Penulis : Sultanas Nisa
Peneliti muda CRMS Indonesia

PT Penjaminan Infrastuktur Indonesia (PII Persero) pada hari ini, Senin 11 Nopember 2019 mengadakan Diskusi Panel dengan Tema “Pencegahan Pidana Korporasi” yang bertempat di Capital Place Building, jakarta – Indonesia. Acara dimulai setelah peringatan Hari Pahlawan.

Diskusi panel dipandu oleh Catur Priyoni – SVP Internal Audit PIIi. Beliau memperkenalkan para narasumber yaitu Giri Suprapdiono – Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dr. Antonius Alijoyo – Principal of Center for Risk Management and Sustainability Studies (CRMS Indonesia), yang juga adalah ketua dewan pengaran Indonesia Risk Management Professionals Association (IRMAPA).

Diawali dengan sambutan dari M. Wahid Sutopo – Plt. Direktur Utama PII, diskusi panel dimulai dengan paparan presentasi Giri Suprapdiono yang mengulas tentang ‘Tinjauan kasus korupsi di sektor Korporasi di Indonesia, serta Tantangan dan Upaya Pencegahannya. Beberapa catatan menarik dari presentasi beliau:

  • Fenomena terjadinya kasus tindak pidana korupsi korporasi di berbagai “Developed Countries” yang berakhir pada hukuman pidana korupsi terhadap korporasi tersebut.
  • Di indonesia, berdasarkan PERMA 13/2016, korporasi juga dapat dipidana bila melakukan tindak korupsi.
  • Ada rujukan yang dapat dipakai oleh korporasi untuk menghindari terjadinya tindak pidana korupsi korporasi yaitu SNI ISO 37001 Sistem Anti Penyuapan yang berasal dari Standar Interansional ISO 37001 dan/atau Panduan Cegah Korupsi (CEK) yang dikeluarkan oleh KPK.

Diskusi dilanjutkan untuk elaborasi pasal 4 ayat 2 PERMA 13/2016 yang menjelaskan beberapa situasi yang dapat menyebabkan korporasi dipidana, yaitu bila korporasi tersebut:

  1. Memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana
  2. Melakukan pembiaran terjadinya tindak pidana.
  3. Tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan.
  4. Tidak melakukan usaha untuk mencegah dampak yang lebih besar.
  5. Tidak melakukan usaha memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Merujuk pada butir di atas, penerapan SNI ISO 37001 dan/atau CEK dapat membantu korporasi menghindari hal-hal di atas terutama butir 5 yaitu ‘Tidak melakukan usaha memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana”.

Untuk menghindari butir 3 dan 4, korporasi dapat melakukannya dengan penerapan manajemen risiko secara terpadu misal SNI ISO 31000:2018 Sistem Manajemen Risiko. Sebagai catatan kaki: Butir 1 merupakan cerminan adanya intensi murni tindak pidana korupsi, dan nomor 2 merupakan cerminan adanya pengabaian dan/atau kelalaian direksi dan dewan komisaris terhadap (potensi) tindak pidana korupsi.

Setelah paparan Giri Suprapdiono usai, timbul pertanyaan menggelitik ‘apa yang harus dilakukan oleh korporasi untuk menghindari terjadi kegagalan korporasi dan melakukan pecegahan terjadinya ‘fraud’? Untuk ini, Dr. Antonius Alijoyo didaulat untuk memberikan paparan mengenai penerapan manajemen kepatuhan dalam konteks GRC (Governance, Risk Management, Compliance).

Beliau memulai paparan dengan ilustrasi mengenai pentingnya memahami GRC dengan rujukan ‘principled performance’ yang berintikan konsep bahwa penerapan GRC harus didasari atau berprinsip kinerja. Mengapa? Karena korporasi diharapkan untuk dapat terus menciptakan dan mempertahankan nilai mereka (Create and Protect Value) sedemikian rupa sehingga halangan (obstacles) yang berasal dari ketidakpastian dan risiko yang menghadang dapat teratasi dengan efekti.

Digambarkan juga oleh beliau bahwa dalam penciptaan dan perlindungan nilai di atas, korporasi perlu menerapkan dan menjalankan proses bisnis mereka masing-masing yang unik dan spesifik bagi korporasi tersebut (catatan: sering disebut model bisnis).

Ditekankan oleh beliau bahwa yang terpenting adalah bagaimana korporasi dapat secara efektif menjalankan model bisnis mereka dalam Batasan Mandatori (Mandatory Boundaries) dan Batasan Sukarela (Voluntary Boundaries) sehingga korporasi tetap dapat berkinerja dengan baik karena mampu menangani efek dari ketidakpastian atau risiko, dan selalu dapat bertindak dengan integritas.

Batasan mandiri berasal dari eksternal organisasi misal Undang-Undang, Peraturan Industri, regulasi dan lain sebagainya. Batasan sukarela berasal dari aturan dan peraturan internal misal Pedoman Perilaku, Peraturan Karyawan, SOP (Standar Operating Procedure) dan lain sebagainya. Keduanya penting sebagai pembatas atau koridor agar perilaku organisasi dalam pengambilan keputusan dan menjalankan aksi korporasi akan selalu patuh hukum dan berintegritas sembari tetap kreatif dan berkinerja tinggi.

Sebagai penutup, Dr. Antonius Alijoyo berbagi informasi bahwa korporasi dapat menerapkan GRC berbasis standar-standar ISO, yaitu:

  • ISO 37000 Governance of Organization
  • ISO 31000 Risk Management
  • ISO 19600 Compliance Management

Ketiganya sangat mudah terintegrasi satu sama lain karena adanya elemen HLS (High Level Structure) di setiap standar ISO.

Acara ditutup dengan foto bersama antara jajaran direksi dan dewan komisaris PII dengan narasumber, dan diakhiri dengan makan siang bersama