Artikel

Artikel2021-01-27T19:01:07+07:00

Bagaimana Artificial Intelligence (AI) Membantu Pengelolaan Dana Organisasi Nirlaba?

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Organisasi nirlaba bertujuan memberi dampak positif bagi masyarakat dengan mengelola dana publik secara bertanggung jawab. Tantangan utama yang dihadapi adalah memastikan dana digunakan sesuai tujuan, yang membutuhkan manajemen risiko yang efektif.

Peran AI dalam Mengelola Dana
Teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) membantu organisasi nirlaba dengan:

  1. Otomatisasi Pembukuan: Mempermudah pencatatan keuangan secara real-time, mengurangi risiko kesalahan administrasi.
  2. Analisis Tren: AI dapat memprediksi pendapatan donasi dan alokasi dana sosial lebih efektif.
  3. Deteksi Penyalahgunaan Dana: Algoritma AI memantau transaksi keuangan untuk mencegah penyalahgunaan.
  4. Pemantauan Proyek: Mengawasi progres proyek sosial dan menganalisis dampak kegiatan.
  5. Hubungan Donatur: Chatbots mempermudah komunikasi dan menjaga keterlibatan donatur.

Kendala Digitalisasi
Meski potensial, adopsi AI di organisasi nirlaba sering terkendala:

  • Kurangnya Literasi Digital: Banyak pengurus adalah generasi tua atau sukarelawan tanpa keahlian teknologi.
  • Infrastruktur Terbatas: Keterbatasan akses internet di beberapa wilayah.

Menurut survei NetChange, hanya 11% organisasi nirlaba yang aktif menggunakan teknologi digital. Untuk mengatasi ini, peningkatan kapasitas SDM dan infrastruktur menjadi prioritas.

Penggunaan AI meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi nirlaba. Dengan pengelolaan dana yang lebih baik, organisasi dapat menyalurkan bantuan secara tepat sasaran dan memperbesar dampak sosial.

Artikel ini telah diterbitkan oleh CRMS, dengan judul Bagaimana Artificial Intelligence (AI) Mengidentifikasi Risiko Pengelolaan Dana Organisasi Nirlaba?. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mengukur Risiko Geopolitik: Apa, Bagaimana, Seberapa Besar, dan Seberapa Mungkin

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Mengelola risiko geopolitik adalah keahlian yang semakin penting bagi manajer risiko. Dalam dunia yang penuh dengan tantangan global, pemahaman mendalam tentang definisi, klasifikasi, serta cara pengukuran risiko ini menjadi kunci. Artikel ini membahas konsep dasar risiko geopolitik, bagaimana mengukur dan mengelolanya, serta memberikan contoh nyata dari konflik Israel-Hamas.

Apa Itu Risiko Geopolitik?

Risiko geopolitik mengacu pada pengaruh hubungan kekuatan antarnegara yang dipengaruhi oleh faktor geografis. Menurut Encyclopedia Britannica, geopolitik melibatkan analisis hubungan kekuatan berdasarkan faktor geografis. Risiko ini mencakup peristiwa yang dapat berdampak negatif terhadap ekonomi global, populasi, atau sumber daya alam.

Jenis Risiko Geopolitik

  • Risiko Jangka Pendek dan Menengah: Dipengaruhi oleh tren global, seperti krisis utang negara berkembang pada 1980-an atau pandemi COVID-19.
  • Risiko Berulang vs. Satu Kali: Ada risiko yang bersifat berkelanjutan (misalnya, ketegangan geopolitik di Timur Tengah) dan risiko yang tiba-tiba (misalnya, serangan mendadak).

Cara Mengukur Risiko Geopolitik

Mengukur risiko geopolitik melibatkan skenario probabilistik. Donald Rumsfeld menggambarkan ini sebagai “hal yang diketahui, hal yang tidak diketahui, dan hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu.”

Pendekatan Utama

  1. Pendekatan Kuantitatif
    • Membuat indeks risiko, seperti Geopolitical Risk Indicator (BGPRI) dari BlackRock, yang menghitung frekuensi penyebutan risiko dalam laporan keuangan.
    • Pendekatan text-mining untuk menganalisis berita dan artikel.
  2. Pendekatan Naratif
    • Membangun skenario berdasarkan wawasan ahli, seperti yang dilakukan McKinsey.
    • Survei opini pakar, seperti Global Risk Perceptions Survey dari World Economic Forum.

