Renanda Ardi Rifkan Pratama, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel Manajemen Risiko 2020
Ibarat gula dan semut, milenial dan media sosial (medsos) adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Hampir setiap milenial melakukan interaksi via medsos—kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya. Berbagai platform media sosial semacam Instagram, Facebook, Twitter, dan YouTube bukan hal asing dalam kehidupan milenial. Tak dapat disangsikan bahwa media sosial per hari ini sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang.
Risiko di Media Sosial
Layaknya kehidupan di dunia nyata, bermedsos di dunia maya juga memiliki risiko, aturan main, dan tata karma yang mesti diperhatikan. Jika melanggar, tentu ada ‘sanksi’ media sosial yang harus diterima. Sanksi itu dari yang terendah bisa berupa unfollow, dislike, atau komentar bernada menggunjing dari publik medsos—netizen—hingga yang terberat semisal penangkapan langsung karena melanggar undang-undang ITE.
Milenial sebagai kaum mayoritas di dunia maya mesti melek dan menyadari hal ini. Usia dan emosi yang labil sering kali membuat banyak kaum milenial bertindak gegabah yang ujung-ujungnya merugikan dirinya sendiri. Medsos yang seolah bebas sebebas-bebasnya memang menggiurkan bagi anak muda yang sedang mencari jati diri dan kebebasan berekspresi. Naas, banyak dari mereka yang sebenarnya belum siap untuk menggunakan media sosial. Kasus pornografi, bullying, hate speech, pencemaran nama baik, kekerasan, dan perilaku negatif lainnya lazim berseliweran di media sosial dan beberapa didalangi oleh milenial.
Dalam media sosial, kita harus menyadari adanya ketidakpastian (uncertainty) yang dapat memunculkan kemungkinan (probability) sebagai embrio dari risiko (risk). Manajemen risiko mengontrol itu semua dengan kesadaran sebagai kuncinya. Kesadaran bahwa medsos memiliki aturan dan etika, hingga kesadaran untuk tidak menelan mentah-mentah segala hal yang terdapat di dalam media sosial merupakan modal dan fondasi terdalam sebelum memutuskan bermedsos. Peran serta kontrol dari orang tua dan guru sangat vital untuk menanamkan kesadaran ini sebelum memberi izin anak-anaknya untuk berinteraksi di media sosial.
Risiko yang sering menjebak milenial di media sosial adalah hoax alias pemberitaan bohong. Tak hanya milenial, orang-orang dewasa pramilenial pun kerap termakan tipu daya hoax. Selain ketergesaan dalam menerima informasi tanpa merasa perlu untuk check and balance, kemasan yang apik dan penyaluran informasi yang cepat nan masif juga membuat setiap dari kita rawan tertipu oleh hoax. Tak bisa dimungkiri bahwa hoax adalah bentuk setan digital yang terkutuk.
Kisah Socrates
Socrates, seorang filsuf Yunani yang hidup dalam kurun waktu 469-399 sebelum Masehi punya cara jitu untuk memfilter sebuah informasi yang diterima. Metode Socrates ini kiranya sangat relevan untuk dijadikan sebagai perisai diri bagi milenial untuk melawan hoax. Kisah ini saya sadur dari buku Fahruddin Faiz berjudul Filosof Juga Manusia.
Syahdan, Socrates sedang berkunjung ke rumah salah seorang temannya. Memulai pembicaraan, temannya berkata kepada Socrates, “Socrates, tahukah kamu apa yang baru saja aku dengar tentang salah seorang muridmu?”
“Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum kamu bercerita, aku ingin kau menjawab tiga pertanyaan dariku. Namanya ujian tiga lapis. Pertama adalah ujian kebenaran. Sudahkah kau pastikan bahwa apa yang akan kau katakan padaku itu benar?”
“Tidak,” jawab temannya. “Sebenarnya aku baru saja mendengar dari seseorang …”
“Baiklah,” tangkis Socrates. “Jadi kau tidak benar-benar tahu apakah yang akan kau katakan itu benar atau salah. Sekarang mari menuju ujian yang kedua, yakni ujian kebaikan. Apakah yang akan kau katakan tentang muridku adalah sesuatu yang baik?”
“Tidak. Hm, bahkan sebaliknya.”
“Jadi,” kata Socrates, “kamu ingin mengatakan kepadaku sesuatu yang buruk mengenainya meskipun kamu tidak yakin apakah itu benar.”
Temannya mengangguk dan mulai merasa malu. Lalu Socrates melanjutkan, “Kamu mungkin masih bisa lolos, tetapi masih ada ujian yang terakhir, yakni uji kemanfaatan. Apakah yang akan kau katakan padaku tentang muridku akan memberi manfaat padaku?”
“Tidak. Kukira tidak.”
“Simpulannya, kalau apa yang akan kau katakan padaku itu tidak benar, tidak baik, dan juga tidak berguna, mengapa kau masih akan menyampaikannya juga?” pungkas Socrates.
Teman Socrates terdiam dan amat malu.
Penutup
Untuk menangkal hoax, tiga variabel yang terdapat dalam ujian tiga lapis Socrates mesti menjadi filter. Kebenaran, kebaikan, dan kegunaan. Jika salah satu dari ketiganya tidak kita jumpai dalam informasi yang kita terima dari media sosial, sudah selayaknya kita tidak mengonsumsinya, apalagi memberi like dan share kepada orang lain. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari godaan setan-setan digital hoax yang terkutuk.