Artikel

Artikel2021-01-27T19:01:07+07:00

Memahami Risiko dan Asuransi dalam Teknologi CCS

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dalam upaya mengurangi emisi karbon, teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) menjadi solusi penting bagi industri yang sulit menghilangkan emisi sepenuhnya. Teknologi ini menangkap CO2 sebelum mencapai atmosfer dan menyimpannya secara aman di bawah tanah. Namun, seperti halnya inovasi lain, CCS juga memiliki tantangan dan risiko yang perlu diperhitungkan, terutama dalam hal regulasi dan asuransi.

Bagaimana Model Bisnis CCS Bekerja?

Sebelumnya, banyak industri melepaskan CO2 tanpa konsekuensi finansial. Namun, dengan komitmen global menuju net-zero, berbagai insentif dan kebijakan mulai diterapkan agar industri dapat menangkap dan menyimpan emisi mereka.

Model bisnis CCS umumnya terdiri dari tiga tahap utama:

  1. Penangkapan emisi – CO2 dari berbagai industri dikumpulkan dan dikondisikan agar sesuai dengan spesifikasi penyimpanan.
  2. Transportasi – CO2 yang telah diproses dialirkan melalui pipa, kapal, atau kendaraan khusus menuju lokasi penyimpanan.
  3. Penyimpanan – CO2 disimpan secara permanen di lapisan geologi bawah tanah.

Risiko dalam Proses CCS

Meskipun teknologi ini menjanjikan, ada beberapa risiko utama yang perlu diperhatikan:

  1. CO2 di luar spesifikasi
    • Jika CO2 mengandung terlalu banyak air, dapat terbentuk asam karbonat yang merusak pipa.
    • Kandungan oksigen atau zat lain dalam CO2 dapat menyebabkan ledakan atau kebocoran.
    • Jika kualitas CO2 tidak sesuai, seluruh sistem dapat terganggu dan memerlukan biaya besar untuk perbaikan.
  2. Dampak Lingkungan dan Kesehatan
    • Kebocoran CO2 dalam jumlah besar dapat menyebabkan risiko kesehatan bagi manusia dan lingkungan sekitar.
    • Pengelolaan dan pemantauan ketat diperlukan agar CO2 tetap tersimpan dengan aman.

Peran Asuransi dalam CCS

Industri asuransi melihat CCS sebagai tantangan baru yang membutuhkan pendekatan khusus. Beberapa tantangan dalam asuransi CCS meliputi:

  • Ketidakpastian regulasi dan kontrak – Karena CCS masih berkembang, banyak kontrak yang belum matang sehingga sulit mengukur total risiko dan kewajiban masing-masing pihak.
  • Perlindungan terhadap risiko non-kerusakan – Biasanya, asuransi hanya mencakup kerusakan fisik. Namun, dalam CCS, risiko finansial akibat kebocoran atau kegagalan penyimpanan juga harus diperhitungkan.
  • Model ekonomi yang kompleks – CCS melibatkan banyak pihak lintas negara dengan regulasi yang berbeda, sehingga asuransi harus dapat mengakomodasi berbagai skenario kerugian.

Teknologi CCS menjadi kunci dalam transisi energi bersih, tetapi memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan baik. Asuransi berperan penting dalam memberikan perlindungan finansial bagi perusahaan yang mengadopsi CCS. Dengan memahami risiko dan menyesuaikan solusi asuransi, industri dapat memanfaatkan CCS dengan lebih aman dan berkelanjutan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Marsh, dengan judul Why the Risks Posed by CCS Demand an Adapted Approach from Insurers. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Risiko Geopolitik dan Dampaknya terhadap Pengembalian Investasi

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Risiko geopolitik semakin menjadi perhatian bagi para investor dan manajer risiko. Ketidakstabilan politik, kebijakan ekonomi yang berubah-ubah, serta konflik global dapat mempengaruhi keputusan investasi dan tingkat pengembalian yang diharapkan.

Mengapa Risiko Geopolitik Penting?