Alat Pengukuran

  • Matriks risiko yang mencakup:
    • Narasi Latar Belakang
    • Jangka Waktu (pendek, menengah, panjang)
    • Indikator Risiko
    • Kemungkinan Terjadinya
    • Dampak Risiko

Mengelola Risiko Geopolitik

Manajemen risiko geopolitik membutuhkan:

  • Pemahaman Sejarah: Peristiwa sejarah dan budaya suatu wilayah membantu memahami motivasi aktor utama.
  • Kapasitas untuk Mengantisipasi: Mengembangkan skenario terbaik, kemungkinan besar, dan terburuk untuk mempersiapkan respons yang fleksibel.

Faktor Tak Terduga
Risiko sering kali berkembang perlahan sebelum memuncak. Analisis berkelanjutan diperlukan untuk memantau tanda-tanda awal perubahan risiko.

Studi Kasus: Konflik Israel-Hamas

Apa: Konflik ini melibatkan aktor regional seperti Iran dan Qatar, serta global seperti Amerika Serikat. Iran memainkan peran penting melalui dukungannya terhadap kelompok seperti Hamas.

Bagaimana: Dampak makroekonomi termasuk lonjakan harga minyak dan gangguan rantai pasok global. Dampak mikroekonomi mencakup peningkatan biaya logistik dan hilangnya akses pasar.

Seberapa Besar: Gangguan pengiriman di Laut Merah telah meningkatkan biaya pengiriman, tetapi pasar minyak tetap relatif stabil karena pasokan yang cukup.

Seberapa Mungkin: Eskalasi konflik besar memiliki risiko rendah (10–20%), tetapi resolusi damai tetap tidak pasti.

Tahun 2024 diprediksi penuh gejolak, dengan risiko geopolitik seperti ketegangan di Timur Tengah dan siklus pemilu global. Ketahanan dan perencanaan kontingensi menjadi elemen kunci dalam menghadapi risiko yang berkembang perlahan dan yang muncul tiba-tiba.

Dengan pemahaman yang tepat, pemangku kepentingan dapat mengidentifikasi risiko geopolitik lebih awal dan merespons dengan strategi yang tepat.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul Measuring Geopolitical Risk: The What, How, How Much and How Likely.

By |

Mengapa Kebijakan Wajib Kembali ke Kantor Berisiko Tinggi?

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Kebijakan wajib kembali ke kantor (Return-to-Office/RTO) semakin banyak diterapkan oleh organisasi. Namun, riset menunjukkan bahwa kebijakan ini memiliki lebih banyak risiko daripada manfaat, terutama bagi retensi karyawan dan keseimbangan kerja-kehidupan (work-life balance).

Risiko dan Konflik Return-to-Office

Dalam 12 bulan terakhir, 63% pemimpin SDM melaporkan peningkatan ekspektasi untuk kembali ke kantor. Namun, 74% menyatakan kebijakan ini menimbulkan konflik dalam kepemimpinan.

Dampak Negatif

  • Ketidakseimbangan Kerja-Kehidupan: Salah satu dari lima alasan utama karyawan berhenti bekerja.
  • Turunnya Loyalitas: Karyawan di organisasi dengan kebijakan RTO melaporkan niat bertahan yang lebih rendah dibandingkan organisasi tanpa kebijakan serupa.

Siapa yang Paling Berisiko?

  • Karyawan berkinerja tinggi, perempuan, dan milenial adalah kelompok yang paling rentan.
  • Mereka menganggap RTO sebagai bentuk ketidakpercayaan dari manajemen, terutama jika performa mereka tetap tinggi selama bekerja jarak jauh.

Manfaat RTO: Ada, Tapi Terbatas

Beberapa manfaat RTO antara lain:

  • Pengawasan Lebih Dekat: Karyawan cenderung bekerja lebih giat saat di kantor.
  • Kolaborasi Langsung: Kedekatan fisik mempermudah kerja sama antar tim.
  • Kenyamanan bagi Manajer: Manajer merasa lebih akrab dengan tim dan lebih mudah memantau pekerjaan.

