Pelaku industri perasuransian tersentak. Belum usai kasus pidana yang menjerat dua petinggi PT. Asuransi Allianz Life, kini ada kasus pidana lainnya. PT. Asuransi Allianz Utama diadukan ke polisi terkait pembayaran klaim. Kedua perusahaan bersaudara ini diduga melanggar UU Nomor 08/1999 tentang perlindungan konsumen. Bahkan kabar terakhir, sebuah perusahaan asuransi patungan juga bakal disomasi terkait pembayaran klaim.

Ada tiga hal yang menjadikan kasus ini mengejutkan. Pertama, sengketa asuransi biasanya masuk dalam ranah perdata, bukan pidana. Kedua, di dalam UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian secara jelas disebut tindakan-tindakan yang termasuk pidana di pasal 73 sampai 82. Tidak ada tindak pidana terkait sengketa klaim asuransi. Ketiga, ketentuan pidana dalam UU Nomor 08/1999 tentang Perlindungan Konsumen tetap digunakan meskipun sudah diatur dalam UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian.

UU Nomor 40/2014 mengatur ketentuan pidana perasuransian. Diantaranya adalah menjalankan kegiatan usaha tanpa izin, sengaja memberikan informasi/data tidak benar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan sengaja memberikan informasi tidak benar dan/atau menyesatkan kepada konsumen. Juga menggelapkan premi dan pemalsuan dokumen. Adanya tuntutan pidana atas sengketa klaim adalah di luar bayangan pelaku industri perasuransian. Bahkan mungkin di luar pemikiran dari pembuat konsep dan pemutus UU Nomor 40/2014 sehingga tidak diatur dalam UU tersebut.

Kasus-kasus perdata terkait sengketa klaim asuransi yang ke pengadilan sudah banyak. Tetapi kasus pidana ini mengagetkan praktisi perasuransian. Ini di luar prediksi. Dampak turunannya besar. Kejadian ini mengingatkan kita akan teori “black swan” dari Nassim N. Taleb (2007). Sebuah teori tentang kejadian yang mustahil terjadi, acak (tidak dapat diramalkan), memberikan dampak massif/ekstrem, dan kejadian itu benar-benar terjadi. Kasus pidana asuransi tersebut belum sepenuhnya masuk kategori “black swan”. Tetapi industri perasuransian harus mampu mengantisipasi “black swan” dalam  bisnis asuransi.Hampir dipastikan bahwa adanya tuntutan pidana ini belum masuk dalam daftar risiko perusahaan asuransi.

Kasus pidana perasuransian ini memberikan konsekuensi turunan. Pertama, munculnya kecenderungan pimpinan dan karyawan perusahaan asuransi khawatir akan dipidanakan apabila menolak klaim. Dampaknya, akan membayar klaim meskipun tidak sesuai dengan syarat dan kondisi polis. Ini sangat berbahaya. Tak hanya kepada perusahaan asuransi, tetapi juga kepada industri perasuransian secara keseluruhan. Kedua, pimpinan dan karyawan akan merasa tidak aman. Terlebih pada perusahaan berstatus BUMN. Ada dilema. Jika menolak klaim khawatir dipidanakan tertanggung. Bila membayar klaim tidak sesuai syarat dan kondisi polis, maka bisa dituduh melakukan tindak pidana korupsi (memperkaya pihak lain dan merugikan kekayaan negara). Ketiga, kasus pidana sengketa klaim seperti ini dapat memengaruhi kepercayaan reasuradur luar negeri.Keempat, ada potensi kasus ini menular di industri perasuransian. Sisi positifnya, perusahaan asuransi lebih berhati-hati saat menerima pertanggungan dan saat memutuskan klaim. Negatifnya, kasus-kasus di pengadilan dapat mengganggu operasional dan reputasi.

Langkah Mitigasi

Banyak pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masa depan industri perasuransian Indonesia. Tak hanya pelaku industri, pemerintah, dan regulator, tetapi juga dunia bisnis dan rakyat Indonesia. Langkah-langkah strategis harus dilakukan oleh semua yang berkepentingan untuk memitigasi risiko ini.

Pertama, perusahaan asuransi perlu meninjau kembali profil risikonya. Perlu identifikasi risiko baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya dalam pembaruan profil risiko. Berpikir lebih komprehensif tentang risiko dengan kemungkinan keterjadian (likelihood) sangat rendah (bahkan nyaris mustahil terjadi), namun dengan dampak sangat besar. Survey Willis tahun 2012 menyebutkan bahwa hanya lima persen pimpinan perusahaan asuransi memberikan perhatian pada risiko “black swan”.

Kedua, perlu mengimplementasikan business continuity management (BCM). BCM  akan mampu menyediakan kerangka untuk membangun daya tahan perusahaan dengan respon yang efektif untuk menyelamatkan kepentinganstakeholders utama, reputasi, nama baik, dan aktivitas terkait nilai tambah (ISO 22301:2012). Munculnya “black swan” setidaknya dapat direduksi dampaknya.

Ketiga, industri perasuransian perlu mengevaluasi kembali seberapa profesional dan prudent dalam menjalankan bisnis. Termasuk jeli terhadap potensi fraud. Itikad baik dalam berbisnis sebagai modal kepercayaan dan prinsip know your customerharus ditengok ulang implementasinya. Seluruh jajaran dari mulai unit penjualaan, underwriting, hingga unit klaim perlu melihat kembali sumber-sumber risiko gugatan hukum yang belum dikontrol secara efektif. Perusahaan asuransi perlu proteksiprofesional indemnity insurance untuk karyawannya.

Keempat, asosiasi dan perusahaan asuransi perlu meningkatkan sinergi dalam memroteksi reputasi industri perasuransian. Kualitas layanan, khususnya saat terjadi klaim, harus terus ditingkatkan. Juga harus ada kemampuankomunikasi yang andal. Komunikasi efektif, terlebih saat menghadapi krisis seperti saat ini, sangat dibutuhkan. Masyarakat perlu diberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan menghindar dari pemberitaan dan opini. Kecepatan dan massifnya penyebaran informasi melalui media sosial jangan sampai diisi dengan informasi yang kurang akurat dan/atau tidak imbang. Bisnis asuransi sangat ditopang oleh reputasi.

Selain keempat hal di atas, perlu peran berbagai pihak dalam mendorong konsumen untuk menyelesaikan sengketa perasuransian melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yakni Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). BMAI independen dan imparsial untuk memberikan representasi seimbang antara perusahaan asuransi dan tertanggung dan bekerja secara profesional.

OJK, sebagai pengawas industri, harus tetap memposisikan diri secara adil diantara kepentingan industri perasuransian dan konsumen. Problem ini harus dicarikan solusi terbaik agar dampak turunannya tak berpengaruh buruk pada industri dan kepercayaan masyarakat. Bersama-sama asosiasi perasuransian, OJK perlu diskusi intensif dengan para pakar hukum dan lembaga perwakilan konsumen untuk mencari win-win solution ke depan.

Penulis : Munawar Kasan, MBA, AAIK, AIIS, ERMCP, QRMP
Pengurus Indonesia Risk Management Professional Association (Irmapa)