Penulis:
Charles R. Vorst, MM., BCCS, CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP
Ketua IRMAPA

Belakangan ini sebenarnya ada isu besar yang kalau saja muncul tidak di tengah pandemi COVID-19 mungkin telah membuat geger masyarakat Jakarta. Isu tersebut adalah gempa bumi megathrust. Gempa bumi yang sering disebut dengan gempa megathrust ini mengancam Jakarta dengan kekuatan sebesar 8,7 skala Richter. Meski potensi gempa terletak di Selat Sunda atau Pantai Selatan Jawa, Jakarta memiliki struktur tanah lunak sehingga gelombang gempa teramplifikasi dan sebagai akibat, guncangannya lebih tinggi1). Adapun gempa megathrust terjadi akibat lempeng samudera bergerak ke bawah menghujam lempeng benua sehingga lempeng benua terdorong naik dan bergeser secara tiba-tiba2). Selain gempa bumi tektonik, gempa megathrust ini juga berpotensi menimbulkan tsunami dengan berbagai ketinggian di beberapa lokasi berbeda.

Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, mengingatkan potensi gempa megathrust ini dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Bencana Tahun 2021 pada hari Kamis, 4 Maret lalu. Ia mengimbau agar semua warga untuk tetap waspada dan mengingatkan kepala daerah untuk melakukan antisipasi3). Mengacu pada modeling Tsunami Observation And Simulation Terminal (TOAST) milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gelombang tsunami setinggi 12,4m sampai ke pantai di wilayah Pandeglang bagian selatan dengan membutuhkan waktu hanya sekitar 14 menit4). Artinya, hanya tersedia kurang dari 15 menit bagi masyarakat di sana untuk merespons dengan tindakan penyelamatan diri begitu mendapat informasi tentang terjadinya gempa dan tsunami, dan keterlambatan maupun kegagalan dalam melakukannya dapat berakibat sangat fatal. 14 Menit yang sangat berharga ini dikenal dengan waktu respons kritis, atau critical response time, karena tiap langkah keputusan sekecil apa pun dalam rentang waktu tersebut bisa menyelamatkan atau malah menghilangkan nyawa.

Dalam konteks penerapan manajemen kelangsungan usaha, atau dikenal juga dalam Bahasa Inggris dengan business continuity management (atau disingkat BCM), waktu respons kritis pemulihan fungsi suatu organisasi yang mengalami disrupsi dikenal sebagai sasaran waktu pemulihan (atau recovery time objective, disingkat RTO). Keterlambatan pemulihan melampaui RTO ini dapat berujung pada parahnya dampak yang harus ditanggung organisasi hingga melebihi batas toleransi bahkan kemampuan organisasi untuk menanggungnya. Begitu berharganya detik demi detik dalam rentang waktu RTO ketika sebuah krisis terjadi menjadi alasan bagi tiap organisasi yang menerapkan BCM secara efektif untuk menentukan RTO tiap fungsi bisnis kritisnya (critical business function) secara cermat dalam pelaksanaan analisis dampak bisnis (business impact analysis), menetapkan strategi dan rencana pemulihan dengan bijak dengan mempertimbangkan berbagai hal, menguji RTO, strategi, dan rencana tersebut berulang kali secara periodik, serta melatih para pihak yang dilibatkan dalam tindakan pemulihan untuk mampu melaksanakan peran dan tugasnya masing-masing dan “menjamin” agar deviasi yang mungkin terjadi antara rencana vs. realita tindakan dapat ditekan seminim mungkin.

Kembali pada potensi gempa megathrust di atas, IRMAPA mengimbau kepada seluruh profesional bidang BCM maupun manajemen risiko untuk memperkuat penerapan BCM (& manajemen risiko) di organisasi masing-masing dalam memperkuat ketahanan organisasi (organization resilience) sehingga secara kolektif berkontribusi positif kepada ketahanan kota (city resilience). Hendaknya potensi bencana megathrust ikut diperhitungkan dalam analisis skenario bencana utama (key disaster scenario) pada penerapan BCM organisasi, dan rencana tindakan penyelamatan dalam skenario penanganan krisis bencana megathrust dapat ikut menjangkau masyarakat sekitar, baik berupa penyediaan lokasi atau tempat perlindungan, shelter pengungsian, atau apa pun yang memungkinkan. Selain itu, konsultasi dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menjadi langkah penting untuk memahami potensi megathrust dan dampaknya, serta kemudian menentukan rencana tindakan darurat (emergency response plan) dan kontingensi usaha (business contingency plan) yang paling realistis untuk dijalankan.

Mengingat akan dampaknya, potensi bencana gempa megathrust memang pantas untuk dikhawatirkan. Namun khawatir saja tidak cukup. Melalui penerapan BCM, kita perkuat ketahanan organisasi terhadap potensi disrupsi dari bencana gempa megathrust, termasuk tentunya meningkatkan peluang keselamatan rekan-rekan kita yang berada di lokasi kerja. Karena kita tidak ingin bencana menjadi tragedi, dan karena kita mengerti setiap detik berharga kala krisis menerpa.

Referensi:

Info tentang Professional Development Program “BCM Berbasis ISO 22301” dari IRMAPA dan Proxsis, klik di sini.