Dalam dua dekade terakhir, globalisasi telah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendorong ekspansi investasi ke berbagai negara. Namun, semakin luasnya cakupan investasi juga membawa risiko tambahan.

Beberapa sektor, seperti minyak, gas, dan logam mulia, sangat rentan terhadap ketidakstabilan politik dan perubahan kebijakan ekonomi. Jika sebuah negara mengalami konflik politik atau perubahan regulasi mendadak, investasi di sektor tersebut bisa terkena dampak besar. Oleh karena itu, memahami dan mengelola risiko geopolitik menjadi kunci dalam pengambilan keputusan investasi.

Cara Mengukur Risiko Geopolitik

Menilai risiko geopolitik bukan perkara mudah karena banyak faktor yang berperan, antara lain:

  • Ketidakstabilan politik: Kualitas kepemimpinan, kekuatan legislatif, konflik internal, kebebasan pers, korupsi, dan ketegangan sosial.
  • Ketidakpastian ekonomi: Rasio utang, inflasi, ketimpangan pendapatan, dan ketergantungan terhadap sumber daya tertentu.

Untuk menganalisis risiko geopolitik, investor menggunakan data dari berbagai sumber seperti IMF, Bank Dunia, dan lembaga pemeringkat kredit. Karena data dari masing-masing sumber bisa berbeda, metode yang sering digunakan adalah merata-ratakan nilai dari berbagai referensi agar hasilnya lebih objektif.

Risiko dan Pengaruhnya terhadap Pengembalian Investasi

Untuk memahami dampak risiko geopolitik terhadap investasi, digunakan konsep Risk-Adjusted Return on Investment (RARoI), yang memperhitungkan:

  1. Return on Investment (ROI): Tingkat pengembalian yang dihasilkan oleh investasi di suatu negara.
  2. Tingkat pengembalian bebas risiko: Contohnya adalah imbal hasil obligasi AS, yang sering dijadikan acuan.

Sebagai contoh, ROI sebesar 20% di AS dianggap relatif aman karena stabilitas ekonominya. Namun, investasi di negara dengan risiko tinggi seperti Zambia mungkin memerlukan premi risiko tambahan sebesar 25%, sehingga total RARoI menjadi 45%. Sebaliknya, investasi di negara yang lebih stabil seperti Swiss bisa memiliki RARoI hanya 17% karena risikonya lebih rendah.

Contoh Kasus Nyata

Beberapa kejadian nyata menunjukkan bagaimana risiko geopolitik dapat mempengaruhi investasi:

  • Tambang Tembaga Cobre di Panama: Ditutup paksa pada 2023 akibat kebijakan pemerintah, menyebabkan kerugian besar bagi investor. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan premi risiko dalam investasi di sektor pertambangan.
  • Investasi Private Equity di Rusia: Awalnya menghasilkan 28% per tahun, tetapi akhirnya jatuh menjadi nol setelah dua tahun akibat ketidakstabilan geopolitik dan sanksi ekonomi.

Risiko geopolitik memiliki dampak signifikan terhadap pengembalian investasi, terutama di sektor yang membutuhkan modal besar seperti sumber daya alam dan infrastruktur. Investor harus mempertimbangkan faktor geopolitik dalam setiap keputusan investasi agar dapat memitigasi risiko dan mengoptimalkan keuntungan.

Dengan analisis yang tepat, risiko geopolitik bisa dikelola dengan lebih baik, sehingga investasi tetap menguntungkan meskipun di lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA,  dengan judul Geo-political Risk-adjusted Returns on Investment. 

By |

Mengapa Membangun Budaya Risiko adalah Investasi Terbaik di 2025

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Saat organisasi menghadapi tantangan yang semakin kompleks, seperti ketidakpastian geopolitik dan ancaman siber, budaya risiko yang kuat menjadi kunci ketahanan dan kesuksesan jangka panjang. Memasuki 2025, investasi dalam budaya risiko akan menjadi strategi penting bagi perusahaan untuk menghadapi ketidakpastian dengan lebih efektif.

