Beberapa insiden turbulensi udara yang menonjol baru-baru ini menyoroti peningkatan risiko iklim jangka panjang yang memengaruhi penerbangan. Pada 21 Mei, sebuah penerbangan Singapore Airlines dari London Heathrow menuju Singapore Changi mengalami turbulensi hebat, yang menyebabkan pesawat Boeing 777 turun sekitar 178 kaki dalam 4,6 detik. Penerbangan tersebut dialihkan ke Thailand, menyebabkan 104 cedera, termasuk seorang penumpang berusia 73 tahun asal Inggris yang meninggal dunia. Penumpang dirawat di rumah sakit Bangkok dengan berbagai cedera, termasuk cedera pada sumsum tulang belakang, kepala, dan otot.
Pada 22 Juni, penerbangan Korean Air menuju Taiwan juga terpaksa kembali dan melakukan pendaratan darurat setelah pesawat turun tajam sekitar 25.000 kaki dalam lima menit. Pada 8 Agustus, penerbangan Korean Air lainnya mengalami turbulensi yang melukai 14 orang.
Insiden-insiden ini lebih dari sekadar kejadian kebetulan. Turbulensi udara didefinisikan secara umum sebagai pertemuan udara dengan suhu, tekanan, atau kecepatan yang berbeda. Salah satu studi menunjukkan bahwa turbulensi udara jelas (Clear-Air Turbulence / CAT), yang terjadi di langit cerah, telah meningkat secara signifikan. Di atas Atlantik Utara, salah satu rute penerbangan tersibuk di dunia, durasi tahunan total turbulensi parah meningkat 55% dari 1979 hingga 2020.
Mengapa Turbulensi Udara Meningkat?
Menurut John Wadhams, direktur pelaksana global aviation & space di WTW, “Peningkatan turbulensi CAT yang parah sangat terkait dengan perubahan iklim.” Turbulensi jenis ini, yang terjadi tanpa petunjuk visual seperti awan, terutama disebabkan oleh perbedaan kecepatan angin di aliran jet — perubahan cepat dalam kecepatan angin dengan ketinggian. “Proyeksi menunjukkan bahwa kejadian CAT yang parah bisa meningkat tiga kali lipat pada tahun 2100 jika tren pemanasan global saat ini berlanjut,” katanya.
Wadhams menjelaskan bahwa perubahan iklim meningkatkan kontras suhu antara massa udara hangat dan dingin di atmosfer atas, yang menyebabkan perbedaan angin yang lebih kuat dan aliran jet yang kurang stabil, sehingga lebih mudah menghasilkan turbulensi.
Wadhams juga mengungkapkan bahwa industri penerbangan sedang memperbarui model prediksi turbulensi dengan algoritma yang lebih akurat. Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (The International Air Transport Association – IATA) telah meluncurkan program ‘Turbulence Aware’ untuk mengintegrasikan pengamatan turbulensi secara langsung ke dalam operasi penerbangan secara real-time.
Mark Prosser, meteorolog dari University of Reading yang memimpin studi CAT, mengatakan, “Maskapai perlu mengelola turbulensi yang meningkat ini karena menelan biaya industri sekitar $150 hingga $500 juta setiap tahunnya hanya di AS.” Setiap menit tambahan yang dihabiskan dalam turbulensi menambah keausan pada pesawat serta meningkatkan risiko cedera pada penumpang dan kru.
Nelson, seorang pramugari dan presiden Asosiasi Pramugari, menekankan bahwa transisi ke bahan bakar berkelanjutan harus dipercepat untuk mengatasi krisis iklim, sementara regulasi juga perlu diubah.
Wadhams menambahkan bahwa banyak maskapai mendorong penumpang untuk selalu mengenakan sabuk pengaman selama penerbangan meskipun tanda sabuk pengaman telah dimatikan, dan banyak maskapai juga menyertakan instruksi keselamatan baru untuk meningkatkan kesadaran penumpang dan kru tentang potensi cedera akibat turbulensi.
Sebagai contoh, Korean Air pada Agustus memutuskan untuk menghentikan penyajian mie instan Shin Ramyun (untuk penumpang kelas ekonomi) sebagai bagian dari langkah keselamatan proaktif untuk mencegah kecelakaan terbakar.
Perubahan ini, meskipun tampak kecil, dapat diharapkan akan lebih banyak terjadi seiring dengan meningkatnya gangguan yang disebabkan oleh iklim. Manajer risiko penerbangan akan terus mencari cara untuk menjaga perjalanan tetap aman dan lancar di tengah perubahan iklim yang semakin intensif.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Strategic Risk Global, dengan judul Risk briefing: Why is Air Turbulence Getting Worse – and What Does it Mean for Aviation Risk?. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.