Pada Rabu, 30 April 2025, Webinar Manajemen Risiko Pembangunan Nasional Sektoral Kementerian/Lembaga dengan Studi Kasus MRPN di Sektor Kesehatan diselenggarakan oleh Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) bersama WAY Academy dan LSP MKS.
Dengan dipimpin oleh MC Adhi Saputro, acara ini diawali dengan sambutan oleh Dr. Ir. H. Sugeng Santoso selaku Staf Ahli Bidang Ekonomi Maritim Kementerian Koordinator (Kemenko) Pangan. Dalam sambutannya, Sugeng Santoso menyebut kebijakan terkait manajemen risiko dalam pembangunan nasional, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Resiko Pembangunan Nasional (MRPN) serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025—2045.
Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh turunan dari Perpres Nomor 39 Tahun 2023 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, MRPN disebut akan berlaku pada hampir semua stakeholder dan sektor. Dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Merah Putih, misalnya, disebut pula mengenai Kemenkes yang direncanakan menggunakan MRPN dalam pengelolaan klinik dan apotek.
Sesi selanjutnya, yaitu pemaparan materi, dimoderatori oleh Direktur Program WAY Academy Fitri Sawitri, dengan mengusung dua narasumber: Charles R. Vorst (Ketua IRMAPA) dan Togu Sihombing (Inspektur IV Kementerian Kesehatan/Kemenkes).
Charles R. Vorst: MRPN Penting untuk Kawal Pembangunan Nasional
Latar belakang MRPN adalah Perpres 39 Tahun 2023 yang diterbitkan pada 16 Juni 2023, Dalam Perpres tersebut, MRPN diterapkan mencakup seluruh pengelolaan risiko pembangunan nasional yang diselenggarakan oleh entitas MRPN sebagai pengelola keuangan negara. Salah satu tujuan pelaksanaan MRPN adalah untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan best practice reference, baik nasional maupun dunia, yaitu SNI 31000 yang diadopsi dari ISO 31000.
Dalam MRPN, terdapat sembilan prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu terintegrasi, terstruktur dan komprehensif, kustomisasi, inklusif, kolaboratif, dinamis, informasi terbaik yang tersedia, mempertimbangkan sosial dan budaya, serta perbaikan berkelanjutan. Pada Pasal 7 Perpres Nomor 39 Tahun 2023, struktur organisasi MRPN disebutkan, dengan komite MRPN yang bertanggung jawab kepada Presiden. Komite yang dimaksud terdiri atas dewan pengarah (para menteri koordinator), ketua, wakil ketua, dan anggota, dengan bantuan dari sekretariat harian komite MRPN yang berkedudukan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tugas dari komite MRPN adalah menetapkan kebijakan dan kerangka kerja agar MRPN dapat terselenggara di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, RPJMN 2025—2029 dirumuskan dengan memperhatikan visi Indonesia Emas 2045. Salah satu sasaran utamanya adalah pendapatan per kapita yang setara dengan negara maju. Seluruh sasaran akan dicapai menggunakan strategi transformasi sosial, ekonomi, dan tata kelola.
Baik dalam perspektif Perpres Nomor 39 Tahun 2023 maupun RPJMN 2025—2029, telah disebutkan pentingnya MRPN untuk mengawal pembangunan nasional. Kunci dari implementasi MRPN adalah integrasi proses bisnis yang didukung oleh sistem informasi, peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM), sistem insentif, serta penguatan kelembagaan.
Togo Sihombing: Tiga Inti MRPN
Dalam jangka satu tahun setelah diundangkannya Perpres Nomor 39 Tahun 2023, seluruh entitas atau kementerian/lembaga (K/L) wajib memiliki MRPN sektoral entitas masing-masing. “MRPN ini terdiri dari tiga inti: risiko, pembangunan, dan nasional,” papar Togo, sambil menekankan bahwa yang bertindak sebagai pembina dan pengawas pelaksanaannya adalah pemegang jabatan inspektur jenderal ataupun satuan pengawasan internal (SPI).
Dari dokumen RPJMN teknokratik Bappenas, Togo mengetahui beberapa transformasi yang diamanatkan: sosial, ekonomi, dan tata kelola. Pada transformasi sosial, bidang kesehatan menjadi salah satu bagiannya dengan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar kesehatan. Maka, Menteri Kesehatan (Menkes) menetapkan enam pilar transformasi bidang kesehatan nasional: transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan. Sebagai tambahan, terdapat pula satu pilar transformasi internal yang berlaku di Kemenkes.
Sasaran pembangunan tahun 2029 yang dititipkan pada bidang kesehatan memiliki empat indikator: usia harapan hidup (75,4 tahun); kesehatan ibu dan anak (angka kematian ibu per 100.000 kelahiran adalah 77, sedangkan prevalensi stunting pada balita adalah 11%); insiden tuberkulosis (target per 100.000 penduduk adalah 190); serta cakupan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN (98%). Sementara itu, salah satu program Quick Win yang dijalankan Kemenkes adalah pemeriksaan kesehatan gratis (PKG). Potensi resiko yang secara umum ditemukan dalam hal ini adalah dalam kualitas layanan, termasuk ketersediaan tenaga medis, sarana, dan prasarana. Kesiapan masyarakat terhadap isu ini juga perlu diperhatikan. Edukasi masyarakat perlu dilakukan untuk menekankan pentingnya PKG dalam mengurangi tingkat kematian di masa mendatang.
Sistem yang berjalan di Kemenkes sudah cukup baik karena mengerucut pada satu sistem: one system one data. Namun, pengelolaan di daerah memberikan potensi resiko tersendiri atau bahkan potensi fraud (terkait dengan tindak pidana korupsi).
Setelah pemaparan materi selesai dilakukan oleh ketiga pembicara di atas, webinar ini diakhiri dengan sesi tanya jawab.