Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Saat ini, guncangan besar terus terjadi dan volatilitasnya konstan. Hal ini mencakup fenomena cuaca yang mengganggu, pergolakan geopolitik, dan ketidakpastian ekonomi. 

Ketika melakukan pembaruan untuk menciptakan peluang dari semua gangguan dan volatilitas, perusahaan perlu berpikir secara berbeda dalam memitigasi dan menavigasi risiko. Namun, hanya 14,5% organisasi (yang disurvei) yang memiliki kemampuan manajemen risiko tingkat lanjut. Organisasi-organisasi inilah yang lebih mungkin untuk berkembang sebagai bisnis. 

Selama 4 tahun terakhir, gangguan meningkat sebesar 183%. Sementara itu, pada tahun lalu, angkanya menjadi sebesar 33% saja, menurut Accenture Pulse of Change: 2024 Index. Risiko-risiko yang kompleks dan saling berhubungan muncul dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

Risiko yang Menjadi Lebih Kompleks

Dunia bisnis menghadapi tantangan dalam mengelola risiko teknologi, terutama yang berhubungan dengan penggunaan cloud dan kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI). Selain itu, risiko peraturan meningkat seiring diberlakukannya undang-undang baru, misalnya mengenai AI serta tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan (environmental, social, and governance/ESG). Di berbagai industri, risiko teknologi disruptif juga menjadi semakin signifikan, misalnya dengan keberadaan deepfake. 

Bisnis juga menghadapi kompleksitas risiko sosial dan geopolitik. Sebagian besar profesional di bidang risiko (83%) mengakui bahwa risiko yang kompleks kini muncul lebih cepat. Maka dari itu, perusahaan perlu meningkatkan kemampuan mengelola risiko serta meresponsnya dengan strategi baru. 

Menurut Accenture Risk Study: 2024 Edition, risiko menjadi semakin saling bergantung. Sebagai contoh, responden survei mengurutkan risiko strategis sebagai jenis risiko yang paling meningkat. Risiko strategis juga diperburuk oleh risiko keuangan, peraturan dan teknologi. Hubungan antarrisiko ini perlu diketahui untuk memungkinkan para pemimpin risiko memahami profil risiko organisasi mereka yang sebenarnya. 

Dalam menghadapi kondisi ini, manajemen risiko perlu mengalami pembaruan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut. 

  1. Kepuasan terhadap adopsi pola pikir risiko hanya sebesar 35% dari responden.   
  2. Kepuasan dalam aspek manajemen risiko lainnya secara keseluruhan cukup rendah, yaitu dengan persentase antara 34% hingga 39%.
  3. Evaluasi kemampuan bisnis menunjukkan adanya kebutuhan peningkatan untuk mengadopsi dan menjalankan pola pikir risiko secara efektif di seluruh organisasi.

Penguatan Kemampuan Risiko

Berikut adalah hubungan antara tim manajemen risiko (lini kedua) dan operasional bisnis (lini pertama) dalam organisasi/perusahaan.

  1. Meningkatkan keahlian

Tim risiko harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang relevan dengan jenis risiko. Perekrutan individu dari peran operasional (lini pertama) ke manajemen risiko (lini kedua) dan sebaliknya dapat meningkatkan keahlian dan pemahaman risiko dalam organisasi. 

  1. Menargetkan konsultasi 

Tim risiko perlu menerapkan pendekatan konsultatif dan kolaboratif, bukan sekadar memberikan daftar periksa. Tujuannya, hal ini dapat memberdayakan lini pertama untuk mengelola risiko secara efektif.

  1. Menghindari “lini 1.5”

Di masa lalu, beberapa tim operasional bisnis menciptakan “lini 1.5”, yaitu tim risiko tersendiri. Strategi ini ditinggalkan karena tidak efektif.

Secara keseluruhan, pemimpin risiko yang sukses adalah pemimpin yang mampu membangun budaya risiko yang kuat, memberdayakan lini pertama, serta mendukung bisnis dalam mengelola risiko dengan lebih baik.

Sementara itu, beberapa langkah cepat untuk memperkuat kemampuan risiko dan menghilangkan silo adalah sebagai berikut.

  1. Integrasi inisiatif transformasi risiko
  2. Evaluasi saling ketergantungan risiko
  3. Penyelarasan tim risiko dan bisnis
  4. Penghindaran duplikasi tim
  5. Kontribusi risiko terhadap pertumbuhan

Secara umum, pendekatan terintegrasi dan kolaboratif diperlukan untuk memperkuat kemampuan risiko dan menghilangkan silo dalam organisasi.

Artikel ini telah diterbitkan oleh Accenture, dengan judul Hyper-Disruption Demands Constant Reinvention. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.