Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Environmental, social, and governance (ESG) atau Lingkungan, Sosial, Tata Kelola telah berkembang dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan gerakan lingkungan menjadi suatu usaha yang kompleks. Dalam perkembangannya, ESG tidak hanya memperhitungkan dampak organisasi pada masyarakat dan lingkungan, tetapi juga mengidentifikasi risiko yang muncul dari perubahan iklim dan perubahan sikap terhadap isu-isu ESG.

Dari awalnya sebagai konsep yang bagus untuk dimiliki, ESG telah menjadi keharusan di dunia bisnis. Pemangku kepentingan dan investor kini menuntut tingkat transparansi yang lebih besar dalam operasi bisnis global, dan badan regulasi mulai memperkenalkan kerangka kerja dan standar untuk pengungkapan ESG. Di era ESG, tidak hanya dampak lingkungan dan sosial perusahaan yang diukur, tetapi juga identifikasi dan pengelolaan risiko terkait iklim, sosial, dan tata kelola perusahaan.

Manajemen risiko di era ESG menjadi semakin penting. Laporan Risiko Global 2022 Forum Ekonomi Dunia menunjukkan bahwa lima ancaman global teratas terkait dengan iklim. Dengan perhatian dunia yang semakin terfokus pada isu-isu iklim, terdapat kesadaran bersama bahwa risiko iklim sekarang dianggap sebagai risiko bisnis yang signifikan.

Task Force on Climate-Related Financial Disclosures (TCFD) berperan penting dalam mengangkat kesadaran akan dampak iklim pada bisnis. Konsep double materiality menggarisbawahi bahwa dampak organisasi pada iklim atau lingkungan dapat bersifat material, dan dampak terkait iklim melibatkan lingkungan dan aspek sosial.

Risiko ESG terbagi dalam tiga pilar utama, yaitu lingkungan, sosial, dan tata kelola. Risiko lingkungan mencakup transisi ke masa depan yang lebih hijau dan risiko fisik yang timbul dari perubahan iklim. Risiko sosial mencakup kondisi kerja, keamanan, hak asasi manusia, keberagaman, kesetaraan, dan inklusi. Sementara risiko tata kelola mencakup isu-isu seperti praktik anti-suap dan korupsi.

Skandal ESG semakin sering terjadi, menyoroti perlunya perusahaan untuk mengelola isu-isu ini dengan serius. Contoh skandal seperti emisi Volkswagen dan tumpahan minyak Deepwater Horizon menjadi peringatan bagi merek-merek yang belum mengambil risiko ESG secara serius. Selain itu, semakin banyak perusahaan yang dijatuhi denda karena praktik greenwashing. Greenwashing adalah upaya perusahaan untuk meningkatkan citra ramah lingkungan dengan cara yang menyesatkan atau palsu.

Perusahaan juga dihadapkan pada risiko eksternal yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan. Merek-merek yang bergantung pada sumber daya yang rentan, seperti air untuk produksi serat kapas, dapat menghadapi pasokan yang terbatas jika terjadi kekeringan. Harga karbon di masa depan juga dapat menjadi risiko finansial bagi perusahaan yang tidak mempertimbangkan emisi karbon mereka.

Dalam menghadapi risiko ESG, manajemen risiko menjadi kunci. Identifikasi risiko yang bersifat material untuk operasi perusahaan adalah langkah pertama, diikuti dengan upaya mencegah atau mengurangi dampak potensial dari risiko ini melalui perencanaan dan manajemen yang efektif.

Faktor risiko ESG seharusnya diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan dan manajemen risiko perusahaan. Perusahaan yang cerdas tidak hanya berusaha mengatasi risiko sebagai bagian dari ESG, tetapi juga menyelaraskan kerangka manajemen risiko dan keputusan mereka dengan strategi ESG. Ini bukan hanya kegiatan kepatuhan, melainkan investasi untuk bisnis jangka panjang yang berkelanjutan.

Melalui identifikasi dan evaluasi terus-menerus terhadap risiko ESG yang bersifat material, perusahaan dapat memahami dampaknya pada kegiatan operasional mereka dan menyusun strategi untuk mengelolanya. Manajemen risiko ESG bukan hanya baik untuk kepatuhan, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi bisnis.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Equilibrium, dengan judul How ESG Has Evolved into Risk Management and How You Can Prepare pada 30 November 2022. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.