Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Selama beberapa tahun terakhir, ada kesepakatan bahwa isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) sangat penting bagi dunia bisnis. Namun, bagaimana perusahaan dapat menghadapi investor yang tidak ingin mengorbankan keuntungan mereka demi tujuan ESG yang lebih tinggi?

Dalam survei terbaru PwC, investor global menekankan pentingnya hasil terkait ESG seperti tata kelola perusahaan yang efisien dan pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai prioritas utama. Namun, 81% dari mereka hanya bersedia menerima pengurangan kecil dalam pengembalian investasi untuk mendukung tujuan ESG. Sebagian besar dari mereka bahkan menolak penurunan pengembalian sepenuhnya.

Bagi para pemimpin perusahaan, ini menimbulkan dilema: apakah perusahaan dapat menghasilkan kinerja finansial yang baik bagi investor sambil menerapkan strategi berkelanjutan jangka panjang? Jawabannya ya, asalkan perusahaan menemukan keseimbangan yang tepat antara tujuan jangka pendek dan investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan ESG jangka panjang.

Mungkin perusahaan yang berinvestasi dalam inisiatif ESG akan menghadapi tekanan pasar saham jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, tidak berinvestasi dalam ESG akan lebih merugikan. Kunci suksesnya adalah menerapkan visi ESG jangka panjang yang sejalan dengan ekspektasi investor terhadap kinerja jangka pendek. Cara perusahaan mengatasi dilema antara tekanan jangka pendek dan peluang jangka panjang adalah melibatkan pemangku kepentingan, terutama pemegang saham.

Perusahaan dengan visi strategis yang kuat terhadap ESG dapat membantu pemangku kepentingan untuk memahami peran perusahaan dalam konteks ESG. Pertanyaan yang harus dijawab adalah sejauh mana ESG menjadi penentu utama strategi perusahaan atau hanya kewajiban hukum.

Dalam menerapkan pendekatan ESG yang benar, perusahaan juga harus mempertimbangkan ekosistem bisnis tempat mereka beroperasi, karena persaingan semakin banyak bergantung pada ekosistem. Menyusun dan mengelola interaksi dalam ekosistem adalah kunci dalam mengatasi risiko ESG.

Kesuksesan perusahaan dalam ESG akan membantu membangun narasi yang mendukung investasi dan ekosistem yang bermanfaat. Kisah sukses perusahaan yang menerapkan ESG dengan baik terus tumbuh. Sebagai contoh, Neste, perusahaan minyak berbasis di Finlandia, berhasil berinovasi dalam penggunaan bahan bakar terbarukan melalui kemitraan dengan mitra ekosistem seperti McDonald’s. Mereka mengumpulkan minyak bekas dari restoran fast food dan mengolahnya menjadi bahan bakar diesel terbarukan.

Investasi ini membantu mereka mengubah citra perusahaan mereka menjadi pelopor dalam mengubah limbah makanan menjadi bahan baku yang berkelanjutan. Namun, semua dimulai dengan menetapkan pendekatan strategis terhadap ESG. Inilah permulaan yang harus ditempuh sebelum membangun kemampuan ekosistem yang diperlukan untuk mengatasi risiko ESG dan mengejar nilai yang ada dalam ekosistem.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PWC, dengan judul The CEO’s ESG dilemma. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.