Belajar tentang Penerapan Manajemen Risiko di Pemerintahan Provinsi seri #1 – Membedah dan Analisis Studi Kasus Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2022.

Oleh: Fitri Sawitri & Tri Wahyono – The WAY Academy

Penerapan manajemen risiko sektor publik sudah dimulai oleh beberapa Pemprov (Pemerintah Provinsi) di Indonesia, dan menjadi suatu fenomena menarik untuk dianalisis sebagai pembelajaran bagi para profesional bidang manajemen risiko sektor publik terutama dari sudut pandang integrasi manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi dan peran Pemprov terkait. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2022 tentang pedoman pengelolaan risiko di lingkungan pemerintah provinsi Jawa Tengah yang patut diapresiasi oleh kita semua. Lebih jauh lagi, keberadaan Pergub tersebut dapat menjadi pionir dan bandingan dalam praktik pemerintahan provinsi berbasis pertimbangan risiko di Indonesia.

Harapan penulis dari artikel ini adalah untuk mengangkat sisi positif dari kebijakan manajemen risiko Provinsi Jawa Tengah serta analisis beberapa potensi pengembangan ke depan sehingga dapat dipertimbangkan oleh Pemprov bersangkutan khususnya, dan masukan untuk praktisi manajemen risiko sektor publik pada umumnya.

Integrasi Struktur Manajemen Risiko dengan Struktur Organisasi

Pembentukan struktur manajemen risiko memerlukan kecermatan karena manajemen risiko diterapkan ketika organisasi telah memiliki struktur existing, sehingga pilihannya adalah membentuk stuktur baru atau mengintegrasikan dengan struktur yang sudah ada. Pemprov Jawa Tengah secara apik telah memilih mengintegrasikan struktur manajemen risiko dengan struktur organisasi yang sudah ada, dimana Gubernur, Wakil Gubernur, dan Sekretaris Daerah menjadi Komite Eksektif, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai Unit Pemilik Risiko, Bappeda menjadi Unit Manajemen Risiko, dan Inspektorat sebagai Unit Pengawasan.

Penunjukan Bappeda sebagai Unit Manajemen Risiko telah sejalan dengan upaya integrasi manajemen risiko dengan manajemen kinerja. Hal ini membuat peran Bappeda menjadi sangat sentral karena menjalankan fungsi koordinasi, edukasi, dan pemantauaan manajemen risiko sekaligus. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi dan profesionalitas SDM Bappeda terkait manajemen risiko menjadi faktor kunci keberhasilan penerapan manajemen risiko di Pemprov Jawa Tengah. Ibarat mengolah lahan pertanian, selain petani dibekali dengan cangkul, tetapi harus diajari bagaimana cara menggunakannya. Pemberian cangkul tidak akan ada artinya jika petani tidak memahami bagaimana menggunakan cangkul untuk mengolah lahan pertanian.

Integrasi Manajemen Risiko dengan Perencanaan Kinerja dan Penganggaran

Pergub Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2022 menghendaki integrasi manajemen risiko dengan proses perencanaan dan penganggaran. Ide mengenai integrasi ini patut diapresiasi karena Pemprov Jawa Tengah berinisiatif agar dapat merencanakan kinerja disertai dengan antisipasi potensi masalah ke depan, sehingga kemungkinan keberhasilannya semakin tinggi. Apabila terdapat rencana program atau kegiatan yang kemungkinan gagalnya lebih besar, masih sempat digantikan program lain yang lebih mungkin untuk berhasil. Manfaat lainnya, kegiatan pengendalian atau mitigasi risiko dapat sekaligus direncanakan pada Y-1 sehingga pada tahun anggaran bersangkutan dapat langsung dilaksanakan kegiatan pengendalian yang telah direncanakan.

Melalui pendekatan integrasi ini, tantangan terbesarnya adalah ketika rencana dan target kinerja yang disusun terlalu mudah untuk dicapai, sehingga menerapkan ataupun tidak menerapkan manajemen risiko, tidak akan ada bedanya karena target kinerja sama-sama dapat tercapai. Hal inilah yang selanjutnya membuat penerapan manajemen risiko hanya sekedar formalitas, karena kurang dirasakan manfaatnya. Akibatnya manajemen risiko hanya menjadi kegiatan administrasi tambahan untuk menghasilkan dokumen profil risiko yang tidak memberikan nilai tambah bagi organisasi.

Integrasi Manajemen Risiko dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

Penerapan manajemen risiko perlu memperhatikan kesinambungan sistem yang saat ini telah ada, yaitu Sistem Pengendalian Intern Pemerintah atau jamak disebut dengan SPIP. Pempov Jawa Tengah secara eksplisit telah mengarahkan penerapan manajemen risiko untuk mendukung SPIP. Hal ini dirasakan sangat relevan karena salah satu unsur yang mendukung pengendalian sebagaimana diatur dalam PP 60 Tahun 2008 adalah penilaian risiko yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam merancang pengendalian berupa Rencana Tindak Pengendalian (RTP).

Tantangan utama integrasi ini adalah perlunya proses evaluasi dan pemantauan secara secara berkala untuk memastikan integrasi manajemen risiko benar-benar fit dengan sistem pengendalian intern pemerintah sehingga secara bersama-sama mampu mendukung kinerja organisasi. Beberapa istilah dalam pendekatan manajemen risiko dan pengendalian intern mungkin saja berbeda, namun semuanya harus kembali pada ruh nya bahwa penilaian risiko dan pengendalian intern ditujukan untuk mendukung kinerja organisasi.

Kesimpulan dan Usulan

Tidak dapat dipungkiri masih banyak pihak yang meragukan penerapan manajemen risiko di sektor publik, utamanya karena menganggap masih sebatas formalitas belaka. Ketika organisasi memiliki register risiko, seolah pekerjaan telah selesai dan kegiatan kembali normal, setidaknya sampai dengan proses asesmen maturitas manajemen risiko, barulah register risiko dibuka kembali. Oleh karena itu, integrasi manajemen risiko menjadi sangat penting bahkan SNI ISO 31000 secara eksplisit menempatkan integrasi sebagai prinsip pertama manajemen risiko, yang menekankan bahwa manajemen risiko bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, namun harus teritegrasi pada proses bisnis organisasi. Jika tidak, manajemen risiko hanya akan menjadi sekedar tugas administrasi tambahan tanpa memberikan nilai tambah bagi organisasi.

Sejalan dengan apresiasi kami terhadap Pergub Nomor 9 Tahun 2022 Pemprov Jawa Tengah, kami mengidentifikasi setidaknya tiga tantangan agar penerapan manajemen risiko Pemprov Jawa Tengah semakin berkualitas, yang pertama adalah perlunya peningkatan kompetensi, khususnya bagi SDM Bappeda yang ditunjuk sebagai Unit Manajemen Risiko. Yang kedua, penguatan kualitas perencanaan kinerja melalui penetapan target kinerja yang semakin berkualitas karena akan menjadi dasar dalam proses manajemen risiko selanjutnya. Tantangan ketiga adalah perlunya proses evaluasi dan perbaikan berkesinambungan sehingga penerapan manajemen risiko dan pengendalian intern diharapkan mampu mendukung pencapaian kinerja organisasi.

Semoga artikel ini bermanfaat.