatiran yang asli (genuine)? Kapan terakhir hal ini terjadi dan bagaimana penanganannya sehingga efektivitas dari sistem ‘whistleblowers’ tersebut terjaga?
  8. Bagaimana direksi dan atau dewan komisaris dan atau pimpinan puncak menghargai dan menyemangati perilaku pengambilan risiko yang bernilai tambah secara positif, dan bagaimana direksi dan dewan komisaris memperbaiki perilaku risiko yang kurang berimbang (apakah terlalu takut mengambil risiko, atau terlalu berkelebihan)?
  9. Bagaimana direksi dan dewan komisaris meyakinkan diri mereka sendiri bahwa karyawan yang baru bergabung akan cepat menyerap nilai-nilai budaya sadar risiko yang diinginkan, dan bagi staf yang lama dapat menjaganya dengan baik?
  10. Bagaimana direksi dan dewan komisaris mendukung pembelajaran dan pengembangan karyawan terkait dengan peningkatan kesadaran dan kompetensi pengelolaan risiko di segala tingkatan? Pelatihan kompetensi bidang manajemen risiko apa yang sudah diikuti oleh semua kayawan dan insan di organisasi, termasuk direksi dan dewan komisaris?

Walau sepuluh pertanyaan mandiri di atas bukan merupakan sebuah matriks atau ukuran kuantitatif, hasil diskusi dapat digunakan oleh direksi dan dewan komisaris untuk memahami situasi dan kondisi budaya sadar organisasi mereka saat ini: apakah sudah memiliki tingkatan dan serapan budaya sadar risiko sesuai dengan yang diinginkan atau diperlukan, atau masih memiliki banyak hal dan atau ruang yang masih perlu dibangun/ditingkatkan?

 

Mudah-mudahan artikel di atas bermanfaat bagi praktisi dan komunitas manajemenr risiko di Indonesia.