Namun, manfaat ini tidak sebanding dengan dampak negatif pada retensi dan keterlibatan karyawan.

Pendekatan Fleksibel Lebih Efektif

Model kerja hybrid yang fleksibel menghasilkan hasil yang lebih positif daripada pendekatan seragam.

Rekomendasi:

  1. Fokus pada Aktivitas Tertentu: Dorong kehadiran untuk kegiatan tertentu seperti sesi brainstorming atau acara khusus.
  2. Libatkan Karyawan: Beri mereka ruang untuk ikut membentuk kebijakan kerja hybrid.
  3. Jelaskan Alasan: Kebijakan dengan alasan yang jelas meningkatkan keterlibatan dan loyalitas karyawan.

Pendekatan wajib kembali ke kantor dapat merusak strategi talenta jangka panjang. Fleksibilitas dan keterlibatan karyawan adalah kunci untuk mencapai keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan kerja.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Gartner, dengan judul The Data Is In: Return-to-Office Mandates Aren’t Worth the Talent Risks. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Manajemen Risiko Alam: Mengukur Ketergantungan dan Dampak Kehilangan Keanekaragaman Hayati

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Kesadaran akan pentingnya pengelolaan risiko terkait alam semakin meningkat, terutama setelah disepakatinya Global Biodiversity Framework (GBF) oleh PBB pada Desember 2022. GBF, yang merupakan versi keanekaragaman hayati dari Paris Agreement, memberikan panduan untuk melindungi alam dan mengatasi kehilangan keanekaragaman hayati.

GBF menetapkan target ambisius untuk dicapai pada 2030, di antaranya:

  1. Melindungi 30% daratan, lautan, dan perairan global (30 by 30).
  2. Mengurangi subsidi merugikan lingkungan hingga USD 500 miliar per tahun.
  3. Memangkas setengah dari limbah makanan global.

Langkah ini mendorong lahirnya Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD), yang mirip dengan Taskforce on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). TNFD bertujuan membantu perusahaan memahami dan melaporkan risiko terkait alam, dengan harapan dapat diintegrasikan ke dalam standar akuntansi internasional.

Laporan World Economic Forum mengungkapkan bahwa lebih dari setengah PDB global bergantung pada aset alam dan layanan ekosistem, baik secara langsung maupun melalui rantai pasok. Ketergantungan ini membuat bisnis rentan terhadap risiko kehilangan alam.

Bank Dunia menemukan bahwa kerusakan pada kehutanan, penyerbukan, dan perikanan dapat secara signifikan mengurangi PDB di wilayah dengan populasi besar. Misalnya:

  • Industri di Brasil dan Malaysia menunjukkan ketergantungan tinggi pada layanan ekosistem.
  • Sektor pertahanan dan administrasi publik di Inggris sangat bergantung pada stabilisasi ekosistem.

Mengelola Risiko Keanekaragaman Hayati

Beberapa lembaga keuangan telah memulai analisis ketergantungan mereka pada alam, termasuk:

  • Norinchukin Bank: Menganalisis sektor industri yang bergantung pada layanan ekosistem spesifik.
  • TD Bank: Melakukan analisis mendalam untuk klien agrikulturnya.
  • Robeco: Mengevaluasi eksposur investasi terhadap sektor yang berdampak tinggi pada keanekaragaman hayati.

Alat dan Kerangka Kerja
Kerangka kerja seperti ENCORE dan TNFD’s LEAP membantu perusahaan:

  1. Mengidentifikasi ketergantungan pada alam.
  2. Mengevaluasi dampak dan risiko terkait alam.
  3. Merencanakan respons dan melaporkan risiko.

Dengan lebih dari separuh ekonomi dunia bergantung pada alam, risiko kehilangan keanekaragaman hayati tidak bisa diabaikan. Lembaga keuangan perlu memahami hubungan portofolio mereka dengan alam untuk memitigasi dampak negatif. Dengan mengadopsi pendekatan seperti TNFD, organisasi dapat mengambil langkah proaktif untuk mengelola risiko alam dan memastikan keberlanjutan jangka panjang.

