Dua hal di atas yaitu komunikasi risiko (risk communication) – disingkat sebagai KR, dan komunikasi krisis (crisis communication) – disingkat sebagai KK cukup sering digunakan secara bergantian dalam pengelolaan risiko suatu organisasi.

Apakah dua istilah tersebut memang memiliki arti dan/atau fungsi yang sama, atau sebenarnya memiliki perbedaan mendasar?

Walaupun banyak definisi yang dapat dipakai untuk menerangkan apa itu KR dan KK dan sejauh apa cakupannya, ada beberapa hal mendasar sebagai karakteristik pembeda antara keduanya, yaitu:

  1.  Konteks dan tujuan KR dan KK sangat berbeda.

Tujuan KR umumnya terkait dengan penyampaian informasi mengenai perkembangan risiko yang dilakukan secara rutin, berkala, dan jangka panjang. Sedangkan tujuan dari KK umumnya terkait dengan penyampaian informasi yang bersifat darurat(emergency)  dan berisi komponen yang sangat dinamis, perlu ditangani sesegera mungkin.

  1. Sifat dari kejadian yang dihadapi.

KR menangangi suatu kejadian atau kondisi yang diperkirakan dapat terjadi, sehingga masih bersifat potensi dan memiliki tingkat probabilitas tertentu. Sebaliknya, KK menangani hal yang saat ini sedang terjadi atau bersifat aktual dan mendesak.

  1. Waktu yang tersedia untuk mencari solusi.

Solusi terkait dengan KK harus dilakukan sesegera mungkin karena waktu yang tersedia sangat sempit. Juga pengambil keputusan tidak akan sempat untuk menjalankan model pemecahan yang bersifat harus membangun konsensus terlebih dahulu, yang bersifat kolaboratif serta interaktif, terutama dengan komunitas yang terkena pengaruh krisis.

Karena konteks dan sifat kejadian yang ditangani sangat berbeda antara KK dan KR, praktisi manajemen risiko perlu menyiapkan langkah-langkah yang berbeda dalam pelaksanaan KK dan KR.

Pelaksanaan KR cukup masuk dalam tahapan komunikasi siklus proses manajemen risiko yang standar, berkala, dan memiliki prosedur baku. Termasuk pelaporan risiko yang dihadapi oleh organisasi, baik kepada regulator, atau kepada pemangku kepentingan lain terkait. Bila kita merujuk pada SNI ISO 31000, jelas tahapan proses ‘komunikasi risiko’ secara eksplisit ditekankan sebagai bagian kritikal dari keseluruhan proses manajemen risiko suatu organisasi. Sebaliknya, pelaksanaan KK membutuhkan gerak cepat dalam pengambilan keputusan karena keterlambatan komunikasi dapat membuat kerusakan yang jauh lebih parah bagi organisasi.

Untuk menghindari dampak fatal dari keterlambatan pemberian informasi pada saat suatu krisis terjadi, perlu dipastikan adanya suatu perencanaan komunikasi krisis bagi suatu organisasi. Sebaiknya perencanaan tersebut terpadu dalam keseluruhan strategi komunikasi organisasi dan proses pelaksanaan manajemen risiko organisasi terpadu (enterprise risk management).

Oleh karena itu, seorang CRO (Chief Risk Officer) dan/atau praktisi manajemen risiko perlu memastikan adanya perencanaan KK yang efektif dalam organisasi, sehingga bila suatu krisis terjadi, mereka sudah siap. Di bawah ini ada beberapa langkah umum yang dapat berguna bagi mereka sebagai rujukan dalam melakukan perencanaan KK tersebut:

  1.  Pastikan adanya filosofi berbasis nilai-nilai dasar yang mengapresiasi keterbukaan, cepat tanggap, tulus, profesional dan proaktif ketika krisis mendera. Nilai-nilai dasar ini harus tercantum dalam satu kebijakan perusahaan tentang penanggulangan krisis.
  1. Antisipasi dan simulasi suatu krisis dengan menggunakan skenario terburuk baik dari perspektif eksternal dan/atau internal. Dalam hal ini, identifikasikan kemampuan tim penganggulangan krisis dan ukur kesenjangan yang ada antara kemampuan tim saat ini dengan kemampuan tim yang diharapkan. Bila ada kesenjangan, perlu dipikirkan opsi apa yang tersedia dalam menutupi kesenjangan tersebut dan tentukan preferensi organisasi terhadap opsi yang ada.
  1. Bangun sistem early warning signal yang dapat membantu organisasi mendeteksi adanya potensi suatu krisis akan berkembang. Sistem ini perlu dipantau secara berkala.
  1. Pastikan ada juru bicara organisasi yang ditunjuk dan kompeten. Dalam hal ini, pastikan juga ada kebijakan dan prosedur baku sebagai rujukan bagaimana dan kapan si juru bicara harus berbicara kepada media dan pendukung/konstitutens bila suatu krisis terjadi.
  1. Buat pesan dan material penyampaian krisis dalam bentuk press release, baik untuk media cetak utama (mainstream)maupun media sosial. Kirimkan press release tersebut secara proaktif kepada mereka.
  1. Identifikasi dan bangun sekutu organisasi pada masa tidak ada krisis, sehingga mereka dapat membantu selama adanya krisis melaui sistem dan jaringan komunikasi yang sudah terbina sebelumnya.
  1. Pastikan adanya prosedur penanganan tindak lanjut dan proses menjawab berbagai pertanyaan dari media, pembangun opini, dan pertanyaan publik. Dalam hal ini, ciptakan sistem dan prosedur bagaimana memberikan update ke media, pembangun opini, dan kepada publik tersebut secara berkala dan secara bertanggung jawab.
  1. Pastikan juru bicara dan ahli media yang bekerja untuk organisasi selalu berkoordinasi dengan sekretaris perusahaan dan/atau legal concel agar berita yang tersedia di publik tidak memiliki risiko legal melekat di dalamnya.

Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG, CGEIT, CCSA, CRMA, CFSA,  CF, CFE