Artikel

Artikel2021-01-27T19:01:07+07:00

Risk Scoring dengan AI: Membuat Penilaian Risiko Jadi Lebih Mudah

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Menilai risiko itu penting, tapi juga menantang, apalagi di dunia bisnis yang serba cepat seperti sekarang. Untungnya, kecerdasan buatan (AI) bisa membantu menyederhanakan proses ini lewat metode risk scoring yang lebih cepat dan akurat. Dengan AI, perusahaan bisa menilai risiko secara otomatis, mengurangi bias manusia, dan membuat keputusan berbasis data dengan lebih cepat.

Apa Itu Risk Scoring?

Risk scoring adalah proses memberikan skor pada sebuah risiko berdasarkan kriteria tertentu. Skor ini membantu menentukan apakah risikonya rendah, sedang, atau tinggi. Dulu, penilaian ini banyak dilakukan secara manual dan sering kali subjektif. Tapi sekarang, berkat AI, prosesnya jadi lebih sistematis dan objektif.

Bagaimana AI Membantu Risk Scoring?

  • Analisis Data Lebih Cepat
    AI bisa memproses data dalam jumlah besar dalam waktu singkat, menemukan pola-pola risiko yang mungkin terlewat dalam analisis manual. 
  • Mengurangi Bias
    Karena berdasarkan data dan algoritma, AI membantu mengurangi penilaian yang terlalu subjektif. 
  • Prediksi Risiko
    Dengan machine learning, AI bisa belajar dari data masa lalu untuk memprediksi risiko di masa depan, sehingga perusahaan bisa mencegah masalah lebih awal. 
  • Otomatisasi Proses
    Banyak pekerjaan yang sebelumnya harus dilakukan manual kini bisa diotomatisasi, menghemat waktu dan tenaga. 

Penggunaan AI untuk Risk Scoring di Berbagai Sektor

  • Keuangan: Menilai risiko kredit, mendeteksi penipuan, dan membantu keputusan pemberian pinjaman. 
  • Keamanan Siber: Mendeteksi serangan atau aktivitas mencurigakan secara real-time
  • Rantai Pasok: Mengidentifikasi risiko operasional dan logistik lebih awal. 
  • Kesehatan: Menilai risiko pasien berdasarkan data medis untuk memberikan perawatan yang lebih baik. 

Tantangan dalam Menggunakan AI untuk Risk Scoring

Meski banyak keuntungannya, penggunaan AI juga punya tantangan, seperti:

  • Kualitas Data: AI butuh data yang akurat. Data yang salah bisa menghasilkan analisis yang keliru. 
  • Regulasi: Penggunaan AI harus mematuhi aturan yang berlaku agar hasilnya adil dan transparan. 
  • Privasi Data: Data sensitif harus dijaga keamanannya agar tidak disalahgunakan. 

AI membuat risk assessment lebih cepat, akurat, dan objektif. Tapi sebelum menerapkannya, perusahaan harus memastikan kualitas data, kepatuhan regulasi, dan keamanan informasi sudah terjamin. Dengan strategi yang tepat, AI bisa menjadi alat yang sangat membantu untuk memperkuat ketahanan bisnis di masa depan.

Artikel ini telah diterbitkan oleh CRMS Indonesia, dengan judul Risk Scoring dengan AI: Menyederhanakan Kompleksitas Risk Assessment. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Sustainable Aviation Fuel (SAF): Saatnya Terbang Lebih Cepat Menuju Masa Depan Hijau

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Sustainable Aviation Fuel (SAF) memiliki potensi besar untuk membantu industri penerbangan komersial mencapai target dekarbonisasi. Namun, sayangnya, kecepatan adopsinya masih jauh dari harapan untuk mencapai target 2030. Ini menjadi perhatian utama setelah Boston Consulting Group (BCG) mensurvei lebih dari 500 eksekutif di seluruh ekosistem penerbangan global.

Pertumbuhan Pesat, Tapi Masih Kurang

Dalam tiga tahun terakhir, produksi SAF melonjak 1.150%. Namun, ini terjadi dari basis yang sangat kecil — pada 2024, SAF baru menyumbang 0,3% dari total produksi bahan bakar jet dunia. Bahkan, proyek pembangunan fasilitas baru mengalami penurunan 50%–70% antara 2022–2023 akibat ketidakpastian ekonomi dan tingginya biaya energi.

Ada dua jenis SAF utama:

  • Bio-SAF, yang berbahan dasar minyak alami dan biomassa, sudah mulai mendominasi pasar karena lebih matang dan lebih murah. 
  • e-SAF, yang menggunakan proses kimia canggih, dianggap lebih menjanjikan jangka panjang, tapi masih mahal dan dalam tahap pengembangan awal. 

