Penulis: Dina Lianita Sari, M.Si, QCRO
Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM – IPB University
Anggota Tim Manajemen Risiko – IPB University

 

Dalam mencapai tujuan sebuah organisasi, manusia dan budaya adalah salah satu faktor yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Budaya merupakan buah pemikiran, pengalaman, norma, dan aspek nilai dasar dalam kehidupan manusia. Sementara manusia berada dalam sebuah literasi budaya yang dijadikan acuan hidup.

Faktor manusia (SDM) diibaratkan seperti rumah. Karyawan dianggap sebagai fondasi yang menjadi motor utama berdirinya sebuah rumah, sedangkan pimpinan perusahaan ditempatkan di pucuk (atap rumah) yang memiliki fungsi perlindungan dan pengawasan. Sebuah organisasi yang baik harus saling bersinergi pucuk dan fondasinya, serta mampu menempatkan prinsip-prinsip manajemen risiko sebagai penduan mengenai bagaimana karakteristik manajemen risiko yang efektif dan efisien, juga menyampaikan nilai-nilai yang dikandungnya, dan menyebutkan maksud serta tujuannya.

Melihat besarnya peran faktor manusia tersebut, baik sebagai pemeran utama dalam sebuah organisasi sekaligus pemilik risiko itulah, maka faktor manusia menjadi pertimbangan dalam prinsip manajemen risiko sesuai ISO 31000:2018. Prinsip ini melibatkan pandangan dari para pemangku kepentingan, serta pemahaman bahwa pandangan tersebut dapat dipengaruhi oleh karakteristik manusia. Faktor-faktor yang juga perlu dipertimbangkan termasuk sosial, politik dan budaya, serta konsep waktu.

Kebijakan yang dibuat untuk organisasi A di wilayah A belum tentu bisa diterapkan di organisasi dan wilayah lainnya. Karakteristik manusia yang terlibat dalam organisasi tersebut haruslah menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan manajemen risiko. Dalam hal ini, pucuk pimpinan perlu meningkatkan budaya sadar risiko melalui sosialisasi kepada para pemilik risiko dan menyiapkan organisasi yang menangani manajemen risiko.

Mengapa pertimbangan faktor manusia ini penting dalam prinsip manajemen risiko? Apabila sebuah aturan yang dibuat sebagai kontrol risiko menyesuaikan karakteristik manusia pemilik risiko, maka aturan tersebut akan lebih mudah diterima dan berdampak besar terhadap perbaikan kinerja dan pencapaian sasaran sebuah organisasi. Sehingga budaya organisasi, budaya lingkungan, dan perilaku anggota organisasi dapat lebih terjaga keselarasannya dalam pengelolaan risiko.