Apa Itu Budaya Risiko?

Budaya risiko mencakup nilai, keyakinan, dan perilaku yang menentukan bagaimana suatu organisasi mengenali, menilai, dan merespons risiko. Ini bukan sekadar kebijakan tertulis, tetapi bagian dari tindakan sehari-hari karyawan dan pemimpin di semua tingkatan organisasi.

Pentingnya Budaya Risiko

  1. Meningkatkan Pengambilan Keputusan
    Karyawan yang memahami risiko dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan proaktif.
  2. Membangun Kepercayaan Stakeholder
    Transparansi dan konsistensi dalam manajemen risiko meningkatkan kepercayaan investor, klien, dan regulator.
  3. Menghadapi Ketidakpastian
    Organisasi dengan budaya risiko yang baik lebih siap menghadapi gangguan dan memastikan kelangsungan operasional.

Dampak Buruk Jika Budaya Risiko Diabaikan

Tanpa budaya risiko yang kuat, perusahaan bisa mengalami kegagalan besar. Contohnya, skandal Cambridge Analytica menunjukkan bagaimana kurangnya kesadaran risiko dapat merusak reputasi dan kepercayaan publik. Sebuah survei tahun 2023 dari PwC menemukan bahwa 79% CEO global menganggap budaya risiko sebagai faktor utama kesuksesan organisasi, tetapi hanya 45% yang merasa sudah mengintegrasikannya dengan baik.

Cara Membangun Budaya Risiko yang Kuat

  • Komitmen Kepemimpinan: Pemimpin harus menjadi teladan dalam kesadaran risiko dan transparansi.
  • Keterlibatan Karyawan: Pelatihan, komunikasi terbuka, dan penghargaan atas keputusan berbasis risiko meningkatkan partisipasi.
  • Integrasi dalam Proses: Gunakan alat seperti dasbor risiko dan analitik untuk membantu visualisasi dan pengelolaan risiko.
  • Evaluasi dan Adaptasi Berkelanjutan: Budaya risiko harus terus diperbarui agar tetap relevan dengan tantangan baru.

Masa Depan Budaya Risiko di 2025

Di masa depan, teknologi seperti analitik prediktif dan AI akan semakin membantu organisasi dalam membangun budaya risiko. Namun, teknologi saja tidak cukup tanpa pendekatan yang menekankan kolaborasi, etika, dan akuntabilitas bersama.

Investasi dalam budaya risiko adalah investasi untuk masa depan. Ini membantu organisasi menjadi lebih lincah, berinovasi dengan aman, dan membangun kepercayaan di tengah pengawasan yang semakin ketat. Dengan fokus pada budaya risiko, 2025 bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang untuk membangun ketahanan bisnis yang lebih kuat.

Artikel ini telah diterbitkan oleh ERMA, dengan judul Building a Risk Culture: Why It’s Your Most Important Investment for 2025. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

10 Risiko Terbesar bagi Pemerintah dan Sektor Publik di 2025

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Mengelola risiko di sektor pemerintah pada tahun 2025 menjadi semakin menantang. Dengan ketidakpastian global, meningkatnya ketidakpercayaan publik, dan keterbatasan anggaran, pemimpin sektor publik harus mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi ancaman. Pendekatan manajemen risiko yang terintegrasi dapat membantu pemerintah menghadapi tantangan ini dan membangun kembali kepercayaan masyarakat.

