Membangun Kerangka Tata Kelola Risiko Siber yang Kuat
Tata kelola risiko siber sering kali penuh dengan istilah teknis seperti batas toleransi risiko atau simulasi Monte Carlo. Namun, pada dasarnya ini adalah soal penerapan nyata untuk melindungi organisasi Anda.
- Tentukan Batas Risiko Anda
Menentukan “risk appetite” atau batas risiko yang dapat diterima adalah langkah awal yang penting. Ini melibatkan pemahaman tentang risiko-risiko yang mungkin dihadapi dan merumuskan batas risiko yang terukur, misalnya, “Kami siap menanggung kerugian hingga $1 juta per tahun.” Dengan batas yang jelas, pengambilan keputusan dapat menjadi lebih fokus dan efektif. - Sesuaikan Pengeluaran dengan CRQ
Setelah batas risiko ditetapkan, sesuaikan anggaran keamanan siber agar selaras dengan toleransi risiko tersebut. Gunakan Kuantifikasi Risiko Siber (Cyber Risk Quantification/CRQ) untuk mengukur apakah anggaran keamanan sudah cukup atau perlu penyesuaian. Grafik “loss exceedance curves” (LEC) dapat membantu memvisualisasikan kemungkinan kerugian dan dampaknya, sehingga Anda bisa memutuskan kapan perlu menambah atau mengurangi investasi keamanan. - Manfaatkan Asuransi Siber secara Efektif
Asuransi siber sebaiknya digunakan untuk insiden besar, bukan untuk kerugian rutin. Pilihlah cakupan asuransi untuk insiden yang dapat menimbulkan kerugian signifikan di luar batas risiko Anda. Misalnya, jika batas risiko Anda $5 juta, pertimbangkan asuransi yang melindungi dari kerugian hingga $50 juta, sehingga saat terjadi insiden besar, Anda memiliki perlindungan tambahan. - Siapkan Cadangan untuk Risiko Ekstrem
Selain asuransi, alokasikan dana cadangan untuk menghadapi risiko siber yang melebihi cakupan asuransi. Ini sangat penting untuk industri dengan persyaratan alokasi modal, seperti sektor jasa keuangan. Apabila terjadi kerugian yang sangat besar, dana cadangan dapat membantu perusahaan tetap stabil tanpa harus mengorbankan pendapatan utama.
Tata kelola risiko siber harus bersifat dinamis dan terus diperbarui. Lakukan evaluasi rutin terhadap batas risiko, anggaran keamanan, dan alokasi modal. Dengan menjaga kerangka tata kelola risiko tetap relevan dan adaptif, organisasi Anda akan lebih tangguh dalam menghadapi berbagai ancaman siber yang mungkin muncul.
Artikel ini telah diterbitkan oleh ISACA, dengan judul From Theory to Action: Building a Strong Cyber Risk Governance Framework. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Keseimbangan Rumit antara Risiko dan Manfaat AI
Bagaimana perusahaan Anda menghadapi risiko-risiko utama di dekade mendatang? Protiviti mengundang para eksekutif untuk berbagi wawasan dalam Top Risks Survey untuk membantu memahami tantangan risiko terdepan.
Teknologi kecerdasan buatan (AI) terus merevolusi bisnis, namun penggunaan AI juga membawa tantangan baru yang perlu diatasi. Chief Information Officers (CIO) dari perusahaan besar kini fokus menyeimbangkan inovasi AI dengan pengelolaan risiko, termasuk dalam aspek hukum, regulasi, dan reputasi.