Artikel ini telah diterbitkan oleh GARP, dengan judul Nature Risk Measurement Is Evolving. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mengintegrasikan Risiko Iklim dalam Framework Basel

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Risiko iklim kini tidak hanya terkait dengan naiknya suhu lautan tetapi juga berdampak signifikan pada berbagai jenis risiko tradisional di sektor perbankan, seperti kredit, pasar, dan operasional. Risiko iklim terintegrasi melalui tiga pilar Framework Basel dan dampaknya pada modal minimum, tata kelola, serta transparansi bank.

Kerangka Basel dan Risiko Iklim
Framework Basel, yang dikembangkan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), terdiri dari tiga pilar:

  1. Pilar 1: Persyaratan modal minimum, termasuk manajemen risiko kredit, pasar, dan operasional.
  2. Pilar 2: Proses peninjauan pengawasan, mencakup tata kelola risiko dan kebijakan manajemen.
  3. Pilar 3: Transparansi dan disiplin pasar melalui laporan risiko.

Risiko iklim memengaruhi semua pilar ini dengan memunculkan kebutuhan akan pendekatan baru dalam pengelolaan risiko.

Jenis Risiko Iklim

  1. Risiko Fisik: Dampak langsung dari fenomena seperti banjir atau kenaikan permukaan laut, yang dapat bersifat akut (kejadian mendadak) atau kronis (jangka panjang).
  2. Risiko Transisi: Tantangan dalam beralih ke model bisnis ramah lingkungan, seperti perubahan kebijakan, adopsi teknologi baru, dan perubahan pasar.

Dampak pada Pilar 1

  • Risiko Kredit: Risiko gagal bayar nasabah meningkat akibat perubahan iklim. Bank perlu mengintegrasikan penilaian risiko iklim ke skor kredit internal dan eksternal berbasis ESG.
  • Risiko Pasar: Perubahan kondisi pasar akibat risiko iklim harus dimasukkan ke dalam model stress testing untuk mengevaluasi dampaknya pada portofolio investasi.
  • Risiko Operasional: Risiko hukum dan reputasi dapat muncul akibat kegagalan mematuhi kebijakan keberlanjutan, serta kerusakan aset fisik akibat bencana.

Dampak pada Pilar 2
Bank perlu menyelaraskan tata kelola dengan risiko iklim, termasuk pembentukan komite keberlanjutan dan pengangkatan Chief Sustainability Officer (CSO). Dokumen Risk Appetite harus mencakup pengukuran data seperti emisi karbon dan potensi pemanasan portofolio. Selain itu, analisis skenario risiko iklim perlu dikembangkan untuk memastikan kesiapan menghadapi berbagai kemungkinan.

Dampak pada Pilar 3
Pilar ini mendorong bank untuk melaporkan risiko keberlanjutan kepada pemangku kepentingan. Standar seperti Task Force on Climate-Related Financial Disclosures (TCFD) dan Global Reporting Initiative (GRI) menjadi panduan dalam pelaporan risiko iklim.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul How will Climate Risk Change The Basel Framework and Bank Risk Management Practices?

By |

Menghadapi Risiko dalam Rantai Pasok Elektronik

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Pandemi COVID-19 dan perubahan geopolitik telah mengekspos kerentanan besar dalam rantai pasok elektronik, khususnya semikonduktor. Dengan dampak seperti kekurangan chip global yang merugikan ekonomi AS sebesar $240 miliar pada 2021, perusahaan elektronik kini menghadapi risiko besar terkait geopolitik, keamanan informasi, ESG, dan keuangan.

Kerentanan Utama dalam Rantai Pasok Elektronik

  1. Ketergantungan Geografis

Rantai pasok elektronik sangat terpusat di Asia Timur, dengan Taiwan, China, dan Korea Selatan menguasai 60% kapasitas fabrikasi semikonduktor global. Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) bahkan memproduksi 90% chip paling canggih di dunia. Ketergantungan ini menciptakan risiko besar akibat potensi gangguan geopolitik, bencana alam, dan pembatasan perdagangan.

  1. Risiko Informasi dan Keamanan

Industri elektronik menjadi target utama serangan siber, seperti ransomware yang menyerang perusahaan besar termasuk Samsung dan NVIDIA pada 2022. Perlindungan data dan IP sangat penting untuk menjaga keunggulan kompetitif.