10 Risiko Terbesar bagi Pemerintah dan Sektor Publik di 2025

Berikut adalah 10 risiko terbesar yang akan dihadapi sektor publik pada tahun 2025:

  1. Keuangan Publik yang Tidak Berkelanjutan
    Utang publik global meningkat drastis akibat pengeluaran besar untuk pemulihan ekonomi. Suku bunga tinggi memperburuk situasi, membatasi investasi dalam infrastruktur dan layanan publik. Pemerintah harus menetapkan prioritas pengeluaran berdasarkan dampak jangka panjang dan efisiensi penggunaan dana publik.
  2. Pertumbuhan Ekonomi yang Lemah
    Meskipun data ekonomi menunjukkan pertumbuhan, banyak masyarakat tetap mengalami kesulitan ekonomi. Faktor seperti tarif perdagangan, populasi yang menua, dan dampak perubahan iklim memperlambat pertumbuhan. Investasi dalam energi hijau dan pengukuran ekonomi alternatif selain PDB dapat membantu menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif.
  3. Kekurangan Tenaga Kerja dan Pekerjaan Informal
    Kekurangan tenaga kerja semakin nyata, sementara pekerjaan informal terus meningkat. Ini mengancam pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pajak. Pemerintah harus mendorong pendidikan, pelatihan ulang, dan kolaborasi dengan sektor swasta untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja.
  4. Kurangnya Kapasitas Digital dan Keamanan Siber
    Infrastruktur teknologi yang usang dan sistem yang terfragmentasi membuat sektor publik rentan terhadap serangan siber. Dengan perkembangan AI dan komputasi kuantum, pemerintah harus memperkuat keamanan digital, melatih tenaga kerja dalam keamanan siber, dan meningkatkan integrasi data.
  5. Ketidakmampuan Beradaptasi dengan Lanskap Geopolitik Baru
    Ketegangan politik global semakin meningkat, mempengaruhi kebijakan perdagangan dan hubungan internasional. Diplomasi yang kuat dan analisis data yang mendalam akan membantu pemerintah mengantisipasi dan merespons perubahan geopolitik dengan lebih baik.
  6. Kurangnya Transparansi dalam Rantai Pasok
    Krisis rantai pasok masih menjadi ancaman besar. Pemerintah perlu meningkatkan teknologi pemantauan dan menerapkan sistem yang lebih transparan agar dapat mengelola risiko lebih efektif.
  7. Ketahanan Karyawan yang Rendah dalam Sektor Publik
    Beban kerja yang tinggi dan ketidakpastian politik menyebabkan penurunan motivasi pegawai sektor publik. Pemerintah harus mengoptimalkan penggunaan teknologi, memberikan insentif yang menarik, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih fleksibel dan inovatif.
  8. Kesenjangan Antara Ambisi dan Aksi dalam Perubahan Iklim
    Banyak kebijakan iklim telah dibuat, tetapi pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret seperti mengajukan komitmen lingkungan yang lebih ambisius dan meningkatkan investasi dalam infrastruktur hijau.
  9. Keamanan Sosial dan Ketahanan Masyarakat yang Menurun
    Ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah meningkat, sementara ketimpangan sosial semakin melebar. Pemerintah harus meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan dan memperkuat layanan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  10. Infrastruktur Publik yang Tidak Siap Menghadapi Krisis
    Infrastruktur yang tidak memadai membuat banyak negara sulit menghadapi bencana alam, perubahan iklim, dan ancaman lainnya. Pemerintah harus mengalokasikan dana untuk memperkuat ketahanan infrastruktur dan sistem darurat.

Meskipun risiko di tahun 2025 sangat kompleks, ada peluang bagi pemerintah untuk memperbaiki layanan dan membangun kepercayaan publik. Dengan kepemimpinan yang berani dan inovatif, serta manajemen risiko yang terintegrasi, sektor publik dapat menghadapi tantangan ini dengan lebih baik. Mengambil langkah strategis sejak sekarang akan membantu menciptakan masyarakat yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh EY, dengan judul Top 10 Risks for The Government and Public Sector in 2025. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

BCBS 239 2.0: Menguatkan Manajemen Risiko dan Pengambilan Keputusan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

BCBS 239 adalah aturan yang dibuat oleh Basel Committee pada 2013 untuk memastikan bank mengelola dan melaporkan risiko dengan lebih baik. Aturan ini awalnya ditargetkan untuk bank besar, yang seharusnya sudah mematuhinya sejak 2016. Namun, banyak bank masih kesulitan memenuhi standar ini. Kini, regulator di Eropa dan AS mulai lebih serius menegakkan kepatuhan terhadap aturan ini.

