Penulis:
Jeffrey S. Siregar, CGP, CCGO – Sekjen Profesional Governansi Indonesia (PaGI)

Berbagai inisiatif diambil oleh Kementerian BUMN untuk meningkatkan implementasi governansi korporat di BUMN. Peluncuran nilai-nilai yang menjadi basis pengelolaan BUMN yaitu AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) merupakan langkah strategis dalam transformasi budaya BUMN, dengan mengusung unsur yang paling utama yaitu integritas dan governansi, terutama manajemen risiko.

Salah satu inisiatif yang paling terkini adalah kewajiban dari Kementerian BUMN untuk pencantuman Top Risk perusahaan tahun 2021 sebagai bagian dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2021. Setelah sebelumnya dalam Surat Menteri BUMN No. S-949/MBU/10/2020 tentang Aspirasi Pemegang Saham/Pemilik Modal untuk Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Tahun 2021, perusahaan diwajibkan menyusun Profil Manajemen Risiko pada RKAP 2021, maka dari profil risiko yang telah disusun tersebut perusahaan diminta menetapkan Top Risk untuk tahun 2021.

Sebagai organisasi yang berfokus pada peningkatan implementasi governansi di sektor publik dan korporasi, Profesional Governansi Indonesia (PaGI) menyambut baik inisiatif yang diambil oleh Kementerian BUMN. Dengan penerapan manajemen risiko sebagai basis penyusunan RKAP akan mampu menjaga relevansi RKAP dengan berbagai unsur ketidakpastian yang tinggi di masa pandemi COVID-19 saat ini.

Selaras dengan salah satu tujuan pendirian PaGI, yaitu menjadi sebuah organisasi yang memiliki integritas serta kredibilitas dalam melakukan upaya-upaya yang mendorong terjadinya praktik bisnis berbasis governansi, PaGI mendukung sepenuhnya fokus perhatian Kementerian BUMN pada implementasi manajemen risiko, sebagaimana pernyataan Wakil Menteri BUMN Bapak Kartika Wirjoatmodjo pada akhir tahun 2020. Beliau menyatakan bahwa penguatan peran komisaris tersebut akan mulai diterapkan pada tahun 2021, diwujudkan dengan rencana besar untuk memperbaiki integritas dan tata kelola (governansi), terutama manajemen risiko.

Dalam Pedoman Umum Governansi Korporat Indonesia (PUGKI) yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) di akhir tahun 2019, Prinsip 2.3.1.1.1 menyebutkan bahwa “Dewan Komisaris harus mereviu dan menyetujui misi, visi dan strategi korporasi yang disusun oleh Direksi. Dewan Komisaris juga harus mereviu dan menyetujui rencana laba jangka panjang dan rencana laba jangka pendek korporasi. Dewan Komisaris harus memberikan advis dan supervisi kepada Direksi atas pengelolaan implementasinya”. Khusus mengenai profil risiko, PUGKI dalam Prinsip 2.3.1.4 menyebutkan bahwa “Dewan Komisaris harus menyetujui risk appetite korporat dan memantau secara berkala profil risiko korporat.”

Dari kedua Prinsip dalam PUGKI diatas, jelas bahwa keterlibatan Dewan Komisaris dalam reviu dan persetujuan RKAP merupakan suatu keharusan. Tentunya dalam proses persetujuan, Dewan Komisaris harus memahami RKAP dengan seksama. Untuk itu dalam proses penyusunan RKAP Dewan Komisaris harus dilibatkan sejak awal, sehingga advis yang diberikan oleh Dewan Komisaris dapat diakomodir lebih dini. Begitu juga halnya mengenai persetujuan Dewan Komisaris atas risk appetite dan pemantauan atas profil risiko. Tanpa pengawasan dari Dewan Komisaris (melalui Komite dibawah Dewan Komisaris) maka peran Dewan Komisaris sebagai governing body dalam framework risk governance tidak dapat diterapkan. Oleh sebab itu peran pengawasan Dewan Komisaris menjadi poin krusial dalam implementasi manajemen risiko di perusahaan.

Konsekuensi dari keharusan persetujuan risk appetite dan pengawasan profil risiko adalah perlunya pemahaman strategis mengenai manajemen risiko bagi Dewan Komisaris dan Komite dibawahnya. Satu hal yang pasti adalah bahwa pihak yang mengawasi harus memahami area yang diawasi. Akan mustahil bagi fungsi pengawasan untuk mengawasi hal yang tidak dipahaminya. Untuk itu pemahaman mengenai manajemen risiko wajib dimiliki baik oleh fungsi pengelolaan (Direksi dan jajarannya) maupun fungsi pengawasan (Dewan Komisaris dan komite dibawahnya).

PaGI berharap penyusunan profil risiko yang menjadi bagian dari RKAP, termasuk penetapan top risk, semakin mendorong pengelolaan BUMN yang prudent, dengan tetap mengedepankan pencapaian kinerja yang optimal. Catatan dari perspektif governansi korporat adalah bahwa dalam rangka mendapatkan profil risiko yang akurat dan handal, perlu dilakukan persiapan yang lebih memadai (dari sisi waktu dan pihak yang terlibat) untuk menyusun profil risiko, termasuk dalam penetapan top risk. Keterlibatan Dewan Komisaris, beserta komite dibawah Dewan Komisaris, sejak awal penyusunan dan penetapan profil risiko merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam implementasi governansi korporat. Kesepakatan antara Direksi dan Dewan Komisaris mengenai selera risiko (risk appetite) dan toleransi risiko (risk tolerance) harus dicapai agar pengelolaan risiko perusahaan berjalan dengan efektif.

Dapat dibayangkan apabila terdapat perbedaan selera risiko diantara Direksi dan Dewan Komisaris, yang terjadi adalah keputusan eksekutif yang tidak didukung dengan Langkah-langkah pengawasan yang cukup oleh Dewan Komisaris. Lebih jauh lagi, PaGI bahkan menengarai kasus-kasus yang terjadi di BUMN akhir-akhir ini merupakan salah satu ekses dari ketiadaan konsensus antara Direksi dan Dewan Komisaris mengenai profil risiko (yang diantaranya memuat selera risiko dan toleransi risiko). Hal ini tentunya tidak diharapkan oleh semua pihak, utamanya oleh Kementerian BUMN selaku perwakilan pemegang saham BUMN.

Artikel ini juga terbit pada website PAGI