Penulis: Charles R. Vorst, MM., BCCS, CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP – Sekretaris Jenderal IRMAPA.

Setelah melewati proses persidangan, akhirnya vonis kepada mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, keluar sebagai amar putusan. Hakim Ketua Pengadilan Tipikor yang bertugas, Emilia Djaja Subagja, memutuskan bahwa Karen dinyatakan telah terbukti bersalah dalam investasi Pertamina pada blok BMG di Australia dengan vonis 8 tahun penjara dan denda 1 miliar Rupiah subsider 4 bulan kurungan. Adapun majelis hakim dalam putusan menyatakan bahwa Karen telah menyalahgunakan jabatan sebagai Dirut Pertamina untuk melakukan investasi yang pada akhirnya merugikan negara. Karen dinilai menyetujui PI tanpa adanya due diligence serta tanpa adanya analisa risiko yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Sale Purchase Agreement (https://nasional.kompas.com/read/2019/06/10/15393391/mantan-dirut-pertamina-karen-agustiawan-divonis-8-tahun-penjara).

Sementara persidangan masih akan berlanjut karena mantan dirut wanita pertama di Pertamina tersebut mengajukan banding atas putusan yang disampaikan (http://www.tribunnews.com/nasional/2019/06/10/divonis-8-tahun-penjara-karen-agustiawan-banding) dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan tersebut juga mengajukan banding serta masih akan menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana 15 tahun penjara (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190613102545-12-402908/jaksa-akan-banding-vonis-eks-dirut-pertamina-karen-agustiawan), pada kesempatan kali ini penulis hendak menyoroti pentingnya ketersediaan analisis risiko dalam sebuah proyek investasi, khususnya pada proyek investasi non-rutin, yang semoga dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan agar terhindar dari kasus serupa.

PERAN TOLERANSI RISIKO DAN EXIT STRATEGY DALAM PROYEK INVESTASI

Sekitar 20 tahun lalu ketika penulis masih berkarir di bidang pasar modal, seorang kawan pernah menasihati penulis bahwa dalam memandu investor melakukan investasi kita perlu mengetahui tidak hanya berapa besar total modal yang akan dialokasikan melainkan juga berapa besar kerugian yang dapat ditanggung investor tersebut ketika investasi ternyata mengalami kerugian. Hal ini 5 tahun kemudian penulis ketahui sebagai ‘Toleransi Risiko’ ketika pertama kali bersentuhan dengan dunia manajemen risiko. Toleransi risiko ini tidak boleh diartikan bahwa investasi BOLEH merugi sebesar jumlah yang ditoleransikan, namun lebih kepada sebuah batasan dari investor bahwa apabila setelah segala upaya terbaik dilakukan investasi masih tetap mengalami kerugian maka kerugian terbesar yang mau ditanggung oleh investor hanya sebesar toleransi risiko yang telah ditetapkan. Keberadaan toleransi risiko ini sangat penting bagi pelaksana investasi, setidaknya ketika harus memutuskan kapan cut loss harus dijalankan atau kapan exit strategy harus dieksekusi.

Dalam penerapan manajemen risiko, keberadaan toleransi risiko sebenarnya sudah cukup umum dipahami dan diterapkan oleh para praktisi manajemen risiko. Namun, sering kali toleransi risiko hanya tersedia untuk praktik pengelolaan risiko harian yang mencerminkan berapa deviasi terbesar yang masih dapat ditoleransi ketika target-target tahunan organisasi tidak tercapai. Belajar dari kasus participating interest (PI) Pertamina pada blok BMG, toleransi risiko juga perlu ditetapkan untuk investasi non-rutin berdasarkan kesepakatan direksi, dewan komisaris, terlebih pemegang saham. Dalam persetujuan rencana investasi oleh pemegang saham yang umumnya dilakukan melalui rapat umum pemegang saham untuk pengesahan rencana kerja dan anggaran tahunan maupun rencana jangka panjang, toleransi risiko dari pemegang saham terhadap kegagalan investasi juga perlu ditetapkan dan atau dipahami oleh direksi dan dewan komisaris. Paparan rencana investasi kepada pemegang saham perlu melibatkan juga analisis risiko mengenai berapa besar potensi kerugian yang mungkin terjadi dalam portofolio investasi berdasarkan suatu derajat keyakinan tertentu dari para pengelola perusahaan, terlebih ketika investasi yang akan dilakukan tergolong investasi berisiko tinggi.

Pemegang saham perlu memahami secara komprehensif tidak hanya berapa besar potensi keuntungan dari sebuah rencana investasi melainkan juga potensi kerugiannya sehingga dengan demikian dapat menentukan seberapa besar kerugian yang mau ditolerir. Melengkapi paparan, pengelola perusahaan juga perlu menjelaskan rancangan tindakan pengamanan yang akan dilakukan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kerugian, beserta rancangan exit strategy yang akan dilakukan guna membatasi jumlah kerugian, guna menjaga keyakinan pemodal bahwa rencana investasi yang diajukan meskipun berisiko tetap layak untuk dijalankan dan toleransi risiko yang ditetapkan pemodal tidak akan disalahartikan atau ‘disalahgunakan’ di kemudian hari. Adapun exit strategy ini kemudian perlu dijabarkan lebih lanjut berupa indikator-indikator untuk menentukan kapan strategi ini perlu dieksekusi serta opsi apa saja yang memungkinkan untuk keluar atau menghentikan investasi sehingga kerugian yang ditanggung tidak sampai melebihi toleransi risiko yang telah ditetapkan. Bersama dengan berbagai rangkaian kajian dan hasil due diligence, keandalan exit strategy yang dapat dilakukan oleh perusahaan kemudian ikut dipertimbangkan oleh direksi, dan dewan komisaris, untuk memutuskan go/no go realisasi rencana investasi.

PERAN Governance-Risk Management-Compliance (GRC) DALAM PROYEK INVESTASI

Para praktisi tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan dalam organisasi memainkan peran penting dalam realisasi proyek investasi. Melengkapi berbagai analisis dan kajian yang dilakukan oleh unit-unit kerja terkait, fungsi Governance, Risk management, and Compliance (GRC) pada proyek investasi perlu membantu direksi (dan dewan komisaris) dalam mengambil keputusan sejak sebuah rencana realisasi investasi digulirkan hingga ketika organisasi memutuskan untuk keluar dari investasi tersebut.

Dalam hal ini, para praktisi tata kelola perlu membantu pimpinan puncak organisasi setidaknya dalam menjawab dan mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan antara lain:

  1. Apakah rencana investasi sejalan dengan visi, misi, strategi, dan atau bisnis inti perusahaan?
  2. Apakah investasi yang akan dijalankan bertentangan dengan praktik tata kelola yang diterapkan perusahaan, atau berpotensi mengakibatkan pencideraan praktik tata kelola yang baik yang dijalankan oleh perusahaan?
  3. Apakah perusahaan memiliki mekanisme tata kelola untuk merencanakan/menetapkan, melaksanakan, dan menghentikan investasi?
  4. Bagaimana memastikan agar dalam merencanakan, melaksanakan, dan menghentikan investasi perusahaan tetap menjalankan mekanisme tata kelola yang benar?
  5. Sejauh mana keterukuran kesesuaian praktik yang dijalankan oleh perusahaan untuk merencanakan, melaksanakan, dan menghentikan investasi dengan prinsip tata kelola yang baik?

Di sisi lain, para praktisi manajemen risiko perlu membantu pimpinan puncak organisasi setidaknya untuk menjawab dan mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan antara lain:

  1. Apakah risiko yang ada pada rencana investasi memang merupakan risiko yang perlu diambil perusahaan?
  2. Apakah besarnya risiko yang terkandung dalam rencana investasi sesuai dengan selera risiko, atau setidaknya tidak melebihi toleransi risiko yang telah disepakati/ditetapkan?
  3. Apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk mengelola risiko yang mungkin muncul dalam pelaksanaan investasi? Bila tidak, apa yang harus dilakukan perusahaan ketika rencana investasi direalisasikan?
  4. Sejauh mana kesiapan perusahaan untuk melaksanakan dan menghentikan investasi?
  5. Apakah ada risiko baru yang mungkin muncul ketika perusahaan mengeksekusi exit strategy, dan bagaimana untuk mengantisipasinya?

Sedangkan para praktisi kepatuhan perlu membantu pimpinan puncak organisasi setidaknya dalam menjawab dan mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan antara lain:

  1. Aturan apa saja yang harus dipenuhi dan atau dimiliki oleh perusahaan dalam merencanakan, melaksanakan, dan menghentikan investasi?
  2. Apakah rencana investasi yang akan dijalankan tidak bertentangan dengan, atau berpotensi membuat perusahaan tidak dapat mematuhi, regulasi dan peraturan internal?
  3. Isu kepatuhan dan hukum apa yang mungkin menjadi risiko yang dapat mengganggu perusahaan dalam merealisasikan dan menghentikan investasi? Bagaimana cara untuk mengelola risiko tersebut?
  4. Bagaimana memastikan agar dalam merencanakan, melaksanakan, dan menghentikan investasi tidak ada regulasi, peraturan internal, perjanjian kontrak yang dilanggar perusahaan?
  5. Apakah ada risiko hukum dan kepatuhan yang mungkin muncul ketika perusahaan mengeksekusi exit strategy, dan bagaimana untuk mengantisipasinya?