Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Resesi merupakan fase dalam siklus ekonomi yang ditandai dengan kontraksi ekonomi. Menurut salah satu definisi populer, resesi adalah kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan di pasar akibat faktor eksternal atau internal.

Secara historis, resesi pernah terjadi. Contoh pertama adalah masa Resesi Besar (2008). Saat itu, jumlah pinjaman bank kepada pembeli rumah lebih besar daripada jumlah yang mampu dibayar kembali oleh peminjam. Ketika harga rumah naik, ketidakseimbangan ini tidak menjadi masalah. Namun ketika harga rumah turun, pemilik rumah kesulitan membayar cicilan, sedangkan bank mulai mengalami masalah keuangan.

Contoh kedua adalah Depresi Besar (1929—1939). Pada 1929, pasar saham jatuh sehingga memicu resesi global yang mendalam dan berlangsung lama. Beberapa orang berpendapat bahwa bank mengalami serangkaian kegagalan yang menurunkan jumlah uang beredar hingga sepertiganya.

Contoh ketiga adalah krisis keuangan Asia (1997) yang disebabkan oleh banyaknya uang yang diinvestasikan di pabrik-pabrik. Hal ini menciptakan kapasitas yang terlalu besar sehingga pabrik-pabrik tidak dapat sepenuhnya menggunakan peralatan baru dan tidak dapat membayar utang.

Contoh terakhir adalah guncangan minyak pada 1973. Peristiwa ini merupakan embargo yang diberlakukan oleh Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) terhadap ekspor minyak ke Amerika Serikat (AS). Harga minyak dan produk sampingannya melonjak sehingga memperburuk lingkungan yang sudah mengalami inflasi.

Saat ini, resesi berpeluang terjadi dalam waktu dekat. Pada Maret 2025, J.P. Morgan menyebutkan bahwa risiko resesi di AS adalah sebesar 40 persen. Bahkan, 95 persen ekonom yang disurvei oleh Reuters pada Maret 2025 di Kanada, Meksiko, dan AS mengatakan bahwa risiko resesi dalam perekonomian mereka telah meningkat.

Meski demikian, ada juga indikator yang menunjukkan bahwa masa depan akan makmur dan berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai melalui upaya-upaya peningkatan keterampilan pekerja dan perubahan cara operasi organisasi untuk mengimbangi harga input dan suku bunga yang lebih tinggi.

Bisakah Resesi Diprediksi dan Dihindari?

Resesi adalah harga yang harus dibayar untuk berbisnis dalam sistem kapitalis. Namun, meramalkan masa depan, termasuk terjadinya resesi, adalah hal yang penuh risiko dan bersifat tidak pasti. Meski begitu, kita tahu bahwa resesi disebabkan oleh ketidakseimbangan di pasar. Artinya, meskipun kita tidak dapat mengetahui kapan resesi berikutnya akan datang atau berapa banyak nilai yang akan hilang, resesi hampir pasti akan terjadi.

Ketua McKinsey Global Institute Sven Smit menyebutkan, ketidakseimbangan pasar yang menyebabkan resesi dapat disebabkan oleh sejumlah aspek, misalnya geopolitik dan siklus ekonomi. Dengan demikian, resesi biasanya dimulai dari satu wilayah geografis dan menyebar ke wilayah lain. Akibatnya, sejumlah perusahaan akan menghadapi periode ketidakpastian dengan tingkat kesiapan dan kesehatan yang berbeda-beda. Beberapa dari mereka mungkin siap berkembang, rentan terhadap perlambatan ekonomi, memiliki neraca keuangan yang sarat utang, serta sedang berfokus pada pertumbuhan dan pangsa pasar. Dalam keempat keadaan tersebut, perusahaan sebaiknya berfokus pada pembangunan ketahanan sistemik.

Pengaruh Resesi pada Ekonomi Global dan Masyarakat

Menurut Survei Global McKinsey 2024, para eksekutif percaya bahwa perubahan kebijakan perdagangan dan ketidakstabilan geopolitik akan memengaruhi ekonomi. Jika dilihat berdasarkan wilayah, responden di Amerika Utara percaya bahwa transisi politik akan memberikan dampak ekonomi terbesar. Sementara itu, di Eropa dan Asia Pasifik, responden menyebutkan dampaknya akan terjadi dalam bentuk ketidakstabilan geopolitik, sedangkan di Tiongkok, para eksekutif paling fokus pada perubahan terkait perdagangan.

Salah satu cara untuk mempersiapkan diri terhadap pengaruh resesi adalah dengan melakukan persiapan yang mencakup perencanaan skenario, penyusunan strategi manajemen risiko, peningkatan proses, dan pengadaan metrik lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) yang kuat. Terlebih, perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap orang-orang yang mereka pekerjakan dan masyarakat luas. Pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak selalu menghemat biaya sebanyak metode pengurangan biaya lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa metode pengurangan biaya dengan cara tersebut hanya menghemat biaya sekitar 2 persen, sedangkan penggunaan alat digital dan analitik dapat menghemat sekitar 5 persen.

Pada akhirnya, resesi memang menuntut perubahan. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah dengan berinvestasi dalam pelatihan ulang tenaga kerja untuk memenuhi persyaratan organisasi yang berubah. Selain itu, berfokuslah pada margin. Perusahaan-perusahaan yang menunjukkan ketahanan selama resesi melakukan langkah ini melalui pemotongan biaya operasional secara proaktif. Cara lain untuk menghadapi resesi adalah dengan mengawasi peluang yang muncul ketika pesaing mengambil langkah yang salah, misalnya mengambil aset dan talenta yang dilepaskan oleh pesaing.

Artikel ini telah diterbitkan oleh McKinsey & Company, dengan judul “What is a Recession?” pada 3 April 2025. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.