Beberapa isu utama yang dihadapi CIO dalam mengelola risiko AI antara lain:
- Kebijakan Penggunaan yang Dapat Diterima
CIO berupaya menciptakan kebijakan AI yang aman namun tetap memfasilitasi inovasi. Banyak yang mempertimbangkan membatasi penggunaan AI publik, dan beberapa mengembangkan AI internal sebagai alternatif yang lebih aman. - Governance AI yang Fleksibel
Governance yang tanggap dan mampu mengikuti perkembangan AI sangat diperlukan agar teknologi tidak ketinggalan saat diterapkan. Pendekatan governance ini membantu perusahaan mengelola risiko sambil terus mendukung inovasi. - Menyeimbangkan Inovasi dan Pengendalian Risiko
Setiap organisasi memiliki pendekatan unik dalam mengadopsi AI. Beberapa bergerak cepat dengan inovasi AI, sementara yang lain lebih hati-hati. Keseimbangan antara risiko dan inovasi menjadi krusial, dan penting untuk membangun model operasi yang mencakup keduanya.
Langkah Menuju Penggunaan AI yang Bertanggung Jawab
Untuk perusahaan yang ingin memanfaatkan potensi AI dengan aman, langkah-langkah berikut bisa diterapkan:
- Mengembangkan kebijakan penggunaan AI yang komprehensif.
- Menerapkan framework governance yang lincah.
- Melibatkan perspektif inovasi dan risiko secara seimbang dalam setiap keputusan AI.
Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat memaksimalkan manfaat AI sembari meminimalkan risiko.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Protiviti, dengan judul CIOs Weigh In on the Delicate Balance of AI Risk and Reward. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Menguasai Seni Menjual Keberlanjutan
Keberlanjutan kini menjadi salah satu kriteria utama bagi pelanggan B2B dalam memilih pemasok. Berdasarkan survei Bain & Company tahun 2024, lebih dari sepertiga perusahaan bersedia beralih ke pemasok yang lebih ramah lingkungan, dan tren ini diprediksi meningkat. Namun, banyak pemasok masih kesulitan memenuhi harapan keberlanjutan pelanggan mereka. Meski 85% pemasok mengklaim telah mengintegrasikan keberlanjutan dalam produk mereka, hanya 53% pelanggan yang merasa kebutuhan mereka terpenuhi.
Untuk menutup kesenjangan antara pembeli dan penjual dalam keberlanjutan, pemasok perlu merancang ulang strategi pemasaran mereka. Berikut adalah empat langkah untuk menguasai penjualan keberlanjutan:
- Prioritaskan Pelanggan yang Peduli pada Keberlanjutan: Gunakan data untuk mengidentifikasi pelanggan yang lebih fokus pada keberlanjutan. Pemasok perlu memahami kebutuhan khusus, seperti target emisi, transparansi, dan aspek sosial, agar lebih tepat memengaruhi keputusan pembelian.
- Bangun Nilai Keberlanjutan yang Jelas: Setelah mengenal pelanggan lebih baik, pemasok bisa menyajikan nilai keberlanjutan yang relevan, seperti pengurangan emisi CO2 yang dapat diukur dan manfaat finansial lainnya.
- Perkuat Tim Penjualan dengan Pengetahuan Keberlanjutan: Penjualan keberlanjutan memerlukan keterampilan khusus. Pemasok perlu melatih tim penjualan untuk menawarkan produk yang mendukung agenda keberlanjutan pelanggan.
- Tangkap Semua Sumber Nilai: Produk berkelanjutan dapat membantu pelanggan memenangkan pasar baru dan meningkatkan nilai portofolio mereka. Pemasok harus menyelaraskan strategi harga dengan nilai keberlanjutan yang ditawarkan, sehingga bisa memaksimalkan potensi keuntungan.
Bagi banyak perusahaan, menjual keberlanjutan bukan hanya soal produk, tetapi tentang memanfaatkan peluang pasar baru. Adopsi strategi ini bisa memperkuat posisi pemasok di pasar, membantu mereka mempertahankan pangsa pasar, serta mendorong skala keberlanjutan lebih luas di berbagai sektor.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Bain, dengan judul How to Master the Art of Selling Sustainability. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Mengoptimalkan Manajemen Risiko dengan Kuantifikasi Risiko Siber
Di era digital yang semakin terhubung, perusahaan menghadapi tantangan besar dalam mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko siber. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi pihak ketiga memperumit lingkungan digital, membuatnya sulit untuk dilindungi dan rentan terhadap ancaman. Banyak pemimpin bisnis membutuhkan cara yang lebih efektif untuk mengukur risiko siber guna mencapai tujuan strategis mereka.
