Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Framework seperti COSO ERM atau ISO 31000 sering dianggap sebagai pedoman utama dalam manajemen risiko. Namun para pakar mengingatkan satu hal penting: sekuat apa pun sistem dan prosedurnya, bias manusia tetap tidak bisa dihilangkan dari proses pengambilan keputusan.

Bias kognitif adalah “jalan pintas” berpikir yang membuat keputusan lebih cepat, tetapi tidak selalu tepat. Dalam konteks bisnis, sedikit saja distorsi bisa memicu kesalahan strategi, penggunaan sumber daya yang keliru, sampai munculnya risiko besar yang tak terduga.

Para ahli menyebut delapan bias paling umum yang memengaruhi proses Enterprise Risk Management (ERM) saat ini, yaitu: complexity bias, innovation bias, self-serving bias, overconfidence, anchoring, confirmation bias, framing, dan groupthink.

Kompleks Tapi Tidak Praktis

Banyak perusahaan terjebak pada solusi rumit yang tampak canggih, padahal justru menyulitkan karyawan di lapangan. Contohnya, framework risiko yang terlalu teknis dan penuh jargon sehingga sulit diterapkan. Ini adalah complexity bias, sering ditemani innovation bias ketika organisasi menganggap versi terbaru framework pasti lebih baik, meski belum tentu cocok.

Ahli menyarankan perusahaan membuat dokumen ringkas yang mudah dipahami, bahkan oleh pegawai baru—bila tidak bisa dijelaskan dalam dua menit, berarti terlalu rumit.

Bias Kepentingan Diri dan Terlalu Percaya Diri

Dalam banyak kasus, pimpinan menganggap keberhasilan sebagai hasil kerja mereka, sementara kegagalan disalahkan pada faktor luar. Ini adalah self-serving bias yang menghambat pembelajaran organisasi.

Masalahnya diperparah oleh overconfidence, ketika manajemen terlalu optimistis, meremehkan risiko, atau mengabaikan data yang menunjukkan ancaman. Salah satu solusinya adalah melakukan premortem—membayangkan proyek gagal dan mencari alasan kenapa hal itu bisa terjadi.

Terjebak pada Angka Pertama

Dalam rapat penilaian risiko, angka pertama yang disebutkan sering menjadi “jangkar” sehingga membentuk persepsi seluruh peserta. Anchoring bias ini membuat diskusi tidak obyektif. Pakar menyarankan agar peserta menerima materi awal, memberikan masukan anonim, dan melakukan sesi validasi setelahnya.

Melihat Hanya yang Ingin Dilihat

Confirmation bias membuat pimpinan atau tim risiko mengabaikan data yang tidak sesuai dengan narasi yang mereka yakini. Ini menjadikan organisasi buta terhadap ancaman baru. Untuk mengatasinya, tim harus rutin ditugaskan untuk “menantang” asumsi internal dan mencari bukti yang justru bertentangan dengan keyakinan mereka.

Cara Penyajian Data Mengubah Keputusan

Perbedaan sederhana dalam cara menyampaikan data bisa mengubah arah keputusan, seperti mengatakan “uptime 95%” dibanding “downtime 18 hari per tahun”. Ini disebut framing effect. Dashboard dan laporan risiko perlu distandarisasi agar tidak memengaruhi persepsi tanpa sadar.

Terlalu Mengejar Harmonisasi

Di banyak dewan direksi, keinginan mempertahankan suasana kondusif menyebabkan orang enggan menyampaikan pandangan berbeda. Groupthink membuat risiko penting tidak dibahas. Perusahaan perlu membangun budaya “speak up” dan menyediakan ruang aman bagi dissenting opinion, termasuk opsi masukan anonim.

Bias Tidak Akan Hilang, Tapi Bisa Dikendalikan

Para ahli menegaskan bahwa bias manusia tidak bisa dihapus, namun bisa diminimalkan lewat kebiasaan sehari-hari. Mulai dari menyederhanakan framework, melakukan premortem, merotasi tim peninjau, hingga memberi ruang bagi perbedaan pendapat.

Membangun kesadaran terhadap bias menjadi fondasi budaya risiko yang sehat. Organisasi yang mampu mengelola bias dinilai akan lebih tangguh, adaptif, dan siap menghadapi ketidakpastian bisnis masa kini.

Artikel ini telah diterbitkan oleh RIMS, dengan judul How to Overcome Cognitive Biases in Risk Management. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.