Sayangnya, produksi keduanya diperkirakan akan gagal memenuhi target “well-below 2°C” dari International Energy Agency (IEA) untuk 2030.

Meskipun 80% perusahaan yakin bisa memenuhi target SAF mereka pada 2030, hanya 14% yang merasa siap menghadapi tantangan di sepanjang jalan. Hambatan utamanya? Biaya produksi SAF yang tinggi, ketidakpastian regulasi, lemahnya permintaan jangka panjang, dan kurangnya kesepakatan pembelian (off-take agreement) yang kuat.

Sebagian besar pelaku industri masih memilih posisi “wait and see“, berharap ada kepastian pasar sebelum berani berinvestasi besar. Ketergantungan pada nota kesepahaman (MoU) yang tidak mengikat juga memperparah lambatnya investasi.

Untuk mendorong adopsi SAF, BCG menyarankan langkah-langkah berikut:

  • Kolaborasi lebih erat antar seluruh ekosistem penerbangan, mulai dari produsen pesawat hingga operator bandara, untuk menciptakan siklus positif antara pasokan dan permintaan. 
  • Agregasi permintaan dan penetapan standar perdagangan SAF untuk memperjelas pasar. 
  • Penerapan harga karbon, agar biaya emisi dari bahan bakar fosil tercermin dalam harga, sehingga SAF menjadi pilihan lebih ekonomis.

Selain itu, perkembangan regulasi di Eropa dan Amerika Serikat mulai memperlihatkan arah yang lebih jelas, memberikan harapan bahwa momentum menuju penerbangan berkelanjutan bisa kembali dipercepat.

Meskipun tantangan besar masih menghadang, industri penerbangan punya peluang emas untuk mempercepat transformasinya. Dengan kerja sama erat, inovasi, dan keberanian mengambil langkah konkret, langit masa depan bisa jauh lebih bersih.

Artikel ini telah diterbitkan oleh BCG, dengan judul Sustainable Aviation Fuels Need a Faster Takeoff. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Cara Membangun Kerangka Enterprise Risk Management (ERM)

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Chief Risk Officer (CRO) perlu membangun proses ERM yang mencakup seluruh aktivitas bisnis perusahaan. Ini tidak mudah. Dibutuhkan perhatian pada objek risiko, pemilik risiko, dan tata kelola risiko.

Apa Itu Objek Risiko?

Objek risiko adalah sumber risiko dalam perusahaan, seperti:

  • Karyawan (human capital) 
  • Aset fisik 
  • Dokumen 
  • Konsep seperti outsourcing 

Sebelum bisa mengidentifikasi dan mengelola risiko, perusahaan harus tahu dulu apa saja objek risikonya. Ini harus dijelaskan dalam kebijakan manajemen risiko.

Peran Pemilik Risiko

Setiap objek risiko harus punya pemilik risiko, yaitu orang yang bertanggung jawab mengelolanya. Pemilik risiko juga harus memastikan risikonya sesuai dengan anggaran dan strategi perusahaan.

Kalau risiko terlalu besar untuk satu orang, tanggung jawabnya akan disalurkan ke tingkat manajemen yang lebih rendah, sesuai dengan rantai komando organisasi.

Proses ERM

Proses ERM dimulai dari:

  1. Menentukan objek risiko 
  2. Mengidentifikasi dan menilai risiko 
  3. Mengambil tindakan untuk mengelola risiko 

Jika risiko lebih besar dari batas yang diterima, perlu ada tindakan tambahan, meski ini mungkin membutuhkan kompromi anggaran. Setelah itu, risiko yang ada bisa diprioritaskan dan dihubungkan ke strategi bisnis.

Contoh Objek Risiko

Perusahaan besar sebaiknya membuat istilah standar untuk objek risiko. Misalnya:

  • Level 1: Geografi 
  • Level 2: Negara 
  • Level 3: Provinsi/Kota 

Semakin rinci, semakin mudah menerapkan manajemen risiko yang konsisten.

Persepsi Risiko

Setiap pemilik risiko mungkin melihat risiko dari sudut pandang berbeda. Misalnya untuk wilayah geografis:

  • Pemilik produk fokus ke permintaan pasar. 
  • Manajer operasional fokus ke operasional. 
  • CFO fokus ke pelaporan keuangan. 
  • Manajer penjualan fokus ke pendapatan. 

Semua sudut pandang ini valid dan harus digabungkan untuk mendapatkan gambaran lengkap.