  1. Risiko Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG)

Produksi elektronik, terutama semikonduktor, menghadapi kritik atas konsumsi air tinggi, polusi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Tekanan investor dan regulasi ESG semakin menuntut transparansi dan keberlanjutan.

Strategi untuk Membangun Ketahanan Rantai Pasok

Perusahaan elektronik harus mengambil langkah proaktif untuk mengurangi risiko. Berikut adalah beberapa pendekatan:

  1. Diversifikasi Basis Pemasok

Mengandalkan pemasok alternatif dengan profil risiko berbeda dapat mengurangi kerentanan terhadap gangguan tunggal.

  1. Desain Modular dan Platform

Pendekatan ini memungkinkan penggantian komponen dan pemasok dengan mudah. Contohnya, Tesla memodifikasi perangkat lunaknya agar sesuai dengan chip yang tersedia selama kekurangan chip pada 2021.

  1. Kolaborasi Perencanaan Permintaan

Perencanaan bersama dengan pemasok membantu menyesuaikan produksi dengan fluktuasi pasar, mengurangi risiko inventaris berlebih atau kekurangan.

  1. Evaluasi Dampak Keuangan

Analisis mendalam tentang dampak finansial dari tantangan rantai pasok memungkinkan perusahaan memprioritaskan produk dan pemasok strategis.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Kearney, dengan judul Unveiling The Vulnerabilities: Unpacking Risks in The Electronics Supply Chain. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Peningkatan Kematangan Manajemen Risiko Digital

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Pada 16 Juli 2024, sebuah survei yang dilakukan oleh Audit Board mengungkapkan bahwa organisasi kini semakin mengakui pentingnya strategi digital yang canggih untuk melawan ancaman digital. Sekitar 65 persen dari responden melaporkan bahwa mereka telah berada dalam tahap kematangan manajemen risiko digital yang maju. Hal ini mencakup upaya mitigasi yang aktif dan pemantauan risiko digital secara berkelanjutan.

Angka ini meningkat pesat dibandingkan 26 persen pada 2023, berkat beberapa faktor. Salah satunya, 59 persen organisasi menganggap metrik risiko digital mereka sangat efektif, terutama dalam pengambilan keputusan. Selain itu, organisasi dengan kolaborasi antar departemen yang kuat melaporkan manajemen risiko dan pemantauan pihak ketiga lebih efektif. Kematangan manajemen risiko digital berkontribusi pada peningkatan efektivitas di berbagai area.

Integrasi Kerangka Manajemen Risiko Perusahaan

Sekitar 52 persen organisasi mengungkapkan bahwa mereka telah mengintegrasikan manajemen risiko digital ke dalam kerangka manajemen risiko perusahaan (Enterprise Risk Management/ERM). Kelompok ini melaporkan metrik yang lebih efektif, pemantauan pihak ketiga yang lebih maju, dan kolaborasi yang lebih kuat antar fungsi yang bekerja bersama dalam menangani risiko digital.

Laporan tersebut menyatakan, “Mengintegrasikan manajemen risiko digital ke dalam kerangka ERM yang lebih luas dapat meningkatkan strategi manajemen risiko digital secara signifikan.” Integrasi ini memastikan adanya keselarasan di seluruh perusahaan, menghasilkan strategi risiko yang lebih komprehensif dan kohesif. Kolaborasi yang kuat antar departemen sangat penting, karena dapat menghilangkan hambatan antar fungsi dan mendorong pendekatan yang lebih terpadu dalam mengelola risiko digital.

Banyak organisasi melaporkan bahwa mereka telah memperoleh manfaat dari solusi berbasis cloud untuk membantu mengelola risiko digital dan menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan kemampuan manajemen risiko mereka secara signifikan—terutama dalam mengotomatisasi respons dan meningkatkan deteksi ancaman.

“Lebih dari separuh organisasi besar yang disurvei menggunakan AI untuk meningkatkan produktivitas tim dan memperbaiki deteksi ancaman demi memperkuat posisi mereka dalam manajemen risiko digital,” kata laporan tersebut. “Hampir setengah dari mereka juga menggunakannya dalam pelaporan dan mengotomatisasi rencana tindakan serta respons.”

