Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Penipuan, terutama yang dilakukan oleh karyawan internal, tetap menjadi tantangan besar dalam sektor perbankan dan berisiko mengancam profitabilitas dan kelangsungan hidup bank. Skandal-skandal perbankan sebelumnya menunjukkan pentingnya pengelolaan risiko penipuan yang tepat. Penipuan dianggap sebagai risiko tinggi dengan kemungkinan rendah, tapi banyak bank gagal mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mencegahnya.

Untuk mengatasi penipuan, bank perlu membangun kerangka manajemen risiko yang komprehensif, yang meliputi:

  1. Mendirikan Struktur Tata Kelola: Unit anti-penipuan yang khusus harus mengawasi semua aktivitas yang terkait dengan penipuan, mempromosikan perilaku etis, dan memastikan tata kelola perusahaan yang efektif.
  2. Mengembangkan Strategi Anti-Penipuan: Strategi ini harus fokus pada pencegahan, deteksi, respons, dan pemantauan, dengan alokasi sumber daya berdasarkan profil risiko penipuan bank.
  3. Pemantauan Risiko Secara Berkala: Analisis data secara teratur untuk melacak tren penipuan dan mengevaluasi efektivitas pengendalian. Harapannya, pendekatan ini beradaptasi dengan faktor risiko internal dan eksternal.

Pandemi COVID-19 meningkatkan tantangan ini, karena gangguan ekonomi dan rantai pasokan meningkatkan potensi penipuan oleh karyawan. Oleh karena itu, bank harus memperbaiki struktur tata kelola, komunikasi, dan memanfaatkan teknologi untuk mendeteksi penipuan.

Meskipun ada upaya terbaik, penipuan masih bisa terjadi jika strategi tidak dijalankan dengan jelas dan efektif. Skandal besar sebelumnya menunjukkan pentingnya transparansi dan pengawasan yang cukup.

Penipuan internal mengancam stabilitas finansial bank, sehingga dibutuhkan kerangka manajemen risiko yang dinamis dan berkelanjutan. Selain itu, kepemimpinan yang kuat dan transparansi juga dibutuhkan untuk mencegah penipuan dan menjaga kelangsungan hidup bank.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA, dengan judul Fraud: The Gift That Keeps on Giving.