Tips Praktis

ERM harus bisa beradaptasi dengan perubahan bisnis. Misalnya saat perusahaan masuk pasar baru atau mengganti strategi.

Semakin rinci objek risiko, semakin mudah membuat laporan, analisis, dan mendukung keputusan manajemen.

Kalau kebijakan manajemen risiko belum mendefinisikan objek risiko, orang-orang di perusahaan akan bingung soal apa yang harus mereka kelola.

ERM yang efektif harus mulai dari objek risiko. Ini membantu menjawab pertanyaan: “Risiko apa?” lalu dilanjutkan dengan “Risiko mana?” dan “Seberapa besar risikonya?”

Dengan pembagian tanggung jawab yang jelas dan tata kelola yang rapi, manajemen risiko akan berjalan lebih baik.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Garp, dengan judul Enterprise Risk Management: How to Build a Comprehensive Framework. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Analisis Risiko dan Pembelajaran dari Kaburnya Tahanan di HMP Wandsworth

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Pada 6 September 2023, Daniel Khalife, seorang mantan tentara Inggris yang ditahan atas tuduhan terorisme dan spionase, berhasil melarikan diri dari Penjara HMP Wandsworth, London. Peristiwa ini memicu perburuan nasional dan mengungkap berbagai kelemahan serius, baik di tingkat operasional maupun sistemik, dalam pelayanan penjara dan masa percobaan Inggris (His Majesty’s Prison & Probation Service – HMPPS).

Katie Price, mantan Gubernur HMP Wandsworth, dalam artikelnya menganalisis akar penyebab insiden ini dan memberikan refleksi penting bagi pengelolaan risiko di seluruh sektor industri.

Tekanan Sistemik yang Menjadi Latar Belakang

HMP Wandsworth, dibangun tahun 1851 untuk 900 narapidana, saat itu menampung lebih dari 1.600 orang—tingkat kelebihan kapasitas sebesar 57%. Kondisi ini diperparah oleh:

  • Infrastruktur kuno,
  • Kekurangan staf akibat tingginya angka keluar-masuk petugas,
  • Minimnya pelatihan untuk petugas baru,
  • Sistem CCTV yang rusak, dan
  • Keterbatasan anggaran untuk perbaikan.

Meskipun masalah ini sudah lama diketahui dan dilaporkan, perhatian dari tingkat organisasi pusat minim. HMP Wandsworth tidak menjadi prioritas hingga akhirnya terjadi insiden besar.

Penyebab Langsung Pelarian

Pelarian Khalife merupakan akibat dari kombinasi kegagalan berikut:

  1. Salah Klasifikasi Risiko: Khalife ditempatkan di penjara keamanan menengah (Kategori B), bukan di tingkat keamanan maksimum (Kategori A).
  2. Penugasan Kerja yang Keliru: Ia bekerja di dapur, memberinya akses ke alat dan bahan yang membantunya kabur.
  3. Kegagalan Pemeriksaan Kendaraan: Ia bersembunyi di bawah truk pengiriman menggunakan alat buatan sendiri, lolos dari inspeksi.
  4. Perangkat Pemantauan Rusak: Beberapa kamera CCTV penting tidak berfungsi.
  5. Kurangnya Pengalaman Petugas: Banyak petugas baru yang belum terlatih dengan baik dalam mendeteksi risiko.

Masalah Sistemik yang Lebih Dalam

Selain kegagalan langsung, terdapat masalah mendasar yang memperburuk situasi:

  • Budaya Kerja yang Menurun: Penyimpangan prosedur menjadi kebiasaan.
  • Komunikasi yang Buruk: Informasi intelijen tidak tersampaikan secara efektif.
  • Rekrutmen yang Tergesa-gesa: Banyak petugas baru tidak siap menghadapi tantangan berat di Wandsworth.

Dampak Pribadi dan Organisasi

Katie Price menggambarkan tekanan besar yang ia hadapi sebagai pemimpin penjara, termasuk serangan media, kritik dari parlemen, dan intimidasi di media sosial. Selain itu:

  • Moral staf jatuh drastis,
  • Reputasi HMPPS tercoreng,
  • Audit keamanan menemukan lebih dari 80 kerentanan, banyak di antaranya sudah lama diketahui tetapi diabaikan.

