Laporan terbaru menekankan peran penting Eropa dalam memimpin ketahanan siber melalui kolaborasi strategis antara perusahaan asuransi, reasuransi, pialang, dan otoritas publik. Sejak penerapan GDPR pada 2018, permintaan asuransi siber meningkat, terutama karena serangan siber yang semakin kompleks mengancam ekonomi Eropa. Dalam konteks ini, adaptasi bisnis menjadi semakin penting.
Laporan tersebut mengidentifikasi dua tantangan utama: perang dunia maya dan risiko siber sistemik. Untuk menghadapinya, diperlukan pendekatan kolaboratif yang menyeimbangkan risiko dan cakupan asuransi, dengan pertemuan tahunan serta kemitraan publik-swasta sebagai solusi untuk mengelola risiko ini. Dialog berkelanjutan di tingkat Uni Eropa juga dianggap esensial untuk meningkatkan ketahanan siber.
Pendekatan dalam mengelola risiko siber bervariasi antara perusahaan besar dan UKM. Perusahaan besar memiliki lebih banyak sumber daya untuk mengidentifikasi dan mencegah risiko, sementara UKM seringkali kekurangan kesadaran dan sumber daya. Oleh karena itu, inovasi teknologi seperti alat pemindaian dan teknologi pra-pelanggaran sangat penting untuk membantu UKM memperkuat ketahanan siber mereka.
Pentingnya dialog dan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan, termasuk penjamin emisi dan manajer risiko, juga ditekankan untuk memperbaiki pemahaman dan inovasi dalam pasar asuransi. Manajemen risiko rantai pasokan digital, penerapan kerangka keamanan seperti “zero trust,” serta mitigasi protokol desktop jauh dan keamanan email menjadi fokus utama untuk mengurangi paparan risiko siber.
Terakhir, dalam menghadapi serangan siber, laporan ini merekomendasikan tindakan cepat seperti isolasi sistem yang terpengaruh, pemberitahuan kepada pemangku kepentingan, dan pelaksanaan rencana respons insiden untuk meminimalisir dampak serta mencegah insiden serupa di masa depan.
Artikel ini telah diterbitkan oleh Ferma dengan judul Cyber Insurance Dialogue – How Europe Can Lead the Way to Cyber Resilience Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.