Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG.
Ketua Dewan Pengarah Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA)
Tulisan ini dibuat berdasarkan pemahaman penulis yang hadir sebagai peserta dalam diskusi panel “Peran Direksi dan Dewan Komisaris dalam RUU BUMN” yang diselenggarakan oleh Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI) pada tanggal 2 Mei 2019 di Financial Club, Jakarta – Indonesia.

Hadir tiga panelis dalam diskusi di atas:
Tuti Hadi Putranto – Praktisi Hukum, salah satu mitra pendiri Hadiputranto, Hadinoto & Partners, salah satu kantor firma hukum terbesar di Indonesia, yang merupakan anggota dari kantor Firma Hukum Baker & McKenzie International.
Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH, MH – Ketua Bidang Studi / Klaster Keilmuan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kanaka Puradiredja – Ketua Badan Pengurus Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI). Beliau adalah tuan rumah acara diskusi panel ini.

Panelis Ibu Tuti Hadiputranto adalah ahli dan praktisi hukum korporasi yang sudah malang melintang berpuluh tahun di Indonesia dengan pengalaman internasional dan nasional di berbagai industri sebagai penasihat hukum baik sebagai penasihat hukum untuk korporasi multinasional, konglomerat, dan terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Beliau membawakan paparan berjudul “Isu sentral dalam RUU BUMN vs BUMN sebagai Korporasi Modern”.

Ibu Tuti Hadiputranto menyoroti beberapa butir pasal dan/atau kalimat dalam RUU BUMN yang ditengarai akan menimbulkan risiko inheren baru. Beberapa hal diangkat oleh beliau karena berpotensi untuk tidak sejalan dengan Undang-Undang Perusahaan Terbatas No: 40 Tahun 2007 (UUPT) dan juga tidak sejalan dengan semangat untuk mendorong BUMN mampu melakukan pengambilan keputusan dan aksi korporasi yang cepat tepat berazaskan prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik. Kegalauan beliau tercermin dalam berbagai ekspresi ungkapan yang bernada khawatir bila RUU menjadi Undang-Undang (UU), maka BUMN Indonesia berpotensi mengalami kemunduran dalam era kompetisi global dan digitalisasi yang menuntut kecepatan pengambilan keputusan dan kesigapan melakukan aksi korporasi.

Senada dengan Ibu Tuti Hadiputranto, Bapak Dian Puji Simatupang, sebagai ahli hukum dan akademisi menyoroti materi bahasan dari kaca mata potensi timbulnya kerancuan antara ranah privat dengan ranah publik yang ditimbulkan dari RUU tersebut. Beliau membawakan paparan berjudul “Optimalisasi peran Direksi dan Dewan Komisaris melalui Proses Seleksi dan Nominasi yang transparan, akuntabel dan fair”.

Bapak Dian Puji Simatupang menegaskan bahwa BUMN yang dikelola berlandaskan hukum privat dengan mekanisme tiga organ yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi yang sejatinya berdasarkan pada UU PT, dapat rancu bila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut serta dalam beberapa ranah korporasi yang merupakan ranah privat.
Kesimpulan dan harapan

Kedua panelis di atas seirama dalam mengekspresikan kegalauan dan keprihatinan mereka terhadap isi RUU yang dapat memicu terjadinya kemunduran pengelolaan BUMN di Indonesia. Beberapa argumentasi dan butir pemikiran serta pendapat mereka dicatat oleh penulis baik sebagai pembelajaran bagi penulis sendiri dan sebagai perspektif untuk berbagi dengan praktisi manajemen risiko di Indonesia:

  1. Paradoksal ‘kekayaan negara’ yang tidak kunjung tuntas, dan dapat menjadi dasar multitafsir, apakah kerugian BUMN merupakan kerugian negara? Dalam RUU ini, esensi paradoksal tersebut tetap ada dan bahkan berpotensi lebih kompleks karena dapat menimbulkan persepsi adanya keterlibatan badan publik dalam ranah privat, yang dapat memicu pemikiran atau pandangan berikut: Bila BUMN dimiliki oleh negara, maka negara dapat terpapar semua risiko BUMN. Contoh: bila piutang BUMN dianggap kekayaan negara, bisa saja hutang BUMN dianggap sebagai hutang negara? Akibatnya, tafsiran ini akan membuat ruang gerak dan ruang pengambilan keputusan korporasi BUMN menjadi sangat terbatas.
  2. Selain hal di atas, besaran paparan risiko korporasi (corporate risk exposure) BUMN dapat ditafsirkan tidak terjaga atau terbatasi pada jumlah saham yang disetorkan oleh negara (catatan: dikenal dengan istilah kekayaan negara yang dipisahkan). Dalam hal ini, ada kemungkinan paparan risiko berlanjut pada kekayaan negara itu sendiri.
  3. Keterlibatan DPR dalam menentukan direktur utama BUMN sangat bertentangan dengan prinsip dan semangat UU PT yang merupakan hak RUPS. Sejatinya, RUPS yang menentukan dan/atau mengangkat direksi dan dewan komisaris. Mereka pula yang memiliki hak untuk menurunkan / memberhentikan direksi dan dewan komisaris.

Sementara masih ada beberapa butir tambahan yang menjadi ajang bahasan diskusi, penulis mencatat beberapa simpulan hasil diskusi yang merupakan harapan praktisi tata kelola korporasi agar RUU tersebut ditinjau kembali dengan beberapa butir masukan / pemikiran di bawah ini:

  • Mengharmonisasikan dan menegaskan terminologi pengertian ‘kekayaan negara yang dipisahkan’, yang dalam praktiknya adalah investasi negara dalam bentuk saham, sehingga tidak perlu ada multitafsir lagi.
  • Dihapuskannya klausul dan/atau terminologi yang dapat menimbulkan multitafsir baru, misal istilah ‘dampak luas’. Dibuangnya kata-kata yang dapat berpotensi multitafsir karena dapat menjadi dasar ‘salah tafsir’.
  • Pemilihan dan proses pemenuhan akuntabilitas direksi dan dewan komisaris merujuk pada satu sumber hukum saja yaitu UU PT, karena kehadiran negara dalam BUMN adalah dalam bentuk penyertaan saham (atau kekayaan negara yang dipisahkan).
  • Tegaskan bahwa BUMN bukan badan publik, dan anggota direksi dan dewan komisaris bukanlah pejabat publik. Contoh: Apakah Direksi BNI dapat mengharuskan semua warga negara Indonesia menjadi nasabah BNI?

Akhir kata, perlu diingatkan lagi kepada kita semua bahwa fungsi DPR adalah: fungsi legislasi, fungsi budget/anggaran, dan fungsi pengawasan. Dari sudut pandang praktisi tata kelola korporasi, bila DPR ingin melakukan fungsi pengawasan, maka sebaiknya mereka menggunakan hak-hak pengawasan mereka kepada pemerintah bukan kepada BUMN.

Semoga tulisan ini bermanfaat.