Pelajaran Penting untuk Manajemen Risiko

Dari insiden ini, terdapat beberapa rekomendasi penting:

  1. Penilaian Risiko yang Dinamis: Risiko harus terus diperbarui sesuai ancaman yang berkembang.
  2. Keterlibatan Lokal dalam Kebijakan Nasional: Perekrutan dan distribusi sumber daya harus mempertimbangkan masukan dari tingkat lokal.
  3. Investasi dalam Ketahanan: Anggaran untuk staf, infrastruktur, dan teknologi harus diprioritaskan.
  4. Peningkatan Sistem Komunikasi: Laporan dan pertukaran informasi harus lebih sederhana dan cepat.
  5. Penguatan Budaya Akuntabilitas: Harus ada budaya disiplin dan tanggung jawab di seluruh tingkatan.
  6. Dukungan Proaktif untuk Pemimpin Lokal: Dukungan organisasi harus nyata, bukan hanya retorika.

Pelarian Daniel Khalife menunjukkan betapa pentingnya perhatian terhadap detail dalam manajemen risiko. Masalah yang terabaikan, baik teknis maupun budaya, bisa berakibat fatal.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul Root Cause Analysis and Risk Management Reflections on HMP Wandsworth Escape.

 

By |

Memahami Risiko Siber dan Strategi Mengatasinya

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Di era digital, risiko siber semakin kompleks dan menjadi ancaman besar bagi perusahaan. Untuk bertahan dan berkembang, perusahaan harus memahami serta mengelola risiko ini dengan baik. Artikel ini membahas pentingnya kuantifikasi risiko siber (Cyberrisk Quantification/CRQ) dalam meningkatkan ketahanan finansial perusahaan.

Mengapa Risiko Siber Penting?

Penelitian terbaru terhadap perusahaan dalam indeks S&P 500 menunjukkan bahwa beberapa perusahaan berisiko mengalami kerugian tahunan sebesar 10% dari laba mereka akibat serangan siber. Bahkan, ada yang bisa kehilangan lebih dari 20%. Risiko ini berdampak pada keuangan serta reputasi dan kepercayaan pemegang saham.

Cara Menilai Risiko Siber

Untuk mengidentifikasi tingkat risiko yang dihadapi, perusahaan perlu melakukan penilaian risiko siber secara menyeluruh. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan model CRQ, yang memungkinkan perusahaan memahami seberapa besar potensi kerugian dan bagaimana cara mengatasinya sebelum terjadi.

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan:

  • Pendekatan berbasis data: Menggunakan model statistik dan data global untuk memberikan gambaran akurat tentang ancaman siber.
  • Pendekatan berbasis ahli: Memanfaatkan wawasan para pakar, meskipun sering kali menghasilkan penilaian yang lebih subjektif.
  • Model berbasis permintaan: Menggabungkan analisis data eksternal untuk memberikan wawasan lebih objektif.

Mengubah Risiko Siber Menjadi Keputusan Finansial

CRQ membantu perusahaan menerjemahkan risiko siber ke dalam nilai finansial, sehingga lebih mudah dipahami oleh para pemimpin bisnis. Dengan informasi ini, perusahaan dapat:

  • Menyesuaikan strategi keamanan dengan tujuan bisnis.
  • Meningkatkan anggaran keamanan siber berdasarkan kebutuhan nyata.
  • Memperkuat kepercayaan pemegang saham dengan menunjukkan kesiapan menghadapi ancaman digital.

Membangun Strategi Manajemen Risiko Siber

Mengelola risiko siber bukan sekadar mengenali ancaman, tetapi juga mengambil langkah konkret untuk mengatasinya. Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi:

  • Menentukan tingkat toleransi risiko yang realistis.
  • Meningkatkan infrastruktur keamanan siber dengan investasi yang tepat.
  • Mengevaluasi ulang kebijakan asuransi siber agar mencakup potensi kerugian yang lebih besar.
  • Melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam keputusan keamanan siber.

Kuantifikasi risiko siber bukan hanya tren, tetapi kebutuhan mendesak bagi perusahaan yang ingin bertahan di era digital. Dengan memahami potensi ancaman, menerjemahkannya ke dalam angka, dan mengambil langkah mitigasi yang tepat, perusahaan dapat melindungi keuangan mereka serta memastikan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.

Artikel ini telah diterbitkan oleh ISACA, dengan judul Cyberrisk Quantification: A Strategic Imperative for Financial Resilience. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Dari Teori ke Praktik: Manajemen Risiko di Dunia Nyata, Dimulai dari Diri Sendiri

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Manajemen risiko bukan hanya tentang mengidentifikasi ancaman dari luar, tetapi juga menyadari bahwa ancaman terbesar bisa datang dari diri sendiri. Dalam dunia kerja, sering kali kita tidak sadar bahwa keputusan yang kita buat bisa menjadi sumber risiko.

