Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua IRMAPA
Kasus PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) yang gagal bayar (default) MTN (Medium Term Notes) perlu dijadikan renungan, apakah dewan komisaris, direksi, dan komite audit perusahaan jasa keuangan perlu memiliki kompetensi tata kelola (governansi) dan manajemen risiko?

SNP Finance gagal bayar MTN yang mereka terbitkan pada tanggal 9 Mei dan 14 Mei 2018. Total kewajiban bunga utang yang harus dibayar mencapai Rp 6,75 miliar dari dua seri MTN. Menurut data dari KSEI, seluruh nilai MTN adalah sebesar Rp 1,852 triliun dengan jatuh tempo dan seri yang berbeda.

Nilai MTN yang jatuh tempo 2018 sebesar Rp 725 miliar dengan 5 seri. Sementara MTN yang jatuh tempo 2019 sebesar Rp 817 miliar dengan 10 Seri dan yang jatuh tempo 2020 sebesar Rp 310 miliar dengan 4 seri. Semua dengan rating A/Stable dari Pefindo.

SNP Finance juga kesulitan dalam membayar utang kepada para krediturnya. Nilai utang kredit mereka ke 14 bank mencapai Rp 6 triliun, di antaranya ke PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang memberikan kredit senilai Rp 1,4 triliun dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang memberikan kredit sekitar Rp 200 miliar ke SNP Finance.

Kisah berlanjut dengan aksi Bank Mandiri yang akan memidanakan kantor akuntan publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan SNP Finance, salah satunya adalah Deloitte Indonesia. Bank Mandiri berpendapat KAP tidak mengaudit laporan keuangan SNP Finance dengan sebenarnya. Kesimpulan ini diperoleh setelah Bank Mandiri mengkaji ulang laporan keuangan SNP Finance melalui KAP lain.

Ditinjau dari tata kelola perusahaan (governansi korporasi) dan manajemen risiko perusahaan, apa yang salah?

Sebagai perseroan terbatas, SNP Finance memiliki 2 (dua) organ yang mengurus korporasi. Organ pertama adalah Direksi yang berperan sebagai organ eksekutif pengelolaan korporasi, dan organ kedua adalah Dewan Komisaris yang berperan sebagai organ pengawasan dalam mengawasi aktivitas pengelolaan yang dilaksanakan oleh direksi.

Direksi mempertanggungjawabkan peran pengelolaannya dan dewan komisaris mempertanggung jawabkan peran pengawasannya kepada para pemegang saham melalui organ RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Kedua organ tersebut menjalankan perannya masing-masing demi kepentingan terbaik perseroan terbatas, bukan kepentingan pemegang saham, direksi, atau bahkan dewan komisaris, apalagi kepentingan pribadi.

Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, dewan komisaris dibantu oleh sebuah komite, yaitu Komite Audit. Komite tersebut dibentuk oleh dewan komisaris untuk membantu mereka memenuhi tanggung jawab pengawasannya, yang meliputi:

  • penelaahaan atas laporan tahunan auditan dan laporan keuangan perusahaan,
  • penelahaan terhadap proses pelaporan keuangan dan sistem pengendalian internal, serta
  • pengawasan atas proses audit.
  • bila dalam suatu perusahaan tidak ada komite lain yang dibentuk dewan komisaris yang fokus pada pengawasan pengelolaan risiko (misal: Komite Pemantau Risiko), maka komite auditlah yang diharapkan untuk membantu dewan komisaris dalam pemastian adanya pengelolaan risiko secara menyeluruh di organisasi (Enterprise Risk Management).

Oleh karena itu, keberadaan komite audit sangat diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dewan komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan mereka, yang pada akhirnya akan meningkatkan akuntabilitas perusahaan, terutama integritas informasi keuangan dan kualitas pengelolaan risiko yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik serta menekan terjadinya kecurangan dalam perusahaan.

Dengan terjadinya kasus PT. SNP Finance, muncul berbagai pertanyaan tentang efektifitas dewan komisaris dan komite audit SNP Finance yang sejatinya harus memastikan integrasi proses dan keluaran audit perusahaan. Apakah mereka memahami hal mendasar tentang tata kelola perusahaan dan pengelolaan risiko? Atau hal ini sebenarnya adalah puncak gunung es dari tidak adanya tata kelola yang baik sama sekali, dan tidak adanya pengelolaan risiko sebagaimana seharusnya? Lebih parah lagi, jika hal ini adalah bentuk kejahatan kerah putih korporasi yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab?

Terlepas dari berbagai alternatif jawaban, penulis hanya ingin berbagi pandangan dan opini bahwa kejadian seperti yang dialami oleh SNP Finance tidak perlu dan tidak boleh terjadi lagi. Hal ini hanya mungkin bila ekosistem berjalan dengan baik, di mana a) fungsi regulator secara efektif melakukan pengawasan proaktif, b) perbankan memastikan fungsi risiko kredit dijalankan dengan intens, dan c) organ perusahaan harus terisikan pihak berintegritas dan kompeten yang melandaskan segala proses pengambilan keputusan dan aksi mereka berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik (GCG = Good Corporate Governance) serta manajemen risiko terpadu yang efektif (ERM = Enteprise Risk Management). Dalam hal ini, rujukan sistem manajemen tata kelola berbasis ISO dapat dipertimbangkan, di antaranya adalah SNI ISO 37001 Anti Suap dan SNI ISO 19600 Manajemen Kepatuhan untuk tata kelola. Sedangkan penggunaan SNI ISO 31000 Manajemen Risiko dapat dipertimbangkan untuk penerapan manajemen risiko terpadu organisasi.

Karena kedua hal di atas yaitu sistem GCG dan ERM menyangkut faktor manusia dan budaya, adalah hal logis bila sistem GCG dan ERM tersebut didukung oleh personil yang memiliki kompetensi individu yang relevan, terutama personil di dua organ penting organisasi yaitu direksi dan dewan komisaris.

Bila perlu, dan sangat disarankan oleh penulis, setiap anggota direksi dan dewan komisaris memiliki sertifikasi kompetensi GCG dan manajemen risiko baik sewaktu hendak menjalankan ‘fit and proper test’ dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebelum diangkat oleh RUPS maupun sewaktu mereka aktif menjalankan peran sebagai direktur dan komisaris. Hal ini bahkan dapat diperluas bagi anggota komite dewan komisaris dengan keharusan sertifikasi kompetensi GCG dan manajemen risiko bagi semua anggota komite audit perusahaan, dan/atau komite lainnya yang dibentuk dewan komisaris, misal Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi, dan Komite Tata Kelola.

Mudah-mudahan hal di atas dapat terwujud sehingga kita tidak perlu melihat lagi kasus seperti SNP Finance terulang kembali di Indonesia.