Wajar jika Indonesia memenangkan Global Inclusion Award 2017. Dalam ajang yang digelar di Jerman bulan Mei, dunia internasional mengakui kesuksesan program inklusi keuangan Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia menyaksikan gerakan inklusi keuangan dilaksanakan secara massif.

Inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (OJK, 2016). Inklusi keuangan adalah kunci utama untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran (Bank Dunia, 2017).

Program inklusi keuangan ini dimotori Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan kementerian/lembaga dan didukung penuh industri jasa keuangan (IJK). Pemerintah sangat serius meningkatkan inklusi keuangan. Buktinya, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).

Sasaran Masyarakat Bawah

Inklusi keuangan didesain agar lebih banyak masyarakat (berpenghasilan rendah) yang mengakses produk/layanan jasa keuangan. Survey OJK menunjukkan bahwa pada tahun 2016 indeks inklusi keuangan di Indonesia sebesar 67,82%. Artinya, baru 67 orang dari 100 orang memanfaatkan lembaga jasa keuangan. Indeks ini naik dibandingkan tahun 2013 yang hanya 59,74%. Pada tahun 2019, indeks inklusi keuangan ditargetkan mencapai 75%.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengerek inklusi keuangan. Selain menerbitkan peraturan terkait inklusi keuangan, OJK bersama IJK kompak menggarapnya. Bagi IJK, upaya peningkatan inklusi keuangan adalah investasi yang akan besar hasilnya. Ada pengembangan materi literasi keuangan untuk jenjang pendidikan formal dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Contoh program lainnya adalah simpanan pelajar,  asuransi mikro, reksadana ritel, penyaluran bantuan sosial nontunai, optimalisasi aset wakaf, dll.

Momentum Ramadan dan Mudik

Ada fenomena terkait keuangan di seputar bulan Ramadan. Bulan ini, ada kecenderungan pengeluaran lebih besar. Beberapa faktor pendorong antara lain keyakinan bahwa pahala dilipatgandakan untuk yang bersedekah, adanya tunjangan hari raya, fenomena mudik, dan kecenderungan konsumsi pangan dan sandang yang lebih tinggi.

Ramadan adalah momentum tepat sebagai media untuk peningkatan literasi dan inklusi keuangan. Kita dapat jumpai pada lima hal ini. Pertama, Ramadhan dan pengelolaan keuangan. Kecenderungan ‘konsumtif’ harus dibarengi dengan keterampilan merencanakan dan mengelola keuangan. Kegembiraan sambut Ramadan dan lebaran perlu disandingkan dengan kesadaran tentang kondisi keuangan pascalebaran. Ini untuk mengingatkan agar tak konsumtif melebih kemampuan.

Kedua, mudik dan uang. Sudah menjadi tradisi bahwa mudik umumnya harus membawa uang untuk keluarga di kampung halaman. Para pemudik dianggap lebih sukses dari sisi materi. Mereka umumnya juga memiliki tingkat literasi (pemahaman) dan inklusi keuangan yang lebih baik. Pada saat itulah program literasi dan inklusi keuangan dapat dikenalkan di kampung melalui sosialisasi/edukasi. Para pemudik ini sangat potensial menjadi ‘duta edukasi keuangan’.

Mereka misalnya, dapat menjelaskan bahwa mudik tidak perlu membawa uang cash banyak. Uang cukup disimpan di bank dan bisa ditarik di ATM/bank di sekitar kampung halaman. Mereka dapat mengenalkan manfaat bank. Keluarga di kampung didorong untuk membuka rekening sehingga mudah untuk transfer uang dari kota. Dalam obrolan santai keluarga, para pemudik dapat mengenalkan bagaimana bisa meminjam uang ke bank untuk tambahan modal usaha atau membeli motor.

Ketiga, asuransi mudik. Para pemudik menghadapi risiko. Ada beberapa jenis asuransi yang dapat didesain khusus untuk pemudik. Diantaranya, asuransi perjalanan (termasuk asuransi kecelakaan diri) dan asuransi pencurian/kebongkaran (burglary insurance) untuk rumah yang ditinggalkan. Melalui financial technology, jenis-jenis asuransi tersebut bisa disajikan dan diakses lebih mudah.

Keempat, ramadan dan keuangan syariah. Hasil survey OJK, indeks inklusi keuangan syariah pada tahun 2016 Indonesia baru mencapai 11,06%. Momentum ramadan sangat tepat untuk mengenalkan dan meningkatkan kontribusi keuangan syariah yang saat ini baru sekitar 5%. Tentu saja menjual keunggulan keuangan syariah harus dikombinasikan antara konsep Islam dan keunggulan riil dibandingkan jasa keuangan konvensional.

Kelima, memanfaatkan dan memfasilitasi mudik gratis. Banyak organisasi mengadakan mudik gratis. Tujuan utamanya untuk mengurangi kecelakaan, mengurangi macet, dan sebagai tanggung jawab sosial. IJK dapat memanfaatkannya sebagai momentum tepat untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.

Para peserta mudik gratis dapat dibekali pengetahuan tentang industri jasa keuangan. Perusahaan dapat menggunakan dana corporate social responsibility atau dianggarkan dari biaya lainnya. Masih ada waktu untuk merealisasikan ide ini di mudik lebaran kali ini. OJK dan IJK perlu sinergi untuk menjadikan momentum ini efektif.

*****

Munawar

Pegawai Otoritas Jasa Keuangan
Ketua Bidang Edukasi dan Komunikasi Irmapa