Pendekatan tradisional, seperti Governance, Risk, and Compliance (GRC), sering kali kurang efektif karena tidak memanfaatkan model analitik. Metode GRC cenderung fokus pada kepatuhan daripada penilaian risiko yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan para pemimpin tidak memiliki wawasan objektif mengenai risiko, menghambat pengambilan keputusan yang berdasarkan data.
Pendekatan Cyber Risk Quantification (CRQ) membantu organisasi mengubah data menjadi wawasan yang lebih mendalam mengenai risiko siber. Dengan menggunakan CRQ, organisasi dapat mengukur potensi kerugian finansial dari insiden siber, sehingga memudahkan perencanaan strategis dan alokasi sumber daya. CRQ juga membantu organisasi untuk secara objektif mengidentifikasi area prioritas dalam investasi keamanan, mengoptimalkan biaya, dan meningkatkan daya tahan siber.
Langkah Menuju Manajemen Risiko yang Terintegrasi
Transisi dari GRC ke manajemen risiko yang terintegrasi (Integrated Risk Management atau IRM) memberikan pendekatan berbasis data yang memungkinkan kuantifikasi risiko secara lebih akurat. Dengan CRQ, organisasi dapat menyelaraskan strategi keamanan siber mereka dengan fungsi bisnis lainnya, memperkuat komunikasi dengan pimpinan, dan mengambil keputusan yang lebih terukur.
Manfaat Pendekatan CRQ
Dengan CRQ, perusahaan dapat:
- Meningkatkan Ketahanan Siber – Memahami risiko dan mengurangi potensi kerugian sebelum insiden terjadi.
- Mengoptimalkan Pengeluaran Keamanan – Mengukur efektivitas kontrol keamanan dan memperbaiki kesenjangan risiko secara akurat.
- Mengurangi Premi Asuransi Siber – Wawasan CRQ yang akurat memungkinkan perusahaan untuk mengurangi premi asuransi melalui negosiasi berdasarkan data.
Secara keseluruhan, CRQ membantu perusahaan meminimalkan risiko sekaligus memanfaatkannya sebagai penggerak pertumbuhan. Pendekatan ini memperkuat dasar bagi pemimpin dalam menyusun kasus bisnis yang solid untuk investasi keamanan siber yang lebih baik dan memastikan keamanan selaras dengan tujuan bisnis.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Booz Allen, dengan judul Transforming Your Cyber Risk Management Program. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Mengidentifikasi dan Mengurangi Bias Manusia dalam Proses Kerja AI
Bias manusia dalam analisis data sudah lama diabaikan, tetapi dengan munculnya kecerdasan buatan (AI), masalah ini menjadi semakin nyata. Bias ini, baik yang terlahir dari faktor sosial atau kognitif tak sadar, dapat memengaruhi tahap-tahap penting dalam pengolahan data untuk AI, seperti pemilihan data, pelabelan, serta pembuatan dan penerapan algoritma. AI yang semakin kompleks sering kali sulit dijelaskan, meningkatkan risiko terjadinya bias dalam output yang dihasilkan.
Bias dalam Pengembangan dan Penerapan AI
Bias manusia dapat mempengaruhi beberapa tahap dalam pengembangan AI, antara lain:
- Data Latihan: Pemilihan dan pelabelan data masih sangat bergantung pada keputusan manusia, yang rentan terhadap bias.
- Algoritma: Pemilihan terminologi, indikator, dan bobot dalam algoritma juga dipengaruhi oleh bias pengembang.
