Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Dalam dunia merger dan akuisisi (M&A) yang terus berkembang, perhatian utama saat ini tertuju pada faktor Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG). Bukan lagi hal yang hanya diperhatikan oleh aktivis dan regulator, pertimbangan ESG kini menjadi bagian integral dari proses pengecekan M&A. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran mendalam dalam lanskap M&A, dengan pertimbangan ESG yang semakin dominan.

Double Materiality: Keuangan dan Dampak Sosial

Konsep kunci yang muncul dalam perubahan ini adalah “double materiality,” yang mencakup materialitas keuangan dan dampak. Pergeseran paradigma ini mengakui tanggung jawab perusahaan untuk memperhitungkan dampaknya pada masyarakat, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Dalam M&A, double materiality menjadi alat untuk menilai risiko dan peluang terkait strategi, operasi, produk, layanan, dan rantai nilai perusahaan.

Bendera Oranye ESG: Mengenali Risiko dalam M&A

Para dealmaker yang menyesuaikan diri dengan lanskap ESG yang berkembang, harus waspada terhadap enam “bendera oranye” kritis yang menjadi potensi risiko:

  1. Pemasaran Tidak Etis: Meneliti inkonsistensi antara pesan pemasaran dan kenyataan, serta dampak sanksi regulasi terhadap biaya transaksi.

   

  1. Risiko Reputasi: Pentingnya mematuhi regulasi, target internal, dan harapan pemangku kepentingan untuk menghindari perhatian negatif dan kerugian pendapatan.
  1. Risiko Tinggi dalam Rantai Pasokan: Menangani risiko baru dalam rantai pasok global akibat konflik, ketegangan perdagangan, dan peristiwa iklim.
  1. Karyawan yang Tidak Terlibat: Pentingnya keterlibatan karyawan dalam mengesahkan kredensial ESG perusahaan.
  1. Transaksi Transformatif yang Tidak Terjadi: Pentingnya menyeimbangkan kompromi kompleks antara isu-isu sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  1. Pengungkapan Nonfinansial yang Tidak Memadai: Fokus pada masalah kelanjutan seputar transparansi data yang dilaporkan dan validitas pengungkapan.

Metrik ESG tidak lagi sekadar istilah modis; mereka menjadi pemicu nilai dalam M&A. Para dealmaker yang mengintegrasikan ESG dalam proses pengambilan keputusan dapat membuka nilai dan berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan mengatasi bendera oranye yang diidentifikasi, perusahaan dapat berhasil menavigasi lanskap ESG, menciptakan transaksi yang tangguh dan bermakna.

Dalam dunia dinamis M&A, memahami dan menavigasi pertimbangan ESG bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan bagi mereka yang ingin berhasil dalam lanskap bisnis yang terus berubah.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PWC, dengan judul Will ESG Factors Create or Destroy Value in Your Next Deal? Six Orange Flags for Dealmakers. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.