Memahami Faktor Manusia dalam Manajemen Risiko

Sebagai manusia, kita memiliki kecenderungan alami yang bisa mengaburkan penilaian kita. Berikut beberapa faktor utama yang perlu diwaspadai:

  1. Bias Kognitif

Bias kognitif bisa membuat kita hanya melihat sisi positif dan mengabaikan potensi risiko. Misalnya, dalam proyek migrasi ke platform cloud, tim mungkin terlalu fokus pada efisiensi tanpa mempertimbangkan ancaman keamanan. Solusinya? Lakukan “Risk Reversal” workshop, di mana tim mencari kemungkinan skenario terburuk untuk mengidentifikasi risiko yang tersembunyi.

  1. Kesenjangan Pengetahuan

Tidak ada yang tahu segalanya, dan itulah mengapa belajar terus-menerus sangat penting. Mengikuti pelatihan, sertifikasi, atau webinar dapat membantu kita memahami risiko dengan lebih baik. Jika menghadapi risiko di bidang yang kurang dikuasai, bekerja sama dengan ahli adalah solusi terbaik.

  1. Komunikasi yang Kurang Efektif

Ide yang bagus bisa gagal jika cara penyampaiannya kurang tepat. Gunakan alat visualisasi seperti Tableau atau Power BI untuk menyajikan data dengan cara yang lebih menarik dan mudah dipahami.

  1. Ketakutan terhadap Inovasi

Menolak perubahan bisa membuat kita tertinggal. Menerapkan teknologi seperti Microsoft Power Apps untuk otomatisasi dalam penilaian risiko dapat meningkatkan efisiensi. Mengadakan ‘hackathon’ atau sesi eksplorasi teknologi juga bisa menjadi cara efektif untuk beradaptasi dengan perubahan.

  1. Rasa Percaya Diri yang Berlebihan

Percaya diri memang penting, tetapi jika berlebihan bisa membuat kita lengah. Gunakan “scenario planning” untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan kegagalan. Membangun budaya kerja yang terbuka terhadap ketidaktahuan juga dapat membantu menciptakan strategi yang lebih kuat.

  1. Pertimbangan Etika

Keputusan bisnis sering kali tergoda untuk mengejar keuntungan cepat tanpa mempertimbangkan dampaknya. Untuk menghindari jebakan ini, perusahaan harus memiliki kerangka kerja etika yang kuat, seperti mengadakan workshop konflik kepentingan dan diskusi etika secara berkala.

Langkah-Langkah Praktis dalam Manajemen Risiko

  1. Pelatihan dan Pengembangan
    Luangkan waktu untuk mengikuti setidaknya satu pelatihan atau sertifikasi baru setiap kuartal agar selalu up-to-date dalam mengelola risiko.
  2. Kolaborasi Antar Tim
    Bentuk tim lintas divisi untuk menilai risiko dari berbagai perspektif. Diskusi bulanan dengan berbagai pemangku kepentingan dapat membantu mendapatkan pandangan yang lebih luas.
  3. Pemeriksaan Kualitas dan Peer Review
    Terapkan prinsip “empat mata” dalam evaluasi risiko. Pandangan kedua dari rekan kerja bisa membantu menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewat.
  4. Keberagaman dalam Tim
    Tim yang terdiri dari berbagai latar belakang dapat memberikan wawasan unik dalam strategi mitigasi risiko. Kombinasi perspektif dari berbagai bidang akan memperkuat proses pengambilan keputusan.

Manajemen risiko bukan hanya soal menghindari bahaya, tetapi juga membangun pendekatan yang fleksibel dan kokoh. Dengan terus belajar, bertanya, dan menyadari bias serta kesenjangan pengetahuan kita, kita bisa mengelola risiko dengan lebih baik.

Artikel ini telah diterbitkan oleh ISACA, dengan judul From Theory to Practice: Real-World Risk Management, Starting with Ourselves. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Strategi Bank dalam Mengelola Risiko Suku Bunga di Era Ketidakpastian

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan ekonomi makro menghadirkan tantangan bagi bank dalam mengelola risiko suku bunga. Bank perlu berinvestasi di tiga bidang utama:

  • Menyesuaikan strategi dan selera risiko – Memperkuat neraca dan strategi laba rugi agar tetap adaptif.
  • Meningkatkan alat analisis – Mengembangkan metode yang lebih tangkas untuk memahami dampak berbagai skenario.
  • Berinvestasi dalam keahlian – Memperkuat pengambilan keputusan melalui peningkatan kompetensi tim dan pengawasan risiko.

