Penulis:
Ridwan Hendra SE., MM., ERMCP., CERG., CCSA – Direktur CRMS Indonesia
Anggota Komtek 03-10 BSN dan NMC TC-262 ISO- Pengurus IRMAPA

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyelenggarakan seminar bertajuk “Digital & Risk Management in Insurance (DRiM)” di Bali pada tanggal 22-23 Februari 2018.

Acara ini dihadiri oleh lebih dari 400 peserta yang berasal dari lebih dari 125 perusahaan asuransi jiwa dan asuransi umum, serta para pialang asuransi di Indonesia. Tiga pembicara utama berbagi pandangan dan pengalaman mereka mulai dari topik mengenai “Customer of the Future” oleh Scott Bells, “Enterprise  Risk Management in Digital Enrivornment” oleh Dr. Antonius Alijoyo, dan “Digital Disruptions” oleh Prof. Dr. Rhenald Kasali.

Acara juga diisi dengan paparan lebih dari 10 praktisi yang berbagi pengalaman bagaimana mereka mempersiapkan perusahaan mereka siap dalam era digital, di antaranya adalah Cherdchai Virabhak (Asuransi FWD) dan Gavin Gollogley (Sun Life Financial Asia).

Di bawah ini adalah ringkasan dari tiga penyaji utama dalam acara DRiM:

A. Customer of the Future – oleh Scott Bells (pemimpin global untuk inovasi di jasa keuangan).

Paparan dari Scot Bells mengenai karakteristik pelanggan di masa depan yang lahir di era digital. Pelanggan akan mengedepankan customer engagement serta customer experience dalam prose pengambilan keputusan untuk memilih barang atau jasa yang dibutuhkan.

 Karakteristik pelanggan masa depan tidak hanya berlaku bagi dunia industri asuransi, tetapi masuk dalam semua penyediaan barang dan jasa. Industri perbankan sudah lebih dahulu terimbas revolusi digital dengan lahirnya internet bankingmobile banking dan teknologi keuangan (tekfin). Sekarang sangat mudah untuk menggunakan jasa perbankan kapan saja dan di mana saja selama ada saluran dan sambungan telekomunikasi atau internet.

 Revolusi digital diperkirakan akan segera menyentuh industri asuransi, baik di tingkat global, regional, maupun nasional. Lahirnya generasi digital membentuk generasi baru konsumen masa depan. Perusahaan asuransi membutuhkan pemahaman lebih mendalam untuk membangun dan meningkatkan proses bisnis mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan harapan generasi tersebut.

 B. Enterprise Risk Management in digital environment – oleh Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG(Ketua Komite Teknis 03-10 Manajemen Risiko dari Badan Standardisasi Nasional Indonesia, pendiri Center for Risk Management Studies (CRMS Indonesia, dan Ketua Umum Indonesia Risk Management Professional Association/IRMAPA).

Antonius mengawali paparannya dengan sajian klip video. Cepatnya dunia berubah oleh revolusi digital yang melahirkan banyak ketidakpastian yang masih sulit dipahami digambarkan dalam klip video tersebut. Ketidakpastian ini dapat menjadi risiko dan sekaligus dapat menjadi kesempatan bagi perusahaan, tergantung bagaimana menyikapi perubahaan tersebut.

 Kecepatan perubahan berbasis teknologi digital tidak dapat dicegah dan tidak akan berkurang. Arusnya semakin dasyat. Bila tidak berhati-hati, akan menenggelamkan banyak perusahaan karena kehilangan arah dan gamang dalam berpijak menentukan arah bisnis.

 Perkembangan teknologi berbasis digital juga berimbas pada industri asuransi. Dampaknya pada pengelolaan perusahaan maupun dalam memahami efek digitalisasi. Asumsi-asumsi dasar tradisional serta cara dalam perhitungan aktuarial dan pengembangan produk dan jasa perlu direkayasa ulang.

 Bagian kedua dari paparan, penyaji merujuk pada definisi risiko dalam SNI ISO 31000 yang menyatakan bahwa risiko adalah efek dari ketidapastian terhadap sasaran. Digital era membuat magnitude dari ketidakpastian menjadi lebih luas dan lebih dalam. Pada akhirnya dapat menghasilkan risiko yang juga menjadi sangat luas dimensinya dan detrimental terhadap pencapaian sasaran perusahaan.

 Agar perusahaan mampu melakukan identifikasi risiko, analisis risiko, dan evaluasi risiko, mereka harus mampun memahami sumber-sumber atau faktor-faktor risiko baru yang berasal dari ketidapastian yang lahir dari revolusi digital. Pengelolaan risiko dan kesempatan harus dilakukan secara keseluruhan entitas organisasi sehingga pengelolaan kepatuhan, risiko operasional, dan risiko strategik dapat terpadu dalam penciptaan nilai perusahaan. Pengelolaan risiko secara terpadu sering disebut Enteprise Risk Management (ERM). ERM memiliki definisi dan cakupan “a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, and manage risks to be within its risk appetite, to provide reasonable assurance regarding the achievement of entity objectives.”

 Paparan diakhir dengan beberapa kutipan dan pertanyaan, “Saat ini bukanlah pertanyaan ‘apakah kita harus melakukan perubahan atau tidak karena revolusi digital’, tetapi ‘bagaimana dan kapan kita harus melakukan perubahan model bisnis yang lebih relevan dan kontekstual dalam era digital”.

 C. Digital Disruption – oleh Prof. Rhenald Kasali(DosenUniversitas Indonesia dan Pendiri Yayasan Rumah Perubahan).

Paparan Rhenald Kasali banyak memberikan ilustrasi disruption yang terjadi di Indonesia dan dunia yang diambil dari buku yang ditulisnya, “Disruption”

 Rhenald menganalogikan dalam perusahaan/organisasi sebaiknya memiliki sifat dari tiga dewa dalam agama Hindu: Brahma (Sang Pencipta), Wishnu (Sang Penjaga), dan Shiva (Sang Penghancur) dalam 1 kesatuan siklus. Sifat dari Shiva ini biasanya tidak dimiliki oleh organisasi yang sudah mapan. Pembicara ingin menekankan bahwa organisasi yang sudah mapan seharusnya mampu merombak kemapanan yang sudah dimilikinya untuk menyesuaikan dengan perubahan konteks yang bersifat disruptif.

 Perubahan terjadi semakin cepat dan sulit untuk dapat menahan laju perubahan yang terjadi. Dengan kemajuan teknologi saat ini, memungkinkan bagi perusahaan start up untuk dapat bersaing dengan perusahaan besar. Akan ada jenis pekerjaan yang akan hilang dan akan ada jenis pekerjaan baru. Interaksi antar manusia juga akan banyak yang akan digantikan menjadi interaksi antar mesin (IoT). Biaya pembuatan chips komputer akan menjadi sangat murah. Orang digantikan oleh robot dan kecerdasan buatan. Organisasi yang akan dapat bertahan di era disruptif ini adalah organisasi yang dapat berubah secara disruptif. Untuk itu diperlukan mentalitas pembuat keputusan yang tidak mudah terperangkap dalam jebakan-jebakan yang membuat organisasi tidak mau berubah.