Dampak bagi Bank

  • Bank menengah juga harus patuh. Jika sebelumnya aturan ini hanya untuk bank besar, sekarang bank skala menengah juga diawasi.
  • Pemeriksaan makin ketat. Bank harus siap menghadapi audit lebih detail, denda, atau bahkan pembatasan bisnis jika tidak memenuhi aturan.
  • Regulator di AS semakin tegas. Federal Reserve akan lebih ketat mengawasi bank yang belum patuh.
  • Biaya kepatuhan bisa meningkat. Bank yang tidak siap bisa menghadapi biaya tambahan untuk memperbaiki sistem mereka.

Tantangan dalam Kepatuhan

  • Manajemen kurang mendukung. Banyak eksekutif belum melihat kepatuhan ini sebagai prioritas utama.
  • Pendekatan terlalu luas. Beberapa bank mencoba menerapkan aturan ini secara menyeluruh tanpa fokus pada hal yang paling penting.
  • Sistem IT belum memadai. Banyak bank masih memakai sistem teknologi lama yang sulit diintegrasikan.

Bagaimana Bank Bisa Sukses Mematuhi Aturan Ini?

  1. Jadikan kepatuhan sebagai bagian dari strategi bisnis. CEO dan tim keuangan serta teknologi harus melihat aturan ini sebagai cara meningkatkan efisiensi, bukan sekadar beban regulasi.
  2. Fokus pada risiko utama dulu. Prioritaskan perbaikan data yang paling berpengaruh pada pengambilan keputusan sebelum merapikan semuanya.
  3. Manfaatkan teknologi. AI dan sistem otomatis bisa membantu memastikan data yang dikumpulkan lebih akurat dan sesuai aturan.
  4. Perbaiki data sejak awal. Pastikan sistem pencatatan data di bank sudah benar sejak awal, sehingga lebih mudah memenuhi standar yang diminta regulator.

Mematuhi BCBS 239 bisa membantu bank mengelola risiko lebih baik dan beroperasi lebih efisien. Dengan strategi yang tepat, kepatuhan terhadap aturan ini bisa menjadi keuntungan, bukan sekadar kewajiban.

Artikel ini telah diterbitkan oleh McKinsey, dengan judul BCBS 239 2.0 Resurgence: Strengthening Risk Management and Decision Making. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Checklist Risk Manager: Pastikan KRIs Tetap Relevan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Di tengah perubahan bisnis yang cepat, Key Risk Indicators (KRIs) harus selalu akurat dan sesuai dengan kondisi terbaru. KRIs yang usang bisa membuat keputusan jadi kurang tepat. Gunakan checklist rekomendasi dari CRMS Indonesia ini untuk memastikan KRIs tetap efektif:

  1. Evaluasi Relevansi
  • Masihkah KRIs sesuai dengan risiko strategis dan operasional?
  • Sudah mencakup risiko baru seperti regulasi, teknologi, atau geopolitik?
  1. Kualitas Data
  • Apakah sumber data terpercaya?
  • Apakah ada jeda waktu yang mempengaruhi keakuratan KRIs?
  1. Performa KRIs
  • Apakah KRIs efektif dalam memprediksi atau mendeteksi risiko?
  • Masihkah ambang batas (threshold) sesuai dengan toleransi risiko?
  1. Teknologi & Monitoring
  • Bisa dipantau otomatis dengan sistem yang ada?
  • Dapat divisualisasikan secara real-time?
  1. Respons terhadap Perubahan
  • Sudah mencerminkan kondisi pasar dan tren eksternal?
  • Mampu mengantisipasi risiko baru yang belum terlihat?
  1. Keterlibatan Tim
  • Apakah tim lintas fungsi ikut berkontribusi dalam menentukan KRIs?
  • Apakah hasilnya dikomunikasikan dengan jelas kepada manajemen?
  1. Pembaruan Berkala
  • Apakah KRIs ditinjau dan diperbarui secara rutin?
  • Sudah diuji dengan skenario terbaru?
  1. Leading vs Lagging Indicators
  • Apakah KRIs cukup untuk mendeteksi risiko lebih awal?
  • Apakah KRIs juga mencerminkan performa masa lalu?
  1. Pelatihan & Dokumentasi
  • Apakah tim memahami cara kerja dan interpretasi KRIs?
  • Apakah ada audit untuk memastikan konsistensi dengan strategi risiko?