Namun, penggunaan AI memerlukan keseimbangan antara potensi risiko dan keuntungan. Sebagian besar organisasi (78 persen) melaporkan bahwa mereka telah mengidentifikasi dan melacak AI sebagai risiko teknologi yang sedang berkembang. Selain itu, implementasi kerangka kerja untuk penggunaan AI yang bertanggung jawab juga dianggap sangat penting.

Artikel ini telah diterbitkan oleh IRM, dengan judul Digital Risk Management Maturity Increases. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mencegah Kegagalan Bank dengan Uji Stres yang Lebih Efektif

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Uji stres perbankan dirancang untuk mengukur ketahanan bank terhadap kondisi ekonomi ekstrem. Namun, metode yang digunakan sekarang sering kali ketinggalan zaman dan terlalu umum. Banyak uji stres gagal mempertimbangkan risiko spesifik, seperti inflasi tinggi atau penurunan nilai properti komersial, terutama di bank regional yang lebih rentan.

Sebagai contoh, bank-bank besar di Amerika Serikat berhasil lolos dari uji stres berat selama 15 tahun terakhir. Tetapi, kegagalan beberapa bank regional pada tahun 2023 menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak cukup untuk mengatasi risiko di semua jenis bank.

Solusi: Pendekatan Dinamis dan Personalisasi

Untuk mencegah kegagalan di masa depan, uji stres perlu lebih dinamis. Artinya, skenario yang digunakan harus lebih spesifik untuk setiap bank, berdasarkan ukuran, lokasi, dan model bisnisnya. Hal ini juga harus mencakup bank kecil, yang selama ini jarang dijangkau oleh regulasi ketat.

Contoh Pertanyaan Penting yang Harus Dijawab:

  • Untuk Bank:
    • Risiko apa yang paling relevan dengan bisnis Anda?
    • Bagaimana dampak inflasi dan suku bunga tinggi terhadap operasional Anda?
    • Langkah apa yang bisa diambil untuk mengatasi potensi krisis likuiditas?
  • Untuk Pengawas:
    • Bagaimana memastikan uji stres mencerminkan risiko spesifik bank kecil?
    • Apa saja tanda-tanda awal kegagalan bank yang harus diawasi?

Studi Kasus: Uji Stres Dinamis

Pendekatan dinamis menggunakan data spesifik bank untuk memprediksi dampaknya terhadap skenario ekonomi yang berbeda. Misalnya, dengan teknik machine learning, analisis ini bisa mengidentifikasi kelemahan dalam neraca bank dan memberikan strategi mitigasi yang diperlukan.

Temuan Utama:

  • Bank dengan risiko struktural tinggi tetap rentan, meskipun kondisi ekonomi stabil.
  • Risiko likuiditas meningkat jika simpanan jangka pendek melonjak atau tingkat bunga jangka pendek lebih tinggi dari jangka panjang.
  • Risiko kredit lebih tinggi dalam kondisi resesi, terutama dengan peningkatan pengangguran dan pelebaran penyebaran kredit.

Dengan uji stres yang lebih proaktif, bank dan pengawas dapat:

  1. Mengidentifikasi risiko lebih awal untuk menghindari krisis.
  2. Merancang langkah mitigasi yang sesuai dengan risiko spesifik.
  3. Meningkatkan ketahanan terhadap guncangan ekonomi.

Pendekatan uji stres yang lebih personal dan dinamis dapat membantu bank dan pengawasnya menghadapi ketidakpastian pasar. Dengan ini, sistem keuangan menjadi lebih stabil, dan risiko kegagalan bank di masa depan dapat diminimalkan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh GARP, dengan judul The Stress Testing Road Ahead: How to Prevent Future Bank Failures. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Mengurangi Risiko Penipuan Internal di Sektor Perbankan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Penipuan, terutama yang dilakukan oleh karyawan internal, tetap menjadi tantangan besar dalam sektor perbankan dan berisiko mengancam profitabilitas dan kelangsungan hidup bank. Skandal-skandal perbankan sebelumnya menunjukkan pentingnya pengelolaan risiko penipuan yang tepat. Penipuan dianggap sebagai risiko tinggi dengan kemungkinan rendah, tapi banyak bank gagal mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mencegahnya.

