Oleh: B. Pradipta dan Sekretariat IRMAPA

Seorang manajer risiko sering kali memiliki pemikiran yang bersebrangan dengan konsensus. Saat sebuah bisnis sedang berupaya untuk mengikuti strategi baru, peran manajer risiko sangat diperlukan. Manajer risiko akan menganalisa berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.Misalnya, bahaya apa yang mungkin ditimbulkannya dan bagaimana hal itu dapat dikurangi, dihindari, atau dilindungi. Dengan kata lain, manajer risiko bertugas untuk meminimalisir konsekuensi dari tindakan yang keliru.

Sama halnya dengan Environment, Social, and Governance (ESG) yang saat ini tengah jadi perhatian utama investor global. Mengutip dari buku “The economic realities of ESG” karya Chalmers, James, setidaknya 79% investor menganggap ESG sebagai faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Pasalnya, manajemen ESG dinilai meningkatkan tuntutan tindakan dan transparansi dari perusahaan.

Manajer risiko di semua sisi harus menyadari dinamika ini. Meskipun ESG memiliki potensi untuk menuai hasil, hal ini bergantung pada seberapa hati-hati rencana diluncurkan. Tiap risiko memiliki tempatnya dalam mengklarifikasi, seperti saat mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman atau memprovokasi pemikiran tentang apa yang salah.

Latar Belakang

ESG bukanlah hal baru dalam ilmu manajemen. Bisa dikatakan ESG telah melalui banyak transformasi. Dilansir laman ESG Integration in Canada, bentuk awal ESG dimulai pada tahun 1960-an.ESG dinilai sebagai investasi yang bertanggung jawab secara sosial dan saat ini sedang dalam revolusi terbarunya.

Selain itu, ESG juga dianggap sebagai keranjang konseptual yang terdiri dari ide-ide etis tentang bagaimana perusahaan harus berperilaku sehubungan dengan tanggung jawab non-keuangan mereka. Revolusi ESG telah membuang ide-ide yang tak sesuai selama bertahun-tahun. Secara kritis, dalam penampilan ini, ESG lebih fokus pada umur panjang. Seperti yang dikatakan oleh makalah OECD tentang investasi ESG, ada ‘momentum yang berkembang bagi perusahaan dan lembaga keuangan untuk beralih dari perspektif risiko dan keuntungan jangka pendek’.

Berdasarkan sifatnya, faktor-faktor Long Term Support (LST) bersifat kompleks dan berkisar dalam cakrawala waktu dari langsung ke generasi, hingga eksistensial, contohnya iklim. Ini menghadirkan tantangan analitis yang hebat bagi mereka yang mencoba mengintegrasikan faktor ke dalam penilaian dan model bisnis. Terlebih lagi, mereka bisa sangat abstrak, keluar dari deskripsi sederhana dan disepakati.

Pertanyaan 1: Bagaimana kita mendefinisikan ESG?

Pertanyaan 2: Bagaimana ESG sesuai dengan strategi dan persaingan kita yang lebih besar?

Dengan sesuatu yang meresap seperti kembalinya ESG baru-baru ini, seharusnya tidak ada interpretasi yang mengejutkan. ESG bisa diperjelas melalui survei, contohnya jika Anda bergelut dalam bisnis apotek atau minimarket. Menurut artikel Issues We Care About dari Ben & Jerry’s, konsumen cenderung teliti dalam memilih produk yang akan dibeli. Konsumen akan lebih tertarik dengan produk lokal, bebas dari kekejaman dan racun, bebahan dasar vegan dan organik, pengganti daging, dan bahkan es krim dengan pesan politik atau sosial.

Titik-titik tersebut terhubung dari rangkaian produk baru ini langsung ke ESG dan bagaimana perusahaan mengubah citra mereka menjadi investor. Tetapi dengan variasi seperti itu, ada jebakan jika ESG dibiarkan tidak ditentukan. Di satu sisi, berusaha menjadi segalanya bagi semua orang membuat perusahaan terbuka terhadap keinginan pasar. Namun perlu diingat, mengabaikan ESG akan membuat perusahaan tampak acuh atau meremehkan. Bahkan mungkin perusahaan mengejar tujuan ESG tanpa menyadarinya perlunya menyesuaikan pendekatan zaman.

Berdasarkan makalah hasil survei CFA Institute dan PRI5 pada para profesional keuangan global, mayoritas berpikir ESG sebagai layar negatif. ESG dianggap sebagai cara mengecualikan aset yang dapat diinvestasikan seperti produsen batu bara beremisi berat (berdasarkan dampak lingkungan) atau produsen rokok (atas dasar sosial). Sebagian besar responden menganggapnya hanya sebagai alat, bahwa investasi ESG akan memudar demi analisis. Hal ini masuk akal jika Anda mempertimbangkan beragam pendekatan investasi, mulai dari arbitrase hingga short-selling, di mana menyaring kandidat bertentangan dengan mandat investasi.

Berfokus pada pertanyaan pertama, bagaimana kita mendefinisikan LST harus berbeda dari pesaing kita.

Namun tak cukup sampai di situ saja masih ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan ESG. Termasuk tentang bagaimana menggunakan ESG dalam membatasi alam semesta yang dapat diinvestasikan.Secara implisit, menerapkan ESG juga sebagai strategi lubang merpati yang dapat sangat memengaruhi kinerja keuangan. Kepatuhan terhadap batasan baru dapat mendorong tujuan kinerja keluar dari jangkauan (sesuatu yang harus terbuka untuk diskusi dan debat manajemen). Ini tidak jauh berbeda dengan investor yang dipaksa menuruni kurva kredit, menjadi emiten yang lebih berisiko, untuk mempertahankan hasil dan memenuhi tujuan keuangan.

Ya, melakukan hal itu berisiko peristiwa kerugian kredit dan risiko reputasi, tetapi jika pertukarannya jelas maka batas risiko dapat dikalibrasi di sepanjang jalan. Perusahaan yang beralih ke ESG sebagai perhatian utama mungkin menerima kerugian atau selip pada tujuan lain bagi mereka yang khawatir tentang risiko reputasi. Namun, hal ini harus diingat: perusahaan yang gagal tidak berkontribusi apa pun pada sasaran LST. Sementara itu, memiliki sasaran tetapi tidak bertindak sesuai juga merupakan risiko yang jauh lebih besar.

Tindakan penyeimbangan memang rumit dan memiliki efek yang luas. Sebagian besar investor sangat menyadari potensi konflik antara ESG dan kewajiban fidusia mereka.

Survei investor PwC membuktikan, “81% tidak mau menerima pengurangan pengembalian apa pun atau hanya akan menerima penurunan sebesar 1 poin persentase atau kurang”.

Artinya, 1 dari 20 investor bersedia memberikan 3 poin persentase atau lebih dalam penyeimbangan kembali. Saat ESG didefinisikan dan cocok dengan strategi kita maka terjawab sudah pertanyaan 1 dan 2.

Pertanyaan 3: Apakah tujuan ESG tangguh dan apakah kita memiliki rencana untuk meleset?

Dengan perusahaan mengikuti jejak PBB dengan mendukung tujuan 2030 (dan bahkan tujuan 2050), masuk akal untuk mengharapkan beberapa fluktuasi di sepanjang jalan.  Sebagai manajer risiko, kami menyadari betapa buruknya rencana jangka panjang berjalan dengan baik dan harus mengadvokasi toleransi dan rencana darurat. Beberapa tujuan ESG tidak dapat ditetapkan secara kaku, mengakui hal ini menetapkan ekspektasi yang lebih masuk akal pada semua orang dan menghilangkan penekanan kesalahan sebagai kesalahan. Analisis skenario, kebijakan, infrastruktur, dan alat risiko lain yang sudah usang akan sangat berharga dalam membentuk tujuan yang dapat dicapai.

Peluang terbesar dengan ESG, jika dianggap serius, adalah kesempatan untuk melihat beberapa dekade ke depan (di luar tekanan persaingan langsung dan pandangan sempit pasar). Jika diambil, itu harus mengarah pada investasi modal dan pengaturan mandiri yang mendukung investor dan pemangku kepentingan lainnya, baik lingkungan maupun masyarakat. Niatnya bagus tapi itu hanya bagian dari teka-teki, ESG dapat menggunakan suara risiko untuk memandu masa depannya.

Artikel ini telah diterbitkan oleh PRMIA Intelligent Risk, dengan judul The Voice of Risk: How to Avoid ESG Missteps by Carl Densem pada November 2022. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.