Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Adopsi kecerdasan buatan (AI) di bidang risiko dan kepatuhan kini meningkat pesat, namun dampaknya tidak se-“revolusioner” yang dijanjikan vendor teknologi. Banyak bukti terbaru menunjukkan bahwa AI memang membawa efisiensi nyata, tetapi lebih bersifat evolusi bertahap, bukan perubahan besar yang mengubah seluruh sistem.

Sebuah studi Moody’s menunjukkan 53% profesional risiko dan kepatuhan sudah menggunakan atau mencoba solusi AI, naik dari 30% dalam dua tahun. Kenaikan ini menandai perubahan cara lembaga keuangan menangani regulasi dan risiko. Namun, hasil implementasi tidak selalu spektakuler.

Dalam deteksi fraud, AI memang meningkatkan kemampuan mengenali pola dan anomali, tapi belum menggantikan penyelidikan manusia. Di proses Know Your Customer (KYC) dan Customer Due Diligence (CDD), AI mempercepat verifikasi dokumen dan pencocokan data, tetapi kasus kompleks tetap memerlukan pertimbangan analis.

Salah satu perkembangan yang melampaui ekspektasi terdapat pada penggunaan large language models (LLM). Kini banyak perusahaan memanfaatkan LLM untuk mengolah data tidak terstruktur seperti email, kontrak, hingga dokumen regulator. Tugas yang sebelumnya memakan waktu analis kini bisa diselesaikan jauh lebih cepat. Meski demikian, kualitas data tetap menjadi faktor utama. Jika data buruk, hasil AI juga tidak akan maksimal.

Di sisi lain, beberapa janji AI belum tercapai. Otomatisasi penuh dalam kepatuhan belum terjadi dan hampir semua perusahaan menilai pengawasan manusia masih penting. Banyak organisasi juga belum memiliki metrik yang jelas untuk menilai kinerja AI, sehingga ROI sulit dihitung. Masalah transparansi algoritma—“black box”—juga terus menjadi hambatan besar, terutama untuk area risiko yang sensitif.

Adopsi AI juga tidak merata. Fintech lebih cepat bergerak karena tidak terikat sistem lama. Sebaliknya, bank tradisional yang memiliki infrastruktur tua dan beban regulasi besar bergerak lebih lambat. Perbedaan regulasi antarnegara turut menambah tantangan, karena solusi yang sesuai di satu wilayah bisa bermasalah di wilayah lain.

Selain itu, banyak organisasi masih kekurangan tenaga ahli yang memahami AI, regulasi, dan desain organisasi sekaligus. Kesenjangan kemampuan ini membuat banyak implementasi belum optimal.

Para profesional menilai bahwa dalam tiga tahun ke depan, penggunaan AI akan semakin luas, namun sifatnya tetap evolusioner. AI dipandang akan mengubah peran pekerja, bukan menggantinya. Seperti halnya spreadsheet yang mengubah cara kerja akuntan tanpa menghilangkan profesinya, AI akan mendorong analis risiko berfokus pada pekerjaan strategis, penanganan kasus khusus, dan pengawasan.

Kesimpulannya, AI memang memberikan manfaat nyata seperti percepatan proses, deteksi lebih baik, dan skalabilitas tinggi. Tetapi teknologi ini tidak serta-merta menggantikan keputusan, etika, dan akuntabilitas manusia. Transformasi sejati justru terjadi ketika profesional mampu menggabungkan kekuatan algoritma dengan pengalaman dan penilaian manusia.

Di era ini, tidak menggunakan AI bukan lagi pilihan. Namun mengadopsi AI tanpa persiapan juga berisiko. Pemimpin yang sukses adalah mereka yang bisa menyeimbangkan inovasi dengan kehati-hatian, memastikan teknologi mendukung tujuan bisnis tanpa mengabaikan tata kelola dan risiko baru yang muncul.

Artikel ini telah diterbitkan oleh GARP, dengan judul AI Adoption in Risk and Compliance: Revolution or Evolution?. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.