Untuk mengatasi penipuan, bank perlu membangun kerangka manajemen risiko yang komprehensif, yang meliputi:

  1. Mendirikan Struktur Tata Kelola: Unit anti-penipuan yang khusus harus mengawasi semua aktivitas yang terkait dengan penipuan, mempromosikan perilaku etis, dan memastikan tata kelola perusahaan yang efektif.
  2. Mengembangkan Strategi Anti-Penipuan: Strategi ini harus fokus pada pencegahan, deteksi, respons, dan pemantauan, dengan alokasi sumber daya berdasarkan profil risiko penipuan bank.
  3. Pemantauan Risiko Secara Berkala: Analisis data secara teratur untuk melacak tren penipuan dan mengevaluasi efektivitas pengendalian. Harapannya, pendekatan ini beradaptasi dengan faktor risiko internal dan eksternal.

Pandemi COVID-19 meningkatkan tantangan ini, karena gangguan ekonomi dan rantai pasokan meningkatkan potensi penipuan oleh karyawan. Oleh karena itu, bank harus memperbaiki struktur tata kelola, komunikasi, dan memanfaatkan teknologi untuk mendeteksi penipuan.

Meskipun ada upaya terbaik, penipuan masih bisa terjadi jika strategi tidak dijalankan dengan jelas dan efektif. Skandal besar sebelumnya menunjukkan pentingnya transparansi dan pengawasan yang cukup.

Penipuan internal mengancam stabilitas finansial bank, sehingga dibutuhkan kerangka manajemen risiko yang dinamis dan berkelanjutan. Selain itu, kepemimpinan yang kuat dan transparansi juga dibutuhkan untuk mencegah penipuan dan menjaga kelangsungan hidup bank.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul Fraud: The Gift That Keeps on Giving.

By |

Strategi Manajer Aset dalam Mengelola Risiko dengan Lebih Aktif

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Seiring dengan meningkatnya tekanan regulasi di seluruh dunia, manajer aset dan perusahaan dana pensiun dituntut untuk lebih proaktif dalam mengelola risiko investasi. Regulasi yang semakin ketat di Amerika Serikat dan Eropa bertujuan untuk melindungi investor dan mengurangi intervensi pemerintah. Namun, tantangan besar muncul bagi manajer aset yang harus menjaga efisiensi di departemen risiko yang terbatas sumber daya.

Untuk menghadapi tantangan ini, berikut langkah-langkah yang dapat diambil oleh manajer aset dalam mengelola risiko secara lebih aktif tanpa menambah biaya operasional:

  1. Penilaian Diri dan Penentuan Sasaran
    Lakukan analisis waktu untuk mengevaluasi alokasi sumber daya di tim risiko. Ini membantu mengidentifikasi area yang membutuhkan perbaikan dan memastikan sumber daya dialokasikan dengan lebih efisien.
  2. Kolaborasi dan Pembagian Sumber Daya Analis
    Tingkatkan kolaborasi antar tim dan manfaatkan sumber daya analis untuk mengawasi berbagai kelas aset, bukan hanya satu jenis aset tertentu.
  3. Alihkan Tugas ke Departemen Lain
    Pertimbangkan untuk memindahkan beberapa tugas risiko ke departemen lain yang lebih relevan, seperti tim produk atau tim portofolio, untuk meningkatkan fokus tim risiko pada tugas utama.
  4. Optimalkan Penggunaan Data dan Teknologi
    Gunakan teknologi, seperti AI, untuk mengotomatisasi pengelolaan data dan pemantauan pasar secara real-time. AI juga dapat memberikan peringatan dini mengenai penyimpangan portofolio dan risiko baru.
  5. Sentralisasi Teknologi Informasi
    Untuk menghindari inefisiensi akibat tim teknologi yang terpisah-pisah, perusahaan harus mempertimbangkan untuk sentralisasi tim TI global yang bertanggung jawab atas platform teknologi risiko. Ini akan memastikan bahwa sistem yang digunakan sudah terintegrasi dengan baik dan sesuai dengan tujuan strategis perusahaan.

Dengan langkah-langkah ini, manajer aset dapat menghadapi ketatnya regulasi dengan lebih efisien, sambil memastikan kerangka kerja risiko yang tangguh dan responsif terhadap perubahan pasar.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Kearney, dengan judul A More Active Approach to investment Risk Management. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |
Go to Top