Sebagian besar bank menggunakan metrik seperti EVE (Economic Value of Equity) dan NII (Net Interest Income) untuk mengukur sensitivitas risiko suku bunga. Namun, bank perlu meninjau ulang batasan dan pendekatan mereka untuk menyeimbangkan likuiditas, modal, dan pendapatan.

Sejak 2023, regulator semakin ketat mengawasi kerugian di portofolio Available-for-Sale (AFS) dan Basel III End Game mewajibkan bank besar memasukkan kerugian AFS dalam rasio modal inti (CET1). Bank juga perlu mempertimbangkan risiko di portofolio Held-to-Maturity (HTM) agar tidak terdampak kenaikan suku bunga.

Strategi Pengelolaan Risiko

Bank perlu memahami keterkaitan antara neraca, modal, likuiditas, dan pendapatan. Strategi yang tepat mencakup:

  • Pandangan terpadu atas keuangan bank – Menyesuaikan modal, likuiditas, dan aset untuk mengoptimalkan kinerja.
  • Penggunaan perangkat lindung nilai – Mengelola risiko suku bunga dengan strategi yang sesuai dengan kondisi pasar.
  • Menyesuaikan durasi aset – Beberapa bank memilih mengunci durasi aset untuk menghadapi potensi penurunan suku bunga.

Peningkatan Alat Analitik

Bank perlu berinvestasi dalam sistem analisis yang lebih fleksibel untuk memahami berbagai faktor yang mempengaruhi neraca, seperti perilaku deposan dan perubahan risiko-imbal hasil. Bidang utama yang perlu diperkuat meliputi:

  • Pemodelan deposito – Menganalisis perubahan perilaku deposan.
  • Pengelolaan neraca berbasis skenario – Menggunakan simulasi untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan.
  • Penguatan Fungsi Risiko Independen – Memastikan pengawasan yang lebih ketat terhadap strategi risiko suku bunga.

Penguatan Keahlian dan Pengambilan Keputusan

Banyak bank masih kekurangan pengalaman dalam menghadapi volatilitas suku bunga tinggi. Oleh karena itu, investasi dalam keahlian menjadi krusial melalui:

  • Perekrutan dan pelatihan tenaga ahli – Meningkatkan pemahaman risiko dan strategi mitigasi.
  • Penguatan peran ALCO (Asset-Liability Committee) – Menyusun analisis berbasis skenario yang mempertimbangkan dampak terhadap pendapatan, modal, dan likuiditas.
  • Peningkatan transparansi ke Dewan – Memastikan pemahaman menyeluruh terhadap perubahan pasar dan implikasinya.

Di tengah ketidakpastian ekonomi, perhatian lebih terhadap manajemen risiko suku bunga menjadi kunci bagi stabilitas sistem keuangan. Bank yang mampu mengelola risiko ini dengan baik akan mendapatkan kepercayaan lebih dari investor dan regulator serta mempertahankan daya saing di pasar.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Oliver Wyman, dengan judul Transforming Interest Rate Risk Management Practices To Thrive In Era Of Uncertainty. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Strategi Cerdas Mengelola Risiko dan SDM untuk Bisnis Berkelanjutan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dalam dunia bisnis yang terus berkembang, memahami risiko dan mengelola sumber daya manusia dengan efektif adalah kunci keberlanjutan. Perusahaan perlu memiliki strategi yang tepat dalam menghadapi ketidakpastian dan memastikan tenaga kerja tetap produktif serta sejahtera.

Risk Capital: Mengelola Risiko dengan Bijak

Untuk menjaga stabilitas bisnis, pengelolaan risiko yang cermat sangat penting. Beberapa pendekatan yang dapat diterapkan perusahaan dalam manajemen risiko meliputi:

  • Broking and Risk Transfer – Memastikan perlindungan optimal melalui strategi transfer risiko yang efektif.
  • Claim Management – Mengelola klaim dengan efisien agar bisnis tetap berjalan lancar.
  • Reinsurance – Mengurangi dampak finansial dari risiko besar melalui reasuransi.
  • Risk Analytics & Risk Management – Menggunakan data untuk memahami dan mengelola risiko dengan lebih akurat.
  • Risk Retention – Menentukan strategi pengelolaan risiko yang paling sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Human Capital: Meningkatkan Kesejahteraan dan Kinerja Karyawan

Selain mengelola risiko finansial, perusahaan juga perlu memastikan bahwa tenaga kerja mendapatkan dukungan yang optimal. Beberapa strategi dalam pengelolaan SDM mencakup:

  • Health and Benefits – Menyediakan manfaat kesehatan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan.
  • Human Capital Analytics – Memanfaatkan data untuk mendukung pengambilan keputusan terkait tenaga kerja.
  • Investments & Pensions – Mengelola investasi dan program pensiun karyawan secara berkelanjutan.
  • Talent and Rewards – Menyusun strategi kompensasi yang kompetitif untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik.
  • Workplace Wellbeing – Menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif untuk meningkatkan performa karyawan.

Menghadapi Tantangan dalam Rantai Pasokan

Salah satu tantangan terbesar dalam operasional bisnis saat ini adalah risiko dalam rantai pasokan. Supply Chain atau Distribution Failure menjadi salah satu risiko global yang harus diantisipasi. Perusahaan perlu mencari keseimbangan antara efisiensi dan ketahanan rantai pasokan, terutama dalam menghadapi keterbatasan bahan baku, perubahan regulasi, serta ketergantungan pada pemasok utama.

Membangun Keputusan yang Lebih Baik dengan Wawasan Berbasis Data

Mengelola risiko dan sumber daya manusia bukan sekadar tugas administratif, tetapi bagian dari strategi bisnis jangka panjang. Dengan pendekatan berbasis data, perusahaan dapat mengambil keputusan yang lebih cerdas, mengoptimalkan kinerja, serta meningkatkan daya saing di tengah ketidakpastian ekonomi.

Artikel ini telah diterbitkan oleh AON pada 8 November 2023 dengan judul Supply Chain or Distribution Failure. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Masa Depan Embedded Insurance: Asuransi Digital yang Lebih Praktis dan Menguntungkan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Embedded insurance adalah sistem yang menggabungkan asuransi langsung ke dalam proses pembelian produk atau layanan secara digital. Contohnya, ketika kamu memesan tiket pesawat, kamu bisa langsung menambahkan asuransi perjalanan tanpa harus membeli secara terpisah.

Tren ini berkembang pesat dengan nilai penjualan mencapai $87,4 miliar dan diprediksi akan tumbuh 20,2% per tahun hingga 2032. Teknologi memungkinkan perusahaan asuransi untuk menyesuaikan produk mereka secara real-time sesuai kebutuhan pasar.

Keunggulan Embedded Insurance

  1. Lebih Mudah dan Cepat – Konsumen tidak perlu membeli asuransi secara terpisah. Semua bisa dilakukan dalam satu transaksi.
  2. Penjualan Lebih Tinggi – Model ini meningkatkan tingkat keterikatan (attachment rate) dibandingkan dengan asuransi tradisional.
  3. Efisiensi Biaya – Mengurangi biaya distribusi dan meningkatkan margin keuntungan bagi penyedia asuransi.
  4. Adaptasi Lebih Cepat – Asuransi dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna secara dinamis menggunakan data real-time.

Tantangan bagi Perusahaan Asuransi Tradisional
Perusahaan asuransi lama menghadapi tantangan besar karena sistem IT mereka yang kaku dan tidak fleksibel. Mereka masih mengandalkan agen atau broker untuk distribusi, sementara perusahaan teknologi asuransi yang lebih modern sudah mengandalkan API dan data analytics untuk menawarkan produk yang lebih kompetitif.

Model Bisnis Embedded Insurance
Perusahaan asuransi yang ingin masuk ke embedded insurance bisa memilih dua model utama:

  1. Pure Risk Carrier dengan Outsourced MGA – Perusahaan asuransi hanya berfokus pada underwriting dan analisis risiko, sementara mitra (Managing General Agent/MGA) menangani interaksi dengan pelanggan dan distribusi produk.
  2. MGA dan Risk Carrier Sekaligus – Perusahaan asuransi mengelola teknologi dan produk sendiri, memberikan kontrol penuh atas harga, distribusi, dan risiko. Model ini lebih kompleks tetapi menawarkan keuntungan lebih besar.

Langkah Membangun Sistem Embedded Insurance yang Efektif
Agar sukses dalam embedded insurance, perusahaan asuransi harus membangun sistem IT yang fleksibel dan tangguh. Berikut beberapa aspek penting:

  • Integrasi dengan Mitra – Sistem harus memiliki API yang mudah digunakan untuk bekerja sama dengan platform lain.
  • Modularitas Produk – Asuransi harus dapat dikonfigurasi tanpa perlu mengubah kode besar.
  • Efisiensi Proses – Otomatisasi dalam klaim dan underwriting mempercepat layanan.
  • Keamanan dan Kepatuhan – Sistem harus mengikuti regulasi dan memastikan keamanan data pelanggan.

Membangun atau Membeli Sistem?
Perusahaan harus memutuskan apakah akan membangun sistem sendiri, membeli dari vendor, atau menggunakan kombinasi keduanya:

  • Membeli – Cocok jika ingin cepat masuk ke pasar tanpa biaya pengembangan besar.
  • Membangun – Lebih fleksibel dan bisa disesuaikan, tapi memerlukan investasi waktu dan sumber daya.
  • Menggunakan Sistem yang Ada – Mengadaptasi teknologi yang sudah tersedia bisa menjadi solusi terbaik antara efisiensi dan fleksibilitas.

Embedded insurance adalah peluang besar bagi industri asuransi untuk meningkatkan penjualan, efisiensi, dan kepuasan pelanggan. Perusahaan asuransi harus segera beradaptasi dengan membangun platform yang fleksibel, mengadopsi teknologi canggih, dan menjalin kemitraan strategis agar tetap kompetitif di era digital.

Artikel ini telah diterbitkan oleh BCG, dengan judul Building a Seamless Tech Framework for Embedded Insurance. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |

Cara Mudah Menerapkan GRC di Perusahaan

Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Governance, Risk, and Compliance (GRC) penting untuk kelangsungan bisnis. Dengan aturan yang semakin ketat dan risiko yang terus berkembang, perusahaan perlu sistem GRC yang jelas dan terstruktur.

Langkah-Langkah Implementasi GRC

  1. Tentukan Tujuan & Ruang Lingkup
    Sebelum menerapkan Governance, Risk, and Compliance (GRC), perusahaan perlu memahami alasan di baliknya. Apakah untuk meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi, mengelola risiko, atau memperbaiki tata kelola? Selain itu, tentukan area bisnis yang akan diterapkan agar implementasi lebih terfokus dan efektif.
  2. Dapatkan Dukungan Pimpinan & Bentuk Tim
    Keberhasilan GRC sangat bergantung pada dukungan manajemen. Pastikan pimpinan memahami pentingnya sistem ini dan berkomitmen dalam pelaksanaannya. Selain itu, bentuk tim GRC lintas divisi yang bertanggung jawab dalam implementasi dan koordinasi. Sosialisasi kepada seluruh karyawan juga penting agar mereka memahami manfaat dan peran mereka dalam sistem GRC.
  3. Buat Kebijakan & Prosedur yang Jelas
    Agar GRC berjalan dengan baik, perusahaan perlu menyusun aturan dan SOP yang terstruktur. Kebijakan yang jelas akan menjadi panduan bagi seluruh karyawan dalam menjalankan tugas mereka sesuai prinsip GRC. Dokumentasi kode etik juga harus tersedia sebagai pedoman perilaku yang harus ditaati.
  4. Kelola Risiko dengan Baik
    Identifikasi berbagai risiko yang dapat memengaruhi operasional perusahaan, baik dari segi kepatuhan, finansial, maupun reputasi. Setelah itu, susun strategi mitigasi agar risiko dapat dikendalikan dengan lebih baik dan tidak menghambat bisnis.
  5. Gunakan Teknologi yang Tepat
    Pemanfaatan teknologi akan sangat membantu dalam implementasi GRC. Pilih software atau sistem yang dapat memudahkan pengelolaan data, pemantauan kepatuhan, serta pelaporan risiko secara real-time agar prosesnya lebih efisien.
  6. Bangun Budaya Kepatuhan
    GRC tidak hanya tentang sistem dan kebijakan, tetapi juga membangun budaya kepatuhan di lingkungan perusahaan. Adakan pelatihan rutin agar karyawan memahami pentingnya GRC dalam pekerjaan mereka. Selain itu, terapkan kebijakan whistleblowing untuk memastikan adanya mekanisme pelaporan jika terjadi pelanggaran. 
  7. Pantau & Evaluasi Secara Berkala
    Implementasi GRC harus terus dipantau dan dievaluasi agar tetap efektif. Tetapkan Key Performance Indicators (KPI) untuk mengukur keberhasilannya dan lakukan audit rutin guna memastikan kepatuhan serta menyesuaikan strategi sesuai dengan perkembangan bisnis dan regulasi.

Menerapkan GRC adalah langkah strategis untuk bisnis yang lebih kuat dan patuh aturan. Mulai sekarang agar siap menghadapi tantangan di masa depan!

Artikel ini telah diterbitkan oleh CRMS Indonesia, dengan judul Bagaimana Memulai Implementasi GRC di Perusahaan yang Belum Memilikinya?. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

By |
Go to Top