- Penjelasan: Semakin kompleks aplikasi AI, semakin sulit untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat.
- Daya Alih: Tekanan waktu dan biaya mendorong pengembang untuk memodifikasi aplikasi AI yang sudah ada, daripada menciptakan yang baru.
Kesalahan dalam aplikasi AI dapat memiliki dampak ekonomi dan reputasi yang besar, sebagaimana yang terlihat pada kasus-kasus kesalahan AI di perusahaan besar.
Metode Mitigasi Bias Tradisional Tidak Cukup untuk AI
Bias manusia dalam model analisis tradisional biasanya diatasi dengan kerangka tata kelola yang telah teruji. Namun, untuk aplikasi AI yang berkembang pesat, kerangka tata kelola tradisional tidak cukup efektif. Aplikasi AI sering kali diimplementasikan dengan cepat tanpa proses desain yang panjang, yang menyebabkan bias sulit diidentifikasi dan diatasi.
Pendekatan ‘Intelligent Analysis’ untuk Mitigasi Bias
Untuk mengatasi masalah ini, konsep ‘Intelligent Analysis’ mengadaptasi metode yang digunakan oleh layanan intelijen AS untuk menganalisis data secara objektif dan transparan. Pendekatan ini menggunakan teknik analitik terstruktur yang dapat diterapkan dalam alur kerja AI, antara lain:
- Pertanyaan Intelijen Utama (Key Intelligence Question – KIQ): Mengidentifikasi dengan jelas pertanyaan yang perlu dijawab untuk menghindari bias dalam pencarian data.
- Rencana Pengumpulan Sumber: Menentukan sumber data yang relevan dan andal untuk menjawab KIQ.
- Penilaian Sumber: Menilai relevansi dan keandalan sumber data yang digunakan untuk hasil aplikasi AI.
- Pemeriksaan Asumsi Kunci: Memeriksa asumsi yang mendasari algoritma AI dan menilai sejauh mana data dan asumsi tersebut mendukung hasil yang valid.
Dengan semakin luasnya penerapan AI, risiko bias manusia dalam data dan algoritma juga meningkat. Namun, melalui desain dan pengujian yang cermat, bias dapat dihindari. ‘Intelligent Analysis’ menyediakan alat yang sudah teruji untuk mengurangi bias dalam dunia AI dan analisis data, sehingga perusahaan dapat menghasilkan aplikasi AI yang lebih akurat, transparan, dan dapat diulang.
Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul Identifying and Mitigating Human Biases Across AI Workflows.
Memahami Manajemen Risiko: Susun Tiga Garis dengan Benar
Manajemen risiko yang efektif sangat penting, tetapi banyak perusahaan kesulitan membagi peran dan tanggung jawab. Model Tiga Garis membagi tugas manajemen risiko menjadi tiga tingkat: operasional, manajerial, dan audit internal. Kesalahpahaman mengenai peran ini bisa menyebabkan celah dalam pengelolaan risiko.
Tiga Garis Pertahanan
- Garis Pertama: Mengelola risiko sehari-hari dalam operasional.
- Garis Kedua: Mengawasi dan mendukung manajemen risiko.
- Garis Ketiga: Memberikan penilaian independen mengenai efektivitas pengendalian dan manajemen risiko.
Memahami peran ini dengan jelas membantu meningkatkan pengelolaan risiko dan mendukung tujuan bisnis.
Kesalahpahaman di Garis Pertama: “Kami Bukan Bagian dari Manajemen Risiko”
Garis pertama sering menganggap tugas mereka hanya rutin, padahal mereka berperan penting dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko. Pelatihan rutin dapat membantu mereka menyadari pentingnya peran ini.
Kesalahpahaman di Garis Kedua: “Mitigasi Bukan Tanggung Jawab Kami”
Garis kedua sering hanya fokus pada kepatuhan, padahal mereka harus membantu manajemen mengembangkan pengendalian dan mengatasi masalah sebelum membesar. Memperjelas peran ini dapat meningkatkan pengelolaan risiko secara keseluruhan.