Gunakan checklist ini untuk menjaga KRIs tetap relevan dan mendukung keputusan bisnis yang lebih baik!

Artikel ini telah diterbitkan oleh CRMS Indonesia dengan judul Checklist untuk Risk Manager: Memastikan KRIs Tetap Relevan dan Efektif. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Perubahan Regulasi dan Legislasi: Tantangan Besar bagi Bisnis

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Perubahan regulasi dan legislasi adalah salah satu dari lima risiko terbesar yang dihadapi bisnis saat ini dan diperkirakan akan tetap menjadi tantangan utama hingga 2026. Pemerintah atau badan regulator sering kali memperbarui aturan untuk menanggapi isu-isu seperti keselamatan publik, tren pasar, serta tantangan sosial dan lingkungan.

Misalnya, bisnis mungkin perlu berinvestasi dalam teknologi baru atau menambah tenaga kerja untuk memenuhi aturan baru, yang meningkatkan biaya operasional. Dalam beberapa kasus, aturan ini bisa menjadi hambatan bagi pertumbuhan atau mengubah dinamika persaingan di industri tertentu.

Mengapa Perubahan Regulasi Menjadi Risiko Besar?

Aturan baru bisa bersifat spesifik untuk sektor tertentu atau berlaku secara luas. Contohnya:

  • Keamanan Siber: Perusahaan kini harus melaporkan insiden peretasan dan menunjukkan upaya perlindungan data.
  • Privasi Data: Regulasi di Eropa dan berbagai undang-undang di AS menuntut perlindungan ketat terhadap data pribadi.
  • Transparansi Gaji: Regulasi di Eropa dan beberapa negara bagian AS mengharuskan perusahaan mengungkap rentang gaji dalam lowongan kerja.
  • Keberlanjutan dan Iklim: Banyak negara memperkenalkan aturan baru terkait emisi dan keberlanjutan bisnis.
  • Kecerdasan Buatan (AI): Uni Eropa berencana menerapkan denda besar bagi pelanggaran aturan AI.
  • Biometrik: Penggunaan teknologi pengenalan wajah dan sidik jari semakin diatur ketat.

Menurut survei Aon 2023, 26% perusahaan mengalami kerugian akibat perubahan regulasi, dan 50% telah memiliki strategi mitigasi risiko.

Bagaimana Perusahaan Bisa Beradaptasi?

  1. Pantau dan Pahami Regulasi – Bentuk tim internal atau gunakan sistem pemantauan regulasi.
  2. Berkolaborasi dengan Industri – Bergabung dengan asosiasi industri dan kelompok advokasi untuk mempengaruhi kebijakan.
  3. Edukasi Karyawan – Pastikan aturan baru dikomunikasikan dengan jelas untuk mencegah pelanggaran.

Dengan pendekatan yang tepat, perusahaan dapat mengurangi dampak perubahan regulasi dan tetap kompetitif dalam lingkungan bisnis yang terus berkembang.

Artikel ini telah diterbitkan oleh AON dengan judul Regulatory or Legislative Changes. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mengelola Risiko Perilaku: Mengapa Data Penting untuk Membangun Budaya yang Lebih Baik

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Hampir semua lembaga keuangan berkomitmen untuk berlaku adil terhadap pelanggan dan mitra bisnisnya. Namun, masih banyak karyawan yang bingung dengan standar perilaku yang diharapkan perusahaan. Ketidaksesuaian antara perilaku karyawan dan nilai perusahaan ini bisa memicu risiko perilaku yang berpotensi merugikan.

