Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professionals Association (IRMAPA).
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Kepedulian dunia terhadap dampak perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan semakin intens, ditandai dengan terjadinya pergeseran prioritas urutan risiko tahun 2019 berdasarkan pandangan ‘Chief Executive Offcer’ (CEO) perusahaan kelas dunia.

Laporan “KMPG: CEO Outlook – Agile or Irrelevant” memberikan hasil survey terakhir mereka yaitu pandangan CEO berbagai perusahaan kelas dunia yang setelah dikompilasi memberikan hasil berikut: ‘risiko lingkungan dan perubahan iklim menduduki peringkat pertama untuk tahun 2019, melompat naik dari peringkat keempat di tahun 2018’.

Apa artinya hal tersebut?

Para CEO meyakini bahwa risiko lingkungan / perubahan iklim dunia dipandang sebagai risiko dengan dampak yang sangat masif dengan tren tingkat probabilitas yang terus naik dan semakin signifikan.

Hal ini dapat menjadi ancaman global karena dampak risiko lingkungan dan iklim dunia tidak akan terbatas pada satu teritori, atau pada satu negara dan perusahaan tertentu saja. Dampak akan sangat luas menyeluruh dan memiliki efek domino berganda dalam segala tingkat kehidupan manusia, terutama dalam kegiatan industri dan dunia usaha. Ada dampak yang bersifat langsung, dan ada yang tidak langsung.

Contoh dampak langsung:
Persyaratan kebutuhan pendanaan atau kredit dari bank yang mengharuskan bisnis atau proyek yang dibiayai memiliki elemen berkelanjutan (sustainable elements).
Kontrak bisnis yang mengharuskan adanya praktik ESG (Environmental, Social, Governance) dari mitra organisasi.
Persyaratan investor / pemegang saham yang semakin menuntut adanya kebijakan dan praktik keberlanjutan di organisasi.
Tuntutan konsumen yang semakin mempertimbangkan elemen berkelanjutan dalam produk/jasa organisasi.

Contoh tidak langsung:
Tuntutan generasi muda karyawan yang akan memilih berkarir di organisasi yang dipandang perduli dan berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan dan keberlanjutan.
Peraturan otoritas industri tentang standar lingkungan, sosial dan keberlanjutan yang harus diterapkan oleh organisasi mulai dari kondisi kerja, pembangunan komunitas, konsep hijau, partisipasi dalam konservasi alam, penggunaan energi terbarukan dan lain sebagainya.
Investasi tidak langsung dalam bentuk sarana dan prasarana untuk memfasilitasi penerapan standar baru lingkungan dan keberlanjutan.

RISIKO LINGKUNGAN DAN PERUBAHAN IKLIM – KONTEKS INDONESIA

Walaupun masih banyak pandangan yang menyatakan bahwa risiko lingkungan dan perubahan iklim masih rendah di Indonesia, penulis meyakini hal sebaliknya.

Indikasi agenda risiko lingkungan dan perubahan iklim perlu menjadi salah satu perhatian utama organ tertinggi organisasi adalah dikeluarkannya POJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.

POJK ini akan mempengaruhi bagaimana sektor jasa keuangan terutama perbankan mempertimbangkan pemberian dana dan kredit mereka berdasarkan elemen berkelanjutan dalam proyek atau organisasi yang diberikan pendanaan dan/atau pinjaman tersebut.

Dikatikannya akses keuangan dengan persyaratan ‘keuangan berkelanjutan’ bagi calon debitur akan menjadi tonggak awal yang sangat kritis bagi industri dan perusahaan untuk memulai dan atau meningkatkan praktik berkelanjutan mereka, terutama yang terkait dengan tiga kriteria sentral konsep keberlanjutan, yaitu:

Kriteria Lingkungan: bagaimana perusahaan berkinerja dengan cara ramah lingkungan.
Kriteria Sosial: bagaimana perusahaan mengelola hubungan kerja dengan para karyawan, pemasok, pelanggan, dan komunitas di mana mereka beroperasi.
Kriteria Governansi atau Tata Kelola: bagaimana perusahaan membangun kepemimpinan (dalam hal ini direksi dan dewan komisaris) yang mampu menjalankan prinsip tata kelola yang baik terlihat dalam struktur direksi dan dewan komisaris, sistem remunerasi direksi dan manajemen senior, sistem audit, pengendalian internal, dan perlindungan hak pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas.

Untuk pemenuhan tiga kriteria di atas, direksi dan dewan komisaris perusahaan perlu mempelajari beberapa standar dan rujukan terkait dengan praktik keberlanjutan. Sedikitnya tiga standar di bawah ini perlu dipahami secara mendalam yaitu:

ISO 31000: Standar Internasional Manajemen Risiko yang sudah diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia.
ISO 26000: Standar Tanggung Jawab Sosial yang sudah diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia.
ISO /TC 322: Standar Keuangan Berkelanjutan (Sustainable Finance).

Bagi yang tertarik untuk mempelari standar di atas dapat menggali informasi lebih lanjut dari ‘Center for Risk Management and Sustainability’ (www.crmsindonesia.org)

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.