Tantangan di Garis Ketiga: Menjelaskan Peran yang Tidak Tumpang Tindih
Garis ketiga, yang biasanya dilakukan oleh audit internal, memberikan penilaian independen terhadap efektivitas pengendalian. Meskipun garis kedua juga mengawasi pengendalian, garis ketiga memastikan bahwa semuanya berjalan dengan semestinya.
Dengan memperjelas peran tiga garis, organisasi bisa mengelola risiko dengan lebih baik, meningkatkan pengendalian internal, dan memastikan tujuan tercapai.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Grant Thornton, dengan judul Risk Management: Get Your Three Lines in Order. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Tantangan Rantai Pasok Hulu di Industri Minyak dan Gas
Industri minyak dan gas, terutama di lokasi terpencil, menghadapi tantangan besar dalam rantai pasok hulu. Pengiriman bahan seperti pipa bor dan bahan bakar sering melibatkan transportasi yang rumit dan mahal, dengan risiko keterlambatan. Solusi yang dibutuhkan adalah pendekatan yang aman, transparan, fleksibel, dan biaya efektif.
Metodologi Empat Langkah Kearney
Kearney mengembangkan empat langkah untuk mengoptimalkan rantai pasok minyak dan gas, dimulai dengan pengumpulan data aktivitas dan berakhir dengan peta jalan implementasi.
- Penetapan Volume dan Biaya Dasar: Kumpulkan data terkait pergerakan material dan transportasi.
- Pemetaan Jaringan Pasok: Sesuaikan visi pasokan dengan pemangku kepentingan dan tentukan titik pasok serta moda transportasi.
- Pemodelan dan Pengujian Skenario: Uji skenario untuk mengidentifikasi risiko dan inisiatif perbaikan.
- Peta Jalan Implementasi: Tentukan urutan inisiatif untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi.
Kasus Nyata: Optimasi di Alaska
Kearney membantu perusahaan di Alaska mengelola pengiriman bahan untuk operasi yang sangat terpencil. Dengan 15 gudang dan berbagai moda transportasi, perusahaan menghadapi cuaca ekstrem dan biaya tinggi. Kearney mengembangkan peta jalan yang mengurangi biaya penyimpanan hingga 20%.
Peran Rantai Pasok dalam Proyek Strategis
Untuk hasil terbaik, fungsi rantai pasok, logistik, dan perencanaan harus dilibatkan sejak awal dalam perencanaan proyek strategis, memastikan efisiensi dan pengembalian modal yang lebih baik.
Dengan pendekatan ini, operator minyak dan gas dapat mengoptimalkan rantai pasok hulu dan mengurangi biaya operasi.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Kearney, dengan judul “Taming Oil and Gas: Upstream Supply Chain Challenges”. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Mengelola Risiko Likuiditas dari Deposito Tanpa Asuransi
Krisis perbankan pada tahun 2023 mengguncang industri keuangan dan menyoroti risiko besar yang ditimbulkan oleh deposito tanpa asuransi. Deposito ini seringkali menjadi yang pertama ditarik ketika terjadi masalah, terutama di era media sosial yang mempercepat arus informasi dan kekhawatiran publik. Pihak bank harus tahu cara untuk mengelola risiko likuiditas dari deposito tanpa asuransi melalui strategi mitigasi yang tepat.
Mengapa Risiko Deposito Tanpa Asuransi Berbahaya?
Deposito tanpa asuransi membawa risiko besar karena deposan tidak dilindungi oleh asuransi pemerintah, sehingga ketika nilai aset bank menurun atau ada berita buruk, deposan cenderung menarik dana mereka. Kejadian ini semakin cepat terjadi dengan adanya media sosial, seperti yang dialami oleh beberapa bank besar di tahun 2023, di mana penarikan dana mencapai hingga 57% hanya dalam dua minggu.
Langkah-langkah Mengelola Risiko Deposito Tanpa Asuransi
- Membangun Skenario Stres Likuiditas: Bank perlu mengembangkan skenario stres likuiditas yang mempertimbangkan aliran keluar deposito tanpa asuransi dalam periode satu hari, dua minggu, satu bulan, dan satu tahun. Ini akan membantu bank memprediksi dampak situasi kritis dan memastikan cadangan likuiditas yang memadai.
- Memanfaatkan Definisi Aset Cair Berkualitas Tinggi (High-Quality Liquid Assets): Bank dapat mengadopsi definisi aset cair berkualitas tinggi dari rasio cakupan likuiditas (Liquidity Coverage Ratio – LCR) untuk membantu membangun cadangan dana likuiditas yang lebih kuat dan lebih andal.
- Menggunakan Deposito Timbal Balik (Reciprocal Deposits): Untuk mengurangi insentif deposan menarik dana mereka, bank dapat mempertimbangkan produk inovatif seperti deposito timbal balik, yang membagi deposito besar menjadi segmen-segmen kecil yang lebih aman.
Manajemen risiko yang efektif harus mengakui risiko besar dari konsentrasi deposan besar dan ketidakpastian yang muncul dari deposito tanpa tanggal jatuh tempo. Bank perlu menerapkan asumsi konservatif dan melakukan pemantauan ketat terhadap risiko ini.
Pengalaman tahun 2023 menunjukkan pentingnya pengelolaan risiko deposito tanpa asuransi yang lebih baik. Melalui pengembangan skenario stres yang realistis, pengelolaan konsentrasi deposan, dan penggunaan instrumen likuiditas inovatif, bank dapat mengurangi potensi risiko dari deposito tanpa asuransi.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Garp, dengan judul How to Manage Uninsured Deposit Liquidity Risk. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Peran Baru Pemimpin Teknologi dalam Transformasi Digital Perusahaan
Di era transformasi digital yang semakin maju, pemimpin teknologi memegang peran penting dalam organisasi, dengan ekspektasi tinggi dari CEO dan dewan direksi. Dengan meningkatnya kebutuhan untuk memanfaatkan AI, AI generatif, dan teknologi canggih lainnya demi menciptakan nilai bisnis yang nyata, peran pemimpin teknologi kini meluas dari sekadar pengelolaan IT tradisional menjadi empat bidang utama:
- Orchestrator
Dalam peran ini, pemimpin teknologi tidak hanya mendukung inisiatif bisnis tetapi juga mengarahkan strategi. Mereka bertanggung jawab untuk menciptakan nilai, mengelola integrasi digital dan AI di berbagai departemen, serta memikul tanggung jawab laba-rugi (P&L). Hal ini membutuhkan kolaborasi erat dengan pemimpin bisnis untuk merancang strategi, menyelaraskan tujuan bisnis dan teknologi, serta menerapkan solusi teknologi yang mendukung pertumbuhan.
- Builder
Pemimpin teknologi semakin dituntut untuk menciptakan produk dan layanan digital yang menghasilkan pendapatan, melampaui dukungan back-office. Fokusnya adalah membangun bisnis berbasis AI yang dapat membuka pasar baru dan meningkatkan keterlibatan pelanggan. Membangun produk ini mengharuskan pemimpin teknologi untuk meningkatkan strategi digital yang memanfaatkan keunggulan unik perusahaan.
- Protector
Transformasi digital yang cepat juga meningkatkan risiko keamanan. Pemimpin teknologi perlu meningkatkan kemampuan dari sekadar praktik keamanan dasar menjadi ketahanan bisnis yang menyeluruh. Ini mencakup pengelolaan risiko secara proaktif, penyesuaian terhadap perubahan regulasi, dan perlindungan keberlanjutan bisnis di tengah ancaman siber dan risiko operasional yang semakin kompleks.
- Operator
Dengan mengintegrasikan teknologi ke dalam fungsi inti seperti pengalaman pelanggan, operasional, dan pengadaan, pemimpin teknologi membantu menghilangkan sekat antar departemen dan menyederhanakan proses bisnis. Peran ini memperluas pengaruh pemimpin teknologi di seluruh organisasi dengan fokus pada otomatisasi dan peningkatan berkelanjutan sistem internal.
Untuk mencapai kesuksesan, pemimpin teknologi harus menyesuaikan strategi mereka dengan prioritas bisnis, memfasilitasi adopsi teknologi baru, dan memastikan upaya yang terpadu dalam manajemen data, operasional, dan pengembangan talenta. Pergeseran ini memerlukan pendekatan lintas-fungsi, di mana pemimpin teknologi berperan sebagai orchestrator—menggerakkan transformasi holistik, bukan hanya menerapkan solusi teknologi yang terpisah.
Pada akhirnya, perjalanan pemimpin teknologi saat ini adalah tentang transformasi: dari sekadar mendukung inisiatif teknologi menjadi membentuk hasil bisnis yang nyata.
Artikel ini telah diterbitkan oleh McKinsey, dengan judul A New Dawn for The Technology Officer. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.
Manajemen Risiko Suku Bunga yang Efektif: Strategi untuk Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan suku bunga yang cepat dan kebijakan pengetatan kuantitatif telah mengubah dinamika sistem keuangan di Amerika Serikat (AS) dan global. Kondisi makroekonomi ini mengungkap kelemahan dalam strategi manajemen aset dan liabilitas bank. Beberapa bank mengalami kesulitan bahkan gagal, sementara yang lain mampu bertahan dengan meminimalkan risiko dan memanfaatkan kenaikan suku bunga untuk meningkatkan pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII).
Ketidakpastian masih menyelimuti frekuensi dan besaran perubahan suku bunga dalam jangka pendek hingga menengah. Oleh karena itu, institusi keuangan perlu mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap manajemen risiko suku bunga agar siap menghadapi dinamika kebijakan moneter yang tak terduga. Langkah ini akan berdampak signifikan pada profitabilitas jangka pendek dan stabilitas jangka panjang.
Meski perhatian regulasi terhadap risiko suku bunga sebelumnya cenderung kalah dibandingkan risiko likuiditas dan permodalan dalam era suku bunga rendah, kini ada tanda-tanda peningkatan pengawasan oleh otoritas di AS.
Tiga Strategi Kunci untuk Manajemen Risiko Suku Bunga
Dalam laporan terbaru “Transforming Interest Rate Risk Management Practices To Thrive In Era Of Uncertainty“, Oliver Wyman meringkas perubahan makroekonomi yang relevan dan tantangan yang dihadapi bank dalam mengelola neraca keuangan. Laporan ini menyoroti tiga area penting untuk meningkatkan kerangka kerja manajemen risiko suku bunga secara terpadu:
- Rekalibrasi Selera Risiko
- Sesuaikan pernyataan selera risiko (risk appetite) dengan kondisi pasar yang dinamis.
- Perkuat strategi pengelolaan neraca dan laba rugi sesuai selera risiko tersebut.
- Tingkatkan Analitik
- Gunakan alat analisis yang fleksibel untuk memproyeksikan dampak keputusan dalam berbagai skenario.
- Sesuaikan analisis data deposito dengan perilaku nasabah yang terus berubah.
- Investasi pada Keahlian dan Tata Kelola
- Kembangkan kompetensi tim.
- Sederhanakan pengambilan keputusan dan tata kelola.
- Perkuat peran independen fungsi risiko.
Dengan menerapkan strategi ini, bank dapat lebih siap menghadapi tantangan makroekonomi dan meraih stabilitas di tengah ketidakpastian.
Artikel ini telah diterbitkan oleh OliverWyman, dengan judul Effective Interest Rate Risk Management For Banks. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.