Apa Itu Risiko Perilaku?

Risiko perilaku adalah kemungkinan kerugian yang dialami perusahaan akibat tindakan atau kelalaian karyawan, kontraktor, atau mitra bisnis. Risiko ini dapat muncul di berbagai bagian bisnis, seperti penjualan, transparansi informasi, atau penanganan keluhan pelanggan.

Mengapa Risiko Perilaku Perlu Dikelola?

Gagal mengelola risiko perilaku bisa berdampak besar, seperti denda besar, kehilangan kepercayaan pelanggan, hingga kerusakan reputasi. Setelah krisis keuangan global, regulator di berbagai negara menerapkan aturan ketat untuk mengawasi perilaku perusahaan keuangan, seperti Dodd-Frank Act di AS dan Senior Managers and Certification Regime (SMCR) di Inggris.

Mengukur dan Mengelola Risiko Perilaku dengan Data

Salah satu cara terbaik untuk mengelola risiko ini adalah dengan mengumpulkan dan menganalisis data. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai risiko perilaku meliputi:

  • Keluhan pelanggan
  • Pelanggaran kebijakan internal
  • Pelatihan karyawan yang terlewat
  • Jam kerja berlebihan
  • Laporan transaksi mencurigakan

Dengan mengolah data ini, perusahaan dapat lebih cepat mengidentifikasi masalah sebelum menjadi krisis besar. Salah satu contoh sukses adalah perusahaan jasa keuangan di Eropa yang menggunakan “Protiviti Risk Index” untuk memantau dan mengukur risiko perilaku. Dengan alat ini, mereka bisa lebih proaktif dalam mengambil keputusan dan memperbaiki budaya perusahaan.

Langkah-Langkah untuk Mengelola Risiko Perilaku

Agar pengelolaan risiko perilaku lebih efektif, perusahaan sebaiknya:

  1. Memahami kewajiban kepatuhan di negara tempat beroperasi.
  2. Mengembangkan kebijakan dan prosedur mitigasi risiko.
  3. Memantau metrik risiko secara berkala untuk intervensi cepat.
  4. Melibatkan dewan direksi dan manajemen senior dalam diskusi risiko.
  5. Membangun struktur tata kelola yang fokus pada risiko perilaku.

Mengelola risiko perilaku dapat membangun budaya perusahaan yang sehat. Dengan data yang tepat dan alat pengukuran yang efektif, perusahaan dapat mencegah pelanggaran dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan, etis, dan berkelanjutan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Protiviti dengan judul Managing Conduct Risk: How Aggregating and Assessing Data Can Drive Culture-Changing Decisions. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Risiko Global 2025: Dunia Semakin Tidak Stabil

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Laporan Risiko Global 2025 mengungkap bahwa dunia menghadapi berbagai tantangan besar dalam jangka pendek hingga panjang. Dari konflik geopolitik hingga perubahan iklim, tren ini memicu ketidakpastian dan perpecahan sosial.

Risiko Utama di Tahun 2025

  1. Konflik Bersenjata
    • Ketegangan di Ukraina, Timur Tengah, dan potensi konflik terkait Taiwan semakin meningkat.
    • Konflik ini menjadi ancaman terbesar bagi stabilitas global.
  2. Cuaca Ekstrem
    • Perubahan iklim menyebabkan lebih banyak banjir, badai, dan kebakaran hutan.
    • Contoh nyata adalah gelombang panas di Asia dan kebakaran besar di Kanada.
  3. Disinformasi dan Polarisasi Sosial
    • Teknologi AI generatif mempercepat penyebaran berita palsu.
    • Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan institusi semakin meningkat.
  4. Ketimpangan Ekonomi
    • Perbedaan kekayaan yang tajam memperburuk ketegangan sosial.
    • Masyarakat semakin terpecah akibat kesenjangan ekonomi.
  5. Kemerosotan Ekonomi
    • Risiko resesi global terus mengancam, terutama bagi generasi muda.
    • Ketidakpastian ekonomi membuat kehidupan semakin sulit.

