Oleh: Haris Firmansyah, SE & Sekretariat IRMAPA

Bentang alam dunia sedang menghadapi tekanan besar. Perubahan iklim, polusi plastik, rusaknya laut, hingga hilangnya keanekaragaman hayati membuat keseimbangan bumi terganggu. Padahal, lebih dari setengah ekonomi global—sekitar USD 58 triliun—sangat bergantung pada lingkungan. Jika alam rusak, ekonomi pun ikut goyah.

Lingkungan Bukan Sekadar Latar Belakang

Menurut Convention on Biological Diversity, “alam” adalah lingkungan yang mencakup seluruh kehidupan di Bumi, termasuk unsur tak hidup seperti air, tanah, dan udara. Semua saling terhubung. Ketika laut tercemar atau hutan gundul, dampaknya bisa terasa pada pangan, energi, hingga kesehatan manusia. Karena itu, menjaga lingkungan bukan cuma urusan aktivis lingkungan, tapi juga bagian dari strategi bisnis dan keuangan yang cerdas.

Tantangan untuk Lembaga Keuangan

Negara seperti Tiongkok jadi contoh menarik. Sekitar 65% PDB-nya bergantung pada sumber daya alam yang kini terus menurun akibat eksploitasi dan perubahan iklim. Sebagai tuan rumah COP15 (Conference of the Parties ke-15 untuk Convention on Biological Diversity (CBD) — yaitu konferensi tingkat dunia tentang keanekaragaman hayati yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB), Tiongkok bersama 196 negara berkomitmen menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati sebelum 2030. Tapi jalan menuju sana tidak mudah. Risiko resesi global bisa menghambat pendanaan untuk proyek hijau, sementara kolaborasi lintas sektor masih perlu diperkuat.

Mengapa “Lensa Lingkungan” Itu Penting

Selama ini, banyak lembaga keuangan fokus pada isu iklim saja—seperti pengurangan emisi karbon. Padahal, kalau hanya fokus ke satu sisi, risiko lain bisa terabaikan. Misalnya, proyek energi terbarukan memang menekan emisi, tapi kalau rantai pasoknya tidak ramah lingkungan, bisa merusak alam di tempat lain.

Pendekatan berbasis lensa lingkungan membantu melihat keterkaitan semua aspek ini. Dengan cara itu, lembaga keuangan bisa menilai dampak investasi terhadap ekosistem secara menyeluruh, menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Peluang dan Hambatan

Transisi menuju ekonomi positif bagi lingkungan bisa menciptakan peluang bisnis hingga USD 10,1 triliun pada 2030. Tapi saat ini, sebagian besar pendanaan untuk lingkungan masih datang dari sektor publik. Dunia perbankan dan investasi swasta perlu lebih aktif terlibat.

Tantangan utamanya adalah:

  1. Data yang belum memadai. Banyak lembaga kesulitan mendapatkan data lingkungan yang akurat dan mudah diakses. 
  2. Sulit menilai dampak finansial. Masih terbatas metodologi untuk mengukur nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati. 
  3. Model bisnis belum matang. Keuntungan dari proyek berbasis lingkungan sering kali belum terlihat jelas di awal. 

Masalah ini terjadi secara global. Sekitar 86% lembaga keuangan menyebut ketersediaan data sebagai hambatan utama, sementara 78% menyoroti kualitas data yang masih rendah.

Inovasi Mulai Bermunculan

Beberapa lembaga di Tiongkok sudah mulai berinovasi. Mereka memakai teknologi AI dan satelit untuk memantau perubahan lingkungan secara real-time. Ada juga yang menguji model pembiayaan baru seperti blended finance, asuransi berbasis alam, dan kredit ekosistem untuk mendukung proyek konservasi.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa menjaga alam bukan hanya tanggung jawab moral, tapi juga strategi bisnis masa depan. Dengan data yang kuat, kebijakan yang tepat, dan kolaborasi lintas sektor, sektor keuangan bisa memainkan peran besar dalam menciptakan ekonomi yang tumbuh bersama alam, bukan di atas penderitaannya.

Artikel ini telah diterbitkan oleh World Economic Forum, dengan judul Why Financial Institutions Should Design Sustainable Portfolios with A Nature Lens. Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.