Pada Kamis, 13 November 2025, Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan PT Mahija Energi Kastara Resolusi berkolaborasi menyelenggarakan Professional Development Program (PDP).
Sebagai bentuk inisiatif IRMAPA, PDP bertujuan untuk mendukung perkembangan profesi manajemen risiko di Indonesia dengan menghadirkan beragam topik pelatihan seputar manajemen risiko. Program ini dapat diakses oleh para profesional dari berbagai kalangan lintas sektor dan industri serta masyarakat luas.
Dengan dipimpin oleh MC Yuda, PDP digelar secara daring melalui Zoom pada pukul 9.00—12.00. Tema yang diangkat adalah “Breakthrough Carbon Trading: The Journey to Net Zero”.
PDP diawali dengan sambutan dari Direktur PT Mahija Energi Kastara Resolusi, Adelia. Dalam paparannya, Adelia menegaskan komitmen perusahaan sebagai mitra pemberdayaan berkelanjutan bagi setiap organisasi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tema PDP kali ini, menurutnya, dihadirkan untuk menjawab kebutuhan pengetahuan para profesional atas isu lingkungan yang makin relevan. Dirinya berharap, para peserta dapat memperoleh manfaat, inspirasi, serta solusi untuk diimplementasikan di lingkungan kerja masing-masing.
Agenda berikutnya adalah pemaparan materi dari dua narasumber: Dendi Adisuryo, S.H. (Senior Partner ADCO Law) dan Samudera Putra, S.S.T., MPA (Kepala Seksi KPP Pratama Tapak Tuan).
Dendi Adisuryo: Bisnis Harus Peduli Karbon
Dendi mengawali paparannya dengan menegaskan bahwa pembahasan karbon bukan hanya isu moral dan etika semata, melainkan juga isu ekonomi yang akan membentuk model bisnis di masa depan. Dirinya menjelaskan kerangka dasar kebijakan iklim global, mulai dari Paris Agreement (tindak lanjut dari Kyoto Protocol) serta komitmen Indonesia melalui nationally determined contributions (NDC) untuk menurunkan emisi hingga 31,89% secara mandiri atau 43,2% dengan dukungan internasional pada 2060.
Disebutkan oleh Dendi, seluruh pendekatan pemerintah berangkat dari konsep nilai ekonomi karbon (NEK) yang memiliki tiga peraturan utama: (a) Perpres 110/2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, (b) Permen LHK 21/2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, serta (c) Peraturan OJK 14/2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. Di samping itu, Dendi juga menyoroti alasan pemerintah menunda implementasi pajak karbon, yaitu terkait kesiapan regulasi, kesiapan administrasi, dan kondisi ekonomi masyarakat.
Selain aspek regulasi, sesi materi ini juga menggambarkan peluang bisnis yang muncul dari pasar karbon, mulai dari monetisasi proyek lingkungan, pemenuhan standar environmental, social, governance (ESG) global hingga mitigasi risiko Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Namun, sejumlah tantangan hukum juga berpotensi muncul, yaitu terkait kepemilikan kredit karbon, risiko double counting, isu konflik lahan, hingga keandalan teknologi pengurangan emisi.
Sebagai penutup, Dendi menekankan pentingnya peran profesional hukum dalam memastikan kepatuhan, penyusunan kontrak karbon, dan kebijakan ESG perusahaan.
Samudera Putra: Memahami Pajak Karbon di Indonesia
Dalam presentasinya, Samudera menjelaskan perbedaan antara pajak karbon dan perdagangan karbon. Dirinya menekankan bahwa kedua instrumen tersebut memiliki karakteristik berbeda meski tetap berjalan dalam kerangka nilai ekonomi karbon.
Samudera kemudian menguraikan mekanisme umum pajak karbon, mulai dari dasar hukum, sektor yang berpotensi menjadi objek pajak, hingga ketentuan ambang batas emisi. Pada tahap awal, pajak karbon di Indonesia menyasar sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, sebelum diperluas ke sektor lain. Samudera juga memaparkan bahwa tarif pajak karbon dirancang selaras dengan perkembangan pasar karbon domestik. Dengan demikian, implementasinya tidak berdiri terpisah dari mekanisme perdagangan karbon.
Terdapat dua skema penetapan harga karbon (carbon pricing) yang dibandingkan dalam paparan ini, yaitu pajak karbon dan emissions trading system (ETS). Jika pajak karbon memberikan kepastian harga, ETS memberikan kepastian kuantitas emisi. Di samping itu, hubungan pajak karbon dan perdagangan karbon menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga didiskusikan, terutama terkait kewajiban pemenuhan emisi, potensi pemanfaatan unit karbon untuk kepatuhan, dan peran pasar dalam menentukan biaya pengurangan emisi.
Tak lupa, Samudera memaparkan praktik-praktik global terkait penerimaan negara dari pajak karbon serta pelajaran yang dapat diadaptasi oleh Indonesia. Menurutnya, kesiapan administrasi, infrastruktur pelaporan, serta kejelasan metodologi penghitungan emisi merupakan komponen utama sebelum implementasi penuh dilakukan.
Melalui pemaparan dari kedua narasumber, PDP dari IRMAPA dan PT Mahija Energi Kastara Resolusi ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman para praktisi mengenai dinamika regulasi karbon serta membuka ruang diskusi lintas profesi. Setiap sesi pemaparan materi diikuti dengan sesi lanjutan berupa diskusi atau tanya jawab.