Dampak Besar pada Stabilitas Global

  • Konflik bersenjata dan ketegangan geopolitik semakin mendominasi dunia.
  • Krisis biaya hidup dan ketidakpuasan sosial meningkat di banyak negara.
  • Multilateralisme melemah, negara-negara lebih mengutamakan kepentingan sendiri.

Menuju 2027: Apa yang Akan Terjadi?

  1. Disinformasi makin berbahaya dengan AI yang semakin canggih.
  2. Polusi dan dampak lingkungan makin parah, mengancam kesehatan global.
  3. Ketegangan ekonomi meningkat, terutama dalam perang dagang dan kontrol sumber daya strategis.

Risiko Global 2035: Titik Kritis

  1. Dunia semakin terpecah secara politik, ekonomi, dan sosial.
  2. Polusi mencapai titik kritis, mengancam kesehatan dan ekosistem.
  3. Teknologi bioteknologi bisa disalahgunakan jika tidak diatur dengan baik.
  4. Masyarakat menua, menyebabkan krisis tenaga kerja dan ekonomi.

Dunia sedang berada di persimpangan besar. Jika tidak ada upaya serius dalam mengelola risiko global, maka masa depan akan semakin penuh ketidakpastian. Para pemimpin dunia perlu bekerja sama untuk menyelesaikan konflik dan menjaga keberlanjutan bumi dan kesejahteraan manusia.

Artikel ini telah diterbitkan oleh World Economic Forum dengan judul The Global Risks Report 2025. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mengapa Ekuitas Swasta Membutuhkan Manajemen Risiko yang Lebih Baik

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Regulator di Uni Eropa dan Inggris semakin menyoroti manajemen risiko perbankan terkait eksposur mereka terhadap ekuitas swasta. Bank memiliki berbagai hubungan dengan sektor ini, mulai dari memberikan pinjaman untuk akuisisi hingga mendanai perusahaan yang dimiliki dana ekuitas swasta. Oleh karena itu, transparansi dalam manajemen risiko menjadi semakin penting.

Peningkatan Pengawasan Regulasi

Regulator menekankan perlunya praktik manajemen risiko yang lebih baik dalam ekuitas swasta. Sementara itu, Bank Sentral Eropa mengidentifikasi pertumbuhan pesat lembaga keuangan non-bank sebagai ancaman stabilitas finansial.

Risiko Akibat Manajemen yang Buruk

Tanpa manajemen risiko yang memadai, ekuitas swasta menghadapi berbagai ancaman, termasuk:

  • Serangan siber yang dapat menyebabkan kerugian finansial dan reputasi.
  • Kesalahan investasi yang berujung pada biaya yang bisa dihindari.
  • Penurunan valuasi akibat kurangnya transparansi risiko dan potensi sanksi regulator.

Prioritas Manajemen Risiko

Untuk memperkuat manajemen risiko, ekuitas swasta perlu:

  1. Membangun kerangka manajemen risiko terpusat untuk seluruh portofolio.
  2. Mengembangkan strategi manajemen krisis agar dapat merespons situasi darurat dengan cepat.
  3. Menerapkan strategi lindung nilai makroekonomi guna menghadapi risiko inflasi dan suku bunga.
  4. Melakukan evaluasi risiko strategis dalam setiap keputusan investasi.

Menuju Masa Depan yang Lebih Tangguh

Meningkatnya pengawasan regulator menjadi dorongan bagi ekuitas swasta untuk meningkatkan transparansi dan ketahanan mereka. Dengan strategi manajemen risiko yang lebih baik, mereka dapat mengamankan pendanaan sekaligus melindungi kinerja keuangan dan reputasi mereka dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Oliver Wyman dengan judul Why Private Equity Needs Better Risk Management Now. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |
Go to Top