Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA)
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Membaca berbagai media di dua minggu belakangan ini, penulis mencatat berbagai pemberitaan tentang kasus PT Asuransi Jiwasraya yang gagal bayar klaim nasabah. Perusahaan yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan memiliki sekitar 7 juta nasabah ini harus menunda pembayaran klaim asuransi dari nasabah JS Saving Plan mereka senilai Rp 802 miliar.

Apa sebetulnya yang terjadi, dan apa pembelajaran yang yang dapat dipetik bagi para praktisi manajemen risiko?

Produk asuransi JS Saving Plan diluncurkan lima tahun lalu oleh PT Asuransi Jiwasraya dikaitkan dengan investasi. Nasabah cukup membayar Rp. 100 juta di awal dan mereka bisa menarik imbal hasil dengan persentasi tinggi setelah investasi mengendap satu tahun. Selain itu, nasabah juga memperoleh perlindungan asuransi selama lima tahun penuh.

Ribuan nasabah ikut dalam program tersebut sehingga premi asurani yang diperoleh perusahaan melonjak dalam waktu singkat. Akan tetapi, produk JS Saving Plan menimbulkan permasalahan besar ketika klaim-nya mulai jatuh tempo dan perusahan gagal bayar klaim di bulan Oktober 2018. Disinyalir, gagal bayar klaim terjadi karena perusahaan tidak memperoleh imbal hasi investasi aset mereka sesuai harapan. Sementara itu, klaim yang jatuh tempo semakin banyak sehingga membengkak sampai ratusan miliar Rupiah.

Kisruh PT Asuransi Jiwasraya pun terungkap ke publik karena laporan keuangan perusahaan ‘unaudited’ tahun 2017 yang awalnya mencatat laba bersih Rp. 2,4 triliun harus direvisi. Dalam hal ini, kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) merevisi auditnya sehingga laba bersih perusahaan menciut menjadi Rp. 360 miliar saja.

Hasil audit PwC keluar setelah tiga anggota direksi sebelumnya, yakni Direktur Utama Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Hary Prasetyo, serta Direktur Investasi dan Teknologi De Yong Adrian, lengser per akhir Januari 2018. Trio ini menjabat dua periode sejak 2008.

Direktur utama PT Asuransi Jiwasraya sekarang, Hexana Tri Sasongko, menerima bom waktu. Ia baru diangkat OJK Oktober 2018 menggantikan Asmawi Syam yang belum belum sampai setahun memimpin PT Asuransi Jiwasraya.

Saat peralihan manajemen, kabar mengenai keuangan PT Asuransi Jiwasraya belum merebak. Baru setelah Asmawi dan Hexana menerima laporan PwC, kejanggalan laba perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan 2017 mulai terkuak. Laba yang tadinya sekitar Rp 2,5 triliun menciut menjadi sekitar Rp 360 miliar karena ada kenaikan cadangan premi.

Menurut Hexana, perubahan laba itu terjadi karena portofolio keuangan manajemen lama dikelola dengan risiko tinggi untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi. Sedangkan aset perusahaan yang besar belum tentu menjanjikan profitabilitas tinggi. “Sehingga dia akan memompa risiko,” ujar Hexana.

Hexana tidak menampik adanya temuan BPK dan OJK serta semua permasalahan PT Asuransi Jiwasraya yang terungkap. Namun, beliau enggan berkomentar dengan alasan masalah itu sedang dalam proses audit investigatif BPK. “Lebih baik menunggu hasil audit,” ujar beliau dalam wawancara yang dilakukan oleh majalah Tempo (Tempo, 17 Februari 2019).

Saat ini, Hexana tengah sibuk menata kembali Jiwasraya, memilih berkonsentrasi ke depan sembari menyelesaikan permasalahan yang dihadapi perusahaan. Beliau memutar ulang strategi perusahaan, merestrukturisasi pertumbuhan organik dengan mengubah model bisnis, dan memperbaiki transformasi bisnis korporasi hingga keagenan. “Perusahaan ini perlu penyesuaian yang fundamental supaya solusinya berkelanjutan,” katanya.

Apa yang bisa dipetik dari kasus di atas sebagai pembelajaran bagi praktisi manajemen risiko di Indonesia?

Sementara beberapa pandangan meyakini bahwa prahara yang menghantam PT Asuransi Jiwasraya murni akibat risiko investasi, beberapa pandangan lain meyakini bahwa ada kemungkinan praktik curang atau tata kelola buruk di balik investasi saham berisiko tinggi yang kemudian mencekit perusahaan itu. Di samping itu, ada juga yang meyakini bahwa PT Asuransi Jiwasraya sudah memiliki masalah strategis sebelumnya sehingga risiko investasi yang terjadi sekarang adalah imbas dari risiko strategis dan permasalahan lama mereka tersebut.

Terlepas dari beberapa pandangan di atas, dapat dilihat bahwa penerapan manajemen risiko di PT Asuransi Jiwasraya belum efektif. Tindakan pencegahan dini tidak terjadi walau sudah ada indikasi risiko tinggi dari berbagai sumber, di antaranya adalah melalui audit BPK sebelumnya di tahun 2016 serta melalui pengawasan OJK yang semakin diperketat dalam dua tahun terakhir.

Saat ini, audit investigasi BPK masih berlanjut untuk memastikan akar permasalahan utama dari krisis yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya dan penetapan status kasus tersebut lebih lanjut.

Sementara itu, bagi praktisi manajemen risiko, pembelajaran yang dapat dipetik, salah satunya adalah: krisis dapat timbul pada suatu organisasi bila risiko fatal dan strategis organisasi tersebut tidak ditangani secara saksama dan menyeluruh, sehingga merembet menjadi permasalahan dan krisis bagi perusahaan, bahkan menimbulkan risiko lainnya (misal: operasional, pelaporan, dan investasi) yang berujung menjadi prahara bagi organisasi tersebut.

Selain itu, peristiwa ini dapat menjadi peringatan bagi pelaku industri asuransi jiwa di Indonesia untuk selalu waspada terhadap berbagai risiko yang dihadapi, termasuk risiko investasi yang bila sekali terjadi ‘mismatch’ dengan kewajiban klaim perusahaan, dapat menciptakan krisis, dan bahkan bencana bagi perusahaan.

Oleh karena itu, penerapan manajemen risiko bagi perusahaan asuransi tidak dapat sepotong-sepotong dan perlu dibangun secara sistematis dan terintegrasi sampai menjadi budaya perusahaan yang sehat sehingga pengelolaan risiko menjadi efektif. Hal ini hanya dapat terwujud bila penerapan manajemen risiko dijalankan oleh sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang manajemen risiko dan berintegritas tinggi.