Penulis:
Charles R. Vorst, MM., BCCS, CERG, ERMCP, QCRO, QRGP, CCGO, CGOP
Ketua IRMAPA
Januari 2021 lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Master Plan Sektor Jasa Keuangan (MPSJKI) 2021-2025 bertemakan “Memulihkan Perekonomian Nasional Serta Meningkatkan Ketahanan dan Daya Saing Sektor Jasa Keuangan”. Adapun dalam master plan terdiri dari 2 pilar di mana Pilar I berjudul “Penguatan Ketahanan dan Daya Saing” dengan aspek penguatan penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan yang tersirat pada penguatan market conduct (atau dalam Bahasa Inggris disebut governance, risk management, and compliance, disingkat GRC) pada pelaku usaha sektor jasa keuangan (PUSJK). Menurut IRMAPA, langkah inisiatif OJK dalam mengeluarkan MPSJKI ini memberi tuntunan, namun sekaligus juga tantangan, kepada PUSJK. Karena selain menjadi kompas arah pengembangan sektor jasa keuangan hingga tahun 2025 untuk diantisipasi oleh PUSJK, MPSJKI 2021-2025 juga menyadarkan PUSJK bahwa agar secara kolektif bisa menikmati akselerasi pengembangan sektor jasa keuangan (SJK) di Indonesia, masih ada hal yang perlu segera dikerjakan, salah satunya adalah penguatan penerapan GRC.
Merespons hal ini, IRMAPA bersama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Asosiasi GRC Indonesia, pada hari Selasa, 2 Maret 2021, menyelenggarakan webminar “Peran SNI dalam Membangun Organisasi yang Tangguh dan Berintegritas dalam Persaingan Bisnis: Antisipasi Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia 2021–2025 – Pilar I: Penguatan Ketahanan dan Daya Saing”. Pada webminar ini, OJK berkesempatan hadir dengan diwakili oleh Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi, Bapak Enrico Hariantoro, M.Sc, dan memberikan paparan mengenai MPSJKI 2021-2025, berbagai latar belakang yang memengaruhi MPSJKI, serta secara khusus mengulas Pilar I MPSJKI terutama pada aspek tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan.
Bila menyimak isi MPSJKI maupun paparan OJK pada webminar maka setidaknya beberapa catatan berikut dapat kita simpulkan:
- MPSJKI ini dirumuskan dengan sangat logis oleh OJK, di mana Pilar I berisikan “penguatan” ketahanan (resilience), atau sering juga disebut ketangguhan, serta daya saing sektor jasa keuangan (SJK), dilanjutkan dengan Pilar II tentang “pengembangan” ekosistem jasa keuangan, dan yang terakhir Pilar III berisikan tentang “akselerasi” transformasi digital;
- Walau dirumuskan secara logis, SJK Indonesia mengawalinya MPSJKI dengan suatu titik start yang penuh tantangan di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung. Hal ini tersurat pada tema yang diusung maupun kebijakan jangka pendek 2020-2021 tentang upaya untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi (PEN) pada dokumen MPSJKI, serta tersirat secara jelas melalui paparan yang disampaikan OJK pada sesi webminar;
- Berkaitan dengan dua hal di atas, OJK memberikan pesan secara jelas kepada PUSJK bahwa penerapan GRC pada PUSJK merupakan salah satu hal yang perlu diperkuat, dikembangkan, atau ditingkatkan lagi efektivitasnya, jika ingin “berlari kencang” di era digital seperti yang tercerna pada Pilar II dan III MPSJKI.
Merespons berbagai hal yang disampaikan di atas, IRMAPA mengimbau kepada seluruh jajaran manajemen puncak PUSJK bahwa berbagai turbulence yang telah (dan kemungkinan masih akan dialami) akibat pandemi COVID-19, maupun keberadaan MPSJKI dari OJK dengan Pilar I-nya yang mengangkat aspek penguatan penerapan GRC, hendaknya menjadi final wake up call untuk secara sungguh-sungguh dan serius menerapkan GRC di lingkungan organisasi serta memastikan bahwa GRC tidak berhenti sebatas jargon melainkan benar-benar terwujud dalam praktik bisnis sehari-hari. Jika wake up call ini masih juga diabaikan maka bersiaplah untuk sebentar lagi terombang-ambing di tengah gemuruh badai VUCA dan gelombang tinggi disrupsi digitalisasi yang mematikan.
Tanpa penguatan manajemen risiko pada khususnya dan, pada konteks yang lebih luas, penguatan penerapan GRC pada PUSJK, SJK Indonesia akan sulit untuk terakselerasi perkembangannya. Atau pun jika harus berakselerasi karena era digital yang tidak mungkin dicegah kehadirannya maka daya saing PUSJK dalam memuaskan pelanggan dapat terancam, integritas dalam berbisnis dapat tercederai, dan pada akhirnya melalui systemic risk yang dikandung SJK, masyarakat luas dapat menjadi korban dengan menanggung beban terberat. Mencegah agar situasi pilu di atas tidak menjadi kenyataan, hendaknya para profesional bidang manajemen risiko, khususnya mereka yang berkarya di PUSJK, dapat menunaikan perannya dalam ikut memperkuat penerapan GRC di perusahaan masing-masing.
Sebagai profesional dan praktisi manajemen risiko, mari kita ikut memperkuat ketangguhan dan daya saing organisasi agar organisasi atau perusahaan yang kita cintai dapat melewati masa-masa sulit di tengah pandemi, bahkan lebih daripada itu, mampu menjadi organisasi yang tangguh (resilient organization), gesit (agile), dan terus bertumbuh (sustainably grow) bersama dengan berbagai transformasi digital yang inovatif dalam berbisnis.