Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professionals Association (IRMAPA).
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

 

Pada tanggal 16 Agustus 2019 penulis mendapat kesempatan berdiskusi dengan jajaran direksi suatu perusahaan terbuka yang bergerak di bidang jasa armada yang kegiatan bisnisnya sudah merambah pasar global.

Salah satu topik bahasan adalah bagaimana menyelaraskan praktik manajemen risiko dengan budaya perusahaan sehingga pengelolaan risiko yang efektif dapat terwujud. Dalam konteks tersebut, penulis berbagi pandangan dan pengalaman yang pada hakikatnya merujuk pada tiga unsur dasar pembentuk budaya sadar risiko organisasi, yaitu:

  • Tata kelola Risiko (Risk Governance);
  • Kerangka Kerja Penetapan Selera Risiko (Risk Appetite)
  • Praktik kompensasi yang mendorong perilaku positif pengelolaan risiko

Ketiga unsur dasar tersebut minimum harus ada dalam suatu organisasi bila mereka ingin memulai atau membangun, mengembangkan, dan atau menyebarkan budaya sadar risiko yang positif bagi organisasi.


A. Tata Kelola Risiko (Risk Governance)

Tata kelola risiko mencakupi sedikitnya:

  • Peran dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris yang jelas dalam pengelolaan risiko organisasi termasuk pembangunan kompetensi manajemen risiko di berbagai tingkat organisasi, ketersediaan sumber daya, kewenangan dan independensi fungsi manajemen risiko, kepatuhan dan audit internal terutama dalam pelaporan ke dewan komisaris via sub-komite dewan komisaris.
  • Peran dan tanggung jawab pimpinan manajemen risiko atau ‘Chief Risk Officer’ dan fungsi unit manajemen risiko sebagai lapis pertahanan kedua organisasi.
  • Adanya asesmen independen reguler terhadap efektivitas kerangka kerja tatakelola risiko.


B. Kerangka Kerja Penetapan Selera Risiko 

Kerangka kerja penetapan selera risiko mencakupi sedikitnya:

  • Kerangka kerja penetapan selera risiko yang jelas dan efektif, termasuk di dalamnya a) pengembangan asumsi yang dipakai dalam perencanaan strategis; b) permodelan yang dipakai; dan c) sistem untuk mengukur dan melakukan agregasi paparan risiko organisasi;
  • Pernyataan selera risiko oleh direksi dan dewan komisaris yang jelas dan tidak ambigu bagi seluruh karyawan;
  • Penentuan limit-limit risiko sebagai rujukan pengambilan keputusan dan pelaksanaan manajemen risiko di tingkat operasional. Hal ini kritikal karena budaya risiko baru dapat dikatakan efektif bila organisasi – dalam usaha mencapai sasaran dan tujuannya – mampu mengelola risiko dalam koridor selera risiko yang sudah ditetapkan sebelumnya.


C. Praktik Kompensasi

Praktik kompensasi organisasi yang mendorong perilaku positif pengambilan risiko, mencakupi sedikitnya:

  • Sistem dan praktik kompensasi diselaraskan dengan proses pengambilan risiko yang hati-hati dan proaktif;
  • Kompensasi karyawan mempertimbangkan risiko yang harus diambil oleh karyawan bersangkutan atas nama perusahaan, dan kinerja mereka dalam rangka mengatasi/mengelola risiko tersebut harus masuk ke dalam perhitungan kompensasi.
  • Kompensasi perlu mempertimbangkan perspektif risiko dan manfaat pengambilan risiko yang dilakukan oleh karyawan.
  • Memasukkan kapabilitas dan kinerja pengelolaan risiko ke dalam penilaian kinerja dan promosi karyawan.

Mudah-mudahan artikel singkat ini bermanfaat bagi pembaca.