Oleh: Tri Wahyono, Fitri Sawitri, The Way Academy

Melanjutkan diskursus pentingnya keselarasan antara kapasitas dan kapabilitas risiko untuk mewujudkan organisasi yang resilient (tangguh) sekaligus agile (lincah) yang disampaikan oleh Bapak Antonius Alijoyo pada artikelnya berjudul kapasitas dan kapabilitas mengelola risiko: manakan yang harus dibangun terlebih dahulu? artikel ini akan melakukan refleksi atas konsepsi kapasitas dan kapabilitas risiko, khususnya dalam lingkup organisasi sektor publik yang bertujuan untuk dapat menggali potensi pengembangannya ke depan. Kesimpulannya, organisasi sektor publik menghadapi kapabilitas risiko yang sebenarnya tinggi, namun belum di dukung kapasitas birokrasi yang memadai, sehingga pengelolaan risiko belum sepenuhnya optimal. 

Kapasitas dapat diibaratkan seperti kemampuan mesin dalam beroperasi, misalnya mobil berkapasitas 300 tenaga kuda, pompa air berkapasitas 100 liter per detik, dan sebagainya. Sedangkan kapabilitas lebih mengarah pada kemampuan sumber daya untuk dapat mengoperasikan mesin tersebut, khususnya kemampuan sumber daya manusia sebagai input utama menjalankan sebuah organisasi. Kapasitas organisasi yang besar, jika tidak diimbangi dengan kapabilitas yang cukup akan menghasilkan idle capacity. Sebaliknya, kapabilitas yang tinggi, tidak difasilitasi dengan kapasitas yang cukup akan menghasilkan keputus-asaan. Idealnya terdapat keselarasan diantara keduanya sehingga menjadikan organisasi lebih optimal dalam mengelola risiko.

Sayangnya kondisi di sektor publik menunjukkan adanya kapabilitas risiko yang tinggi, namun kapasitas birokrasi masih rendah. Beberapa bukti yang dapat menguatkan kapabilitas risiko yang tinggi, antara lain setiap rekrutmen calon Aparat Sipil Negara (ASN) pesertanya selalu membludak, artinya yang terpilih menjadi ASN semestinya adalah yang terbaik dari jutaan calon yang mendaftar. Konsepsi manajemen risiko bukanlah sesuatu yang sulit, karena baik di sadari atau tidak, seluruh pegawai telah menerapkan manajemen risiko sesuai bidag pekerjaannya, misalnya risiko keterlambatan, risiko kesalahan pekerjaan dan lain sebagainya. Di sisi lain, kondisi kapasitas birokrasi yang rendah ditunjukkan dengan masih banyaknya keluhan tentang layanan publik, struktur ASN yang gemuk, serta tata kelola yang belum efisien, contohnya pemerintah daerah yang sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar gaji pegawai, padahal idealnya anggaran pendukung maksimal hanya 20 persen sedangkan subatansinya 80 persen. 

Kapasitas birokrasi yang masih rendah belum menyadari adanya risiko baik di tataran strategis maupun operasional. Pemerintah masih disibukkan dengan pemenuhan kepatuhan (compliance) terhadap regulasi, sehingga instansi yang berwenang menerbitkan regulasi dan perizinan dianggap sebagai instansi yang basah karena lebih menjanjikan kesejahteraan daripada instansi lainnya. Kesenjangan antar instansi ini akhirnya membuat lingkungan birokrasi yang tidak kondusif yang akhirnya membuat sumber daya yang pada saat masuk memiliki kapabilitas yang tinggi, namun tidak dapat ter eksploitasi dengan optimal. Ditambah dengan sistem remunerasi yang belum sepadan, akhirnya membuat banyak ASN muda yang mengalami cultural shock saat pertama kali bergabung menjadi ASN.

Idealnya kapabilitas dan kapasitas risiko organisasi sektor publik dapat berjalan secara beriringan sehingga memampukannya untuk dapat berkineja optimal. Ketika kapabilitas SDM tidak difasilitasi dengan kapasitas birokrasi yang sebanding, maka yang terjadi adalah penurunan semangat kerja yang ketika dibiarkan dalam jangka panjang akan membentuk lingkungan kerja toxic yang sangat merugikan baik bagi organisasi maupun SDM sendiri. Pemikiran ini sejalan dengan kajian Anton dan Fisabillillah (2021) yang menyimpulkan bahwa penerapan manajemen risiko di sektor publik masih terkendala masalah tata kelola dan SDM. Artikel ini melengkapi bahwa variable tata kelola terwakili dengan kondisi kapasitas birokrasi, sedangkan variabel SDM terwakili dengan kondisi kapabilitas organisasi.      

Pertanyaan berikutnya, bagaimana solusi atas kapasitas birokrasi yang masih rendah tersebut? Kembali menggunakan analogi mesin, maka perlu upaya upgrading dari kapasitas lama menjadi kapasitas baru. Berbagai program dalam kerangka reformasi birokrasi sudah digulirkan pemerintah, termasuk membangun Zona Integritas, Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Namun dari semua program reformasi birokrasi tersebut, perlu menekankan pada tiga aspek penting:

  1. Aspek Perencanaan

Semua kegiatan pemerintah dimulai dengan perencanaan, dari level strategis sampai dengan operasional. Aspek risiko perlu dipertimbangkan dalam perencanaan untuk memperkuat aspek pencegahan dan antisipasi permasalahan kedepan. Terbitnya Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) merupakan salah satu upaya perbaikan perencanaan Pembangunan Nasional yang kolaboratif dan sinergis antar Kementarian/Lembaga/Pemda/Badan Usaha/Badan Lainnya. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan MRPN dalam perencanaan dan pengambilan Keputusan strategis pemerintah.

  1. Aspek Pelaksanaan

Pelaksanaan operasional pemerintah harus menekankan aspek efisiensi di semua bidang. Penghematan anggaran sangat baik untuk diterapkan, namun perampingan struktur juga tidak kalah penting untuk menciptakan efisiensi. Organisasi yang gemuk merupakan pemborosan, apalagi ditengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga kebutuhan sumber daya manusia dapat dikurangi secara signifikan.  Sayangnya, manajemen ASN belum secara tegas mengatur pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan kinerja yang rendah. Hal inilan yang menciptakan zona nyaman bagi ASN, namun di sisi lain merupakan pemborosan bagi pemerintah.

  1. Aspek Pengukuran Hasil 

Pengukuran hasil dapat dibagi setidaknya dalam tiga kategori, hasil yang langsung bisa dirasakan (immediate outcome), hasil berupa perbaikan jangka menengah (medium term outcome), dan perbaikan berkelanjutan (long term outcome). Kecenderungan pengukuran hanya pada immediate outcome seringkali menyesatkan, karena pemerintah sudah berpuas diri kinerjanya tercapai, padahal sifatnya hanya sementara. Reformasi pengukuran kinerja mutlak untuk dilaksanakan agar kinerja pemerintah dapat terukur sekaligus berdampak bagi masyarakat.

Peningkatan kapasitas birokrasi melalui tiga area di atas (perencanaan, pelaksanaan, dan pengukuran hasil) menjadi kunci keberhasilan organisasi sektor publik menuju organisasi yang tangguh dan lincah dalam menghadapi ketidakpatian, yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Referensi:

Alijoyo, A, 2025, “Kapasitas dan Kapabilitas Mengelola Risiko: Manakah yang harus dibangun terlebih dahulu?”, Diakses 29 Januari 2025, https://crmsindonesia.org/publications/kapasitas-dan-kapabilitas-mengelola-risiko-manakah-yang-harus-dibangun-terlebih-dahulu

Alijoyo and Fisabilillah, 2021. “Risk Management Implementation in Public Sector Organizations: A Case Study of Indonesia”. Organizational Cultures: An International Journal 22 (1): 1-23. doi:10.18848/2327-8013/CGP/v22i01/1-23.

Tempo, 2023, “Banyak Peminat Menjadi PNS Tapi Ribuan CPNS Mundur, Ini Penyebabnya”, diakses 28 Januari 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/banyak-peminat-menjadi-pns-tapi-ribuan-cpns-mundur-ini-penyebabnya-158037.