Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah IRMAPA
1 Januari 2020

Menjelang akhir tahun 2019, penulis sempat berdiskusi mengenai artikel yang ditulis oleh Steve Farber dari institusi “Extreme Leadership”. Beliau membahas sudut pandang bila seorang pimpinan organisasi hendak menerapkan ‘extreme leadership’ dalam manajemen risiko, maka mereka perlu berjuang agar mampu dan berani dalam mengambil aksi risiko kepemimpinan yang tepat pada saat yang tepat pula.

Apa saja aksi risiko yang perlu diambil tersebut?

Steve Farber menyarankan lima aksi risiko kepemimpinan di bawah ini yang perlu dipertimbangkan untuk dieksplorasi dan diuji coba oleh para pimpinan organisasi:

Risiko untuk memberikan kesempatan kedua (The Risk of Forgiveness)
Risiko untuk menerima adanya kelemahan (The Risk of Vulnerability)
Risiko untuk mengedepankan integritas (The Risk of Integrity)
Risiko untuk memberikan dukungan (The Risk of Giving Support)
Risiko untuk mengatasi of kesulitan (The Risk of Adversity)

 

1. Risiko untuk memberikan kesempatan kedua (The Risk of Forgiveness)
Adalah upaya berisiko yang diambil oleh pimpinan untuk memberikan kesempatan kedua bagi karyawan dan/atau bawahan yang pernah gagal dalam upaya mencapai sasaran bersama.

Walau memberikan kesempatan kedua adalah hal yang mungkin sangat berisiko bagi pimpinan dan organisasi, aksi ini dapat menjadi kesempatan untuk membangun kepercayaan, loyalitas dan komitmen dari mereka yang pernah gagal tersebut. Dengan adanya kesempatan kedua, dapat diharapkan bahwa mereka akan memperoleh rasa percaya diri kembali yang pada akhirnya memampukan dan memotivasi mereka untuk memberikan hasil memuaskan di masa mendatang.

Secara singkat, pimpinan melakukan tiga hal yaitu: memaafkan, melatih, dan membiarkan mereka yang pernah gagal untuk mencoba lagi (forgive, Coach, and Let them try again).

 

2. Risiko untuk menerima adanya kelemahan (The Risk of Vulnerability)
Adalah upaya berisiko yang diambil oleh pimpinan untuk mengakui dan menerima adanya titik lemah diri mereka sendiri sehingga sebagai seorang pimpinan, dia akan dapat memperoleh hal terbaik dari anggota tim yang dipimpinnya.

Ide dasar dari upaya ini adalah menunjukkan bahwa seorang pimpinan adalah seseorang yang manusiawi dan juga memiliki kelemahan. Ide ini seakan-akan paradoksial, tetapi sebetulnya akan sangat efektif – sepanjang hal ini relevan terhadap situasi yang dihadapi oleh organisasi.

Jangan sampai salah tafsir seakan-akan ide ini berbentuk sebagaimana seorang pimpinan berdiri di depan timnya sembari berlinang air mata karena tersentuh tontonan film tertentu atau tersentuh akan kasus sensitif tertentu. Ide ini lebih menekankan bagaimana seorang pimpinan menunjukkan kepedulian bersama mengenai tantangan yang dihadapi, mengenai proyek yang menantang, dan mengenai keputusan-keputusan yang sulit – yang bila tersampaikan secara efektif akan menjadi inspirasi dan stimulan bagi tim untuk memberikan yang terbaik dari mereka masing-masing.

Secara singkat, pimpinan melakukan tiga hal yaitu: mengakui dirinya ada titik lemah yang memerlukan kekuatan tim untuk menyelesaikan banyak tantangan, membangun kepedulian tim bersama, dan membangun kapasitas serta kekuatan untuk maju sebagai tim dan organisasi.

 

3. Risiko untuk mengedepankan integritas (The Risk of Integrity)
Adalah upaya berisiko yang diambil seorang pimpinan untuk selalu mengedepankan integritas pengambilan keputusan dengan tindakan aksi sehingga menjadi pegangan kokoh bagi anggota tim dalam memberikan dukungan terhadap keputusan dan tindakan aksi tersebut.

Hal seperti di atas dibutuhkan bagi pimpinan dalam mengambil keputusan inovatif yang kadang kurang populer karena tidak mudah langsung dipahami oleh anggota tim.

Dalam hal ini, integrasi bukan berarti keras kepala dan tidak berani mengubah keputusan bila ternyata memang ada asumsi yang tidak tepat. Integrasi tetap memberikan ruang bagi pimpinan untuk mendengar dan memastikan apabila memang ada informasi yang menunjukkan bahwa ada salah arah dan/atau asumsi mendasar dalam pengambilan keputusan. Bila hal tersebut terjadi, pimpinan perlu mengesampingkan ego mereka, menerima adanya kesalahan tersebut dan melakukan penyesuaian arah yang diperlukan.

Yang perlu diperhatikan dan dipastikan adalah penting bahwa pimpinan belajar pada saat krusial bagi mereka untuk tetap teguh terhadap diri sendiri. Bilamana mereka sejatinya yakin berada di jalur yang tepat, maka jalankan keputusan yang sudah diambil serta buktikan manfaat nyata sebagai hasil dari keputusan tersebut.

Bila pimpinan diminta untuk kompromi terhadap integritasnya dan ditekan untuk melakukan sesuatu hal yang merusak nilai-nilai luhur yang dipercayainya, pimpinan harus bertahan teguh. Dengan itu, walau dalam tekanan, pimpinan akan mampu menunjukkan kepada yang lainnya bahwa mereka berkomitmen terhadap apa yang dilakukan dan apa yang terbaik bagi perusahaan. Hasilnya, anggota tim akan berdiri menyokong eksekusi dari keputusan yang telah diambil tersebut.

 

4. Risiko untuk memberikan dukungan (The Risk of Giving Support)
Seorang pimpinan harus siap mendukung anggota tim yang dipimpinnya, terutama pada situasi yang tidak mudah untuk dilakukan. Misal, dalam suatu rapat ada anggota tim yang melontarkan ide kreatif tetapi tidak terlalu menarik dan terdengar sebagai sesuatu yang dangkal atau masih mentah. Dalam hal ini, seorang pimpinan sebaiknya berusaha untuk mendengarkan dan memahami sepenuhnya alasan di belakang ide tersebut.

Pimpinan harus menghargai usaha si pelontar/penyaji ide untuk berdiri dan menyampaikan idenya. Setelah itu pimpinan disarankan untuk melakukan diskusi terbuka dengan keseluruhan tim, menanggapi ide kreatif tadi, dan memberikan dukungan terhadap keberanian orang tersebut dalam mengekspresikan ide kreatifnya.

Bilamana ada anggota tim yang memiliki ide hebat – terutama yang bertentangan dengan status quo organisasi – lakukan usaha pendukungan dan interferensi serta merepresentasikan masukan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marshall Goldsmith (note: Uber Coach) “Challenge up; support down”, bayangkan loyalitas yang akan diperoleh dari anggota tim bila pimpinan melakukan hal di atas.

 

5. Risiko untuk mengatasi kesulitan (The Risk of Overcoming Adversity)
Adalah hal yang sangat mudah bagi seseorang untuk menyerah terhadap kesulitan yang menimpa dirinya. Sayangnya, dalam banyak situasi hal ini sering terjadi bahkan dalam lingkungan profesional bisnis.

Sebagai pimpinan, adalah tugas kita untuk menerima adanya kemunduran, tantangan, hambatan, dan kesulitan, dan mencoba mengubahnya menjadi kesempatan untuk berinovasi.

Hal di atas mudah diucapkan tetapi sukar dipelajari dan dipraktikkan, karena hal tersebut memiliki dua sisi: Kesulitan berarti kita berada pada risiko untuk terlukai dalam beberapa hal misal keuangan, emosional, fisikal, dan lain sebagainya – tetapi juga merupakan satu-satunya cara untuk keluar dari kesulitan tersebut, yaitu mengambil risiko dengan melakukan hal yang berbeda atau isitilah umum yang dikenal adalah ‘The only way out of risk, is risk’.

Demikian ulasan kelima aksi kepemimpinan risiko yang mudah-mudahan bermanfaat sebagai bahasan bagi sesama praktisi manajemen risiko di Indonesia. Sebagai penutup, kondisikan diri kita sendiri – melalui ‘trial-and-error’ yang konsisten untuk mencoba lima hal di atas. Semakin sering mencoba, akan semakin fasih